Senin, 16 Maret 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #3-1











* * *


Tiga


Bismaka menatap berkeliling. Mengamati satu demi satu keramaian yang beredar di sekitarnya. Sesekali, tatapannya kembali pada mangkuk kertas berisi cwimie dan pangsit goreng lezat yang ada di depannya. Tangannya pun lincah memainkan sumpit. Ketika seseorang yang dikenalnya melintas, ia buru-buru memanggil.

“Mit, tolong, aku dibawain jahe anget, ya,” ujarnya.

Perempuan muda bernama Mita itu pun mengangguk dan berlalu.

Salah satu cara untuk mengusir rasa sepinya belakangan ini adalah dengan menyibukkan diri. Episode kisah cintanya dengan Lusi sudah berakhir nyaris dua bulan yang lalu. Tak ada ganjalan. Tak ada sakit hati. Karena memang mereka melepaskan diri dari hubungan kasih itu bukan disebabkan oleh orang ketiga mana pun. ‘Lebih nyaman menjalin hubungan hanya sebagai teman’. Akhirnya mereka menemukan dan menyadari hal itu setelah saling mendekatkan diri selama hampir dua tahun.

Ia masih bertemu dengan Lusi hampir tiap hari. Kantor mereka sama, walaupun lain divisi. Terkadang bertemu di lift, terkadang masih berbarengan untuk ke kantin, terkadang juga masih bertemu di ruang pertemuan. Berteman baik. Dan, keduanya sama-sama merasa bahwa memang jauh lebih baik dan lepas bila mereka cukup berteman baik saja. Tidak lebih, tidak kurang.

Keasyikan Bismaka sedikit terusik ketika seorang pramusaji food truck miliknya datang, menyajikan segelas besar jahe hangat. Tak lupa ia mengucapkan terima kasih sebelum menyesap seduhan jahe hangat itu.

Dunia kembali riuh di sekelilingnya. Malam Sabtu, malam Minggu, dan hari Minggu merupakan hari panen bagi usaha food truck miliknya. Bukan miliknya secara utuh, sebenarnya. Melainkan hasil join dengan Ernest, sahabatnya.

Tapi belakangan ini ia cukup pusing. Ernest sedang berpikir-pikir untuk melepaskan semua sahamnya atas kepemilikan usaha food truck itu. Padahal usaha mereka itu makin maju dan berkembang. Ernest malah mengembangkan usaha kuliner bersama Sierra – kekasihnya – di Bogor, yang tampaknya juga cukup maju berkat tangan dingin dan pengalaman Ernest.

Pelepasan saham itu dimulai dengan ditawarkannya warteg besar mereka di belakang sebuah kampus kepada Bismaka. Ketika ibunya mendengar hal itu, segera saja dibayarnya lunas saham milik Ernest. Jadi, Bismaka kini ber-partner dengan ibunya sendiri. Sekarang sisa food truck. Bukan masalah besar bila hanya satu. Tapi beberapa? Bismaka terpaksa menghela napas panjang.

Sebenarnya, sebuah solusi sudah ditawarkan oleh ayahnya. Ayahnya ingin mengambil kesempatan untuk membeli saham Ernest karena ia ingin pensiun dini. Ia merasa kariernya di dunia perbankan sudah lebih dari cukup. Sudah saatnya untuk menikmati hari (yang sebenarnya belum terlalu) tua dengan berada lebih dekat dengan putra tunggalnya, dengan cara menjalankan usaha bersama. Tapi, Bismaka masih harus berpikir ulang.

Menjalankan usaha kuliner yang terus berkembang tentunya membutuhkan perhatian, waktu, dan tenaga yang lebih. Tak mungkin membiarkan ayahnya yang ‘masih hijau’ itu lebih banyak pontang-panting sendirian, walaupun ia yakin, ibunya yang memiliki katering tenar itu pasti akan membantu. Sementara, ia sendiri masih berstatus sebagai staf sebuah perusahaan besar.

Terkadang, ia menyesali keputusannya untuk ‘ikut orang’. Di sisi lain, justru di tempat kerjanya itu ia bisa menemukan berbagai hal baru yang membuatnya berani mengerahkan semua kemampuan yang selama ini sedikit tersembunyi. Kariernya cukup bagus. Kemajuannya cepat. Tapi, dihadapkan pada soal usaha mandirinya seperti ini, tak ayal ia goyah juga.

Karena makan sambil setengah melamun, ia terlambat menyadari bahwa mangkuk kertas cwimienya sudah licin tandas. Padahal rasa-rasanya ia belum puas makan. Setelah menimbang-nimbang sejenak, ia kemudian memutuskan untuk memesan seporsi lagi cwiemie ‘tumpeh-tumpeh’ yang merupakan varian tertinggi yang disediakan oleh sebuah food truck di belakang food truck-nya. Isinya cukup heboh, memang sampai tumpeh-tumpeh.

Dibawanya gelas jahe hangatnya yang masih tersisa separuh. Dengan sabar, ia kemudian antre di belakang lima pembeli. Ketika tiba gilirannya, ia membalas senyum lebar orang yang melayaninya. Rika.

“Hai, Bimbim!” ucap Rika dengan cukup akrab. “Mau pesan apa?”

“’Tumpeh-tumpeh’ satu,” jawab Bismaka, mantap. “Tumben di sini?”

Sepersekian detik kemudian Bismaka menyadari ketololannya. Apalagi ketika ia menemukan mendung bersemburat di wajah cantik gadis itu. Tentu saja ia tahu bahwa Rika baru saja ditinggal kekasihnya berpulang.

“Iya,” jawab Rika, pendek saja.

Dua detik mereka sama-sama terdiam, sebelum gadis itu kembali dengan mimik dan suara ramahnya.

“Mau dianter ke meja mana ini?” Pertanyaan itu standar saja.

Bismaka sejenak menatap berkeliling. Ditemukannya satu meja kecil kosong di bawah pohon trembesi, tak jauh dari food truck mereka. Ke sanalah ia menunjuk. Rika pun mengangguk dan menyuruhnya menunggu di tempat yang sudah ditentukan. Bismaka pun segera menyingkir setelah membayar dan mengucapkan terima kasih.

Hampir sepuluh menit lamanya ia kembali tenggelam dalam resahnya. Yang membuatnya kembali ke alam nyata adalah aroma sedap cwimie yang mengelus hidungnya. Ia mendongak, mendapati Rika sendiri yang mengantar dan menyajikan seporsi cwimie ‘tumpeh-tumpeh’ itu ke hadapannya.

“Sebenarnya aku sudah makan ini tadi,” ucap Bismaka setelah mengucapkan terima kasih. “Tapi nggak kerasa apa-apa.”

“Lho....” Wajah Rika terlihat kaget. “Kurang enak atau gimana?”

“Oh, bukan!” Bismaka buru-buru meluruskan. “Selalu enak, kok. Beneran! Cuma, tadi aku makannya sambil melamun. Jadi, tahu-tahu habis, nggak sempat ingat rasanya.” Bismaka meringis jenaka.

“Oh....” Rika terlihat lega. Senyum lebar terbit di wajahnya.  Sedetik kemudian....

“Mm.... Boleh nggak, aku ikutan makan di sini?” Rika terlihat ragu-ragu. Nada suaranya pun terdengar mengambang. “Aku pesan iga bakar dari food truck-mu baru saja.”

“Ha! Ayo!” seru Bismaka langsung. “Nggak enak, tahu, makan sendirian. Bisa melamun lagi aku.”

Rika kembali tersenyum dan mengambil tempat di depan Bismaka, di seberang meja. Sejenak Bismaka menatap Rika. Terlihat serius.

“Mm.... Aku turut berbela sungkawa atas berpulangnya Mas Andries, ya,” ucapnya sungguh-sungguh. “Aku baca beritanya di media online waktu aku dinas di Surabaya. Makanya aku nggak bisa datang ke pemakaman.”

“Ya, terima kasih, Bim.” Suara Rika nyaris menyerupai bisikan.

“Kalau ada yang bisa kubantu, bilang saja. Anything, Rik. Serius.”

Rika mengangguk sambil mengucapkan terima kasih. Saat itulah makanan dan minuman pesanannya diantarkan oleh salah seorang pegawai Bismaka.

“Kamu sendiri, mana Lusi? Tumben sendirian.”

Bismaka tertegun sejenak. Tapi ia segera tersadar.

“Mm.... Sudah bubaran. Dah dua bulanan ini.”

Rika terlihat bengong. Bismaka meringis sekilas.

“Jangan nyangka yang enggak-enggak.” Ia menyambungnya dengan tawa kecil. “Bubarannya baik-baik, kok. Sama-sama menemukan bahwa kami lebih cocok untuk jadi sahabat saja. Nggak lebih, nggak kurang.”

Bibir Rika membundar tanpa suara.

Masalah mereka masing-masing kemudian mereka kesampingkan. Pembicaraan beralih ke usaha mereka yang sama-sama terus berkembang. Terkadang ada sepi-sepinya juga, tapi tak lama. Berikutnya grafik penjualan akan meningkat lagi. Begitu seterusnya.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi

Catatan:
Mulai minggu ini, cerbung “Let Me Love You This Way” akan terbit pada hari Senin, Rabu, dan Jumat.
Mulai hari ini juga, bagi pembaca yang ingin menikmati kembali cerbung ”Perawan Sunti dari Bawono Kinayung”, dapat mengintip ke SINI.
Terima kasih....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar