* * *
Bismaka menyesap secangkir besar cokelat
hangatnya sambil duduk bersandar di sofa two
seaters pendek yang ada di teras belakang rumah orang tuanya. Meluruskan
tungkainya dengan sikap santai. Menatap kilauan tetes air hujan yang
memantulkan cahaya lampu taman. Di akhir senja tadi, seusai mampir di salah
satu food truck-nya, ia memutuskan
untuk tidak pulang ke apartemen. Besok hari Sabtu. Ia tak perlu berangkat ke
kantor.
“Aku
sebetulnya nggak tahu tujuan hidupku apa....”
Mendadak, suara lirih Rika terngiang di
telinganya. Seutuhnya ia bisa menangkap ada beban yang sarat tersirat dalam
mata bening Rika. Mata bening yang masih menyimpan kabut. Seutuhnya pula ia
memahami seperti apa rasanya menjadi seorang Rika.
Mereka menghabiskan sore tadi dengan
mengobrol panjang lebar tentang kehidupan mereka. Berbagi kisah, berbagi
pikiran. Dari obrolan itu ia tahu bahwa Rika memang satu-satunya ahli waris
tunggal dari keluarga pihak ayah kandungnya. Gadis itu memang punya saudara.
Dua orang malahan. Yang satu adalah saudara kembarnya, Neri, laki-laki. Seorang
lagi adalah adiknya, Mia, perempuan. Neri memang belum melepaskan diri dari hak
waris. Tapi setelah memilih masuk ke seminari untuk menjalani pendidikan
sebagai seorang calon pastor, apa lagi yang bisa diharapkan? Sedangkan Mia,
sejak awal ibunya sudah menekankan bahwa Mia sama sekali tidak berhak atas
warisan itu, karena bukanlah saudara sedarah Rika dari sisi mana pun.
“Aku,
sih, sebetulnya nggak keberatan berbagi dengan Mia,” ujar
Rika tadi. “Cuma, Mama ngotot banget
bahwa Mia nggak berhak. Iya, sih, aku tahu betul maksud Mama. Jaga amanah dari
keluarga almarhum Papa. Padahal setelah apa yang Mama dan Papa lakukan padaku
dan Neri setelah almarhum papaku nggak ada, itu sama sekali nggak ternilai.”
Mata Bismaka mengerjap ketika angin dingin
berembus, membawa tempian gerimis menyapa wajahnya sekilas. Dihelanya napas
panjang.
“Kamu ini, malam-malam masih di luar,
dingin-dingin begini, melamun lagi, kalau kesambet
gimana?”
Bismaka menoleh mendengar kalimat panjang
itu. Ia hanya bisa nyengir ketika
mendapati ibunya sudah berdiri di ambang pintu ruang tengah.
“Kamu tadi ngobrol lama banget sama yang
punya truk cwimie,” ujar Tetty sambil melangkah menghampiri, kemudian duduk di
sebelah kanan Bismaka. “Ngobrolin apa memangnya?”
Bismaka tersenyum lebar ketika telinganya
secara utuh menangkap nada kepo dalam
suara ibunya. Tapi dijawabnya juga pertanyaan itu. Tak seluruhnya, hanya garis
besarnya saja.
“Kayaknya cocok sama kamu, Bim,” celetuk
Tetty begitu Bismaka mengakhiri kisahnya.
Seketika Bismaka menepuk keningnya. Setengah
jengkel, setengah geli. Ibunya hampir selalu kepo soal cewek yang dekat dengan dirinya. Tak selalu ibunya
berpendapat soal kecocokan itu. Tapi setidaknya sudah dua kali sebelum ini.
Dan, hasilnya? Dua kali keinginan hatinya itu sama-sama kandas di tengah jalan.
Padahal ia sama sekali bukan tipe pemuda yang tidak serius menjalin hubungan
cinta dengan kekasih.
“Mama ini, ah!” elak Bismaka. “Dia aja baru
beberapa minggu ini kehilangan cowoknya. Masih berkabung.”
“Bubaran?” alis mata Tetty terangkat tinggi.
“Meninggal, Ma. Sakit.”
“Ah, kasihan...,” desah Tetty.
“Makanya jadi curhat pas tadi ketemu. Aku
tahu kisah cowoknya, dia juga tahu Lusi.”
“Oh....” Tetty manggut-manggut. “Ya,
setidaknya, kalau kamu nggak bisa kasih solusi, bantu dia dengan mendengarkan
curhatnya. Buat cewek, kadang-kadang curhat itu cukup hanya dengan didengarkan
saja. Sekadar melegakan hati.”
Bismaka mengangguk.
* * *
Sambil berbaring dan menatap langit-langit
kamar, Rika memutar ingatannya akan obrolannya dengan Bismaka sepanjang sore
tadi. Ia sangat terkesan dengan kisah Bismaka saat berani mengutarakan
keinginannya kepada kedua orang tuanya. Pada akhirnya memang Bismaka memilih
untuk menambah pengalaman dengan menjadi orang kantoran. Sempat kewalahan
ketika harus memadukan alokasi waktu untuk usaha mandiri dan pekerjaan
kantorannya.
“Kalau
kamu belum yakin dengan apa sebenarnya tujuan hidupmu, aku juga nggak yakin apa
sebenarnya mimpiku.”
Begitu
ucapan Bismaka tadi, disertai derai tawanya yang begitu mewarnai udara senja.
Kemudian pemuda itu berkisah tentang keinginannya yang lain, yang baru muncul
belakangan ini. Melanjutkan pendidikannya ke jenjang magister.
“Menurutmu,
penting nggak, aku lanjut ke S-2?” Pada satu detik, Bismaka berubah menjadi
sangat serius.
“Pentinglah....”
Begitu jawabnya. “Tapi juga harus dilihat dulu tujuanmu apa. Buat menambah
ilmu, atau cuma sekadar menambah gelar supaya bisa naik gaji.”
“Aku
bahkan nggak kepikiran alasan yang kedua itu,” sergah Bismaka. Lalu keduanya
tergelak bersama.
Rika menghela napas panjang. Ia bukanlah
seorang yang terlalu terbuka mengungkapkan kegundahan hati, sebenarnya. Bahkan
ada banyak hal yang belum pernah ia ungkapkan kepada keluarganya, apalagi
Andries. Sejak awal, melihat betapa Andries berjuang mempertahankan kondisi
tubuhnya agar tetap stabil, ia sudah memutuskan untuk mengisi kehidupan Andries
hanya dengan hal-hal yang menggembirakan saja. Itu pun ditebusnya dengan
menghadap ibunya pada suatu ketika, di awal ia memutuskan untuk menyediakan
diri menjadi kekasih Andries.
“Ma,
boleh aku minta waktu untuk sementara non-aktif dari beberapa urusan pekerjaan?”
Kencana
menatapnya. Lama.
“Pacarku
sakit, Ma,” ucapnya kemudian, dengan mata mengaca. “Mungkin waktunya juga nggak
lama. Aku cuma... ingin lebih banyak... menemaninya.”
“Apakah
kamu memang harus menyakiti dirimu sendiri seperti itu?” tanya Kencana
kemudian, dengan suara sangat lembut.
“Mungkin
aku nanti sakit sejenak kalau dia benar-benar pergi. Tapi setidaknya, aku sudah
berandil memberinya sedikit kebahagiaan. Dan, itu membahagiakan aku juga, Ma.”
Rika
tahu Kencana pasti paham. Bukankah ibunya itu pernah berada pada posisi yang
sama? Bahkan kemudian menanggung konsekuensi yang jauh lebih besar dan berat.
Dan,
ia menghela napas lega ketika ibunya mengangguk. Ia segera memeluk Kencana
dengan penuh rasa terima kasih.
“Kalau
kamu butuh bahu untuk bersandar dan menangis, selalu ada Papa dan Mama, Nak.”
Begitu bisik Kencana ketika membalas pelukannya.
Diam-diam, Rika mengusap butiran air mata
yang mendadak saja menggulir ke pelipisnya. Ia selalu tahu kedua orang tua
sambungnya adalah orang-orang baik. Begitu baiknya sehingga terkadang membuatnya
segan untuk mengutarakan keinginan yang sebenarnya. Pada Neri sekali pun. Ia
takut membuat mereka kecewa. Dan, ia dibesarkan bukan untuk tidak tahu terima
kasih. Kebaikan yang membuatnya betul-betul terjepit di tengah.
“Kapan
pun kamu merasa bebanmu sudah mulai terasa berat lagi,” ucap Bismaka halus, “curhatlah
sama aku. Kapan pun kamu butuh. Di luar jam kerja, tentu saja.”
Dibalasnya
senyum Bismaka.
“Mungkin
ada yang bisa aku bantu,” lanjut Bismaka. “Seandainya aku belum bisa bantu,
setidaknya kamu tahu, kamu punya teman dengan telinga selebar telinga gajah di
sini.”
Ia
pun tergelak.
Rika tersenyum mengingat itu. Sejauh ini, ia
selalu merasa nyaman berada di dekat Bismaka. Mengobrol dengan Bismaka selalu
membawanya pada suasana yang lebih ceria. Awan kelabu seolah tersingkap sedikit
dari kehidupannya. Begitu pula beban hati yang terasa mengimpit.
Tapi....
Ya Tuhan.... Bahkan Andries belum seratus hari pergi!
Rika menggigit bibir. Rasanya belum pantas ia
‘mendekat’ pada sosok pemuda lain. Tapi di sisi lain, ia ingat betul apa pesan
Andries.
“Suatu
saat, kalau memang aku harus benar-benar meninggalkanmu, aku ingin kamu nggak
menutup diri, Ka. Kehidupanmu masih panjang. Pasti kamu nanti juga akan bertemu
orang lain, yang bisa jadi adalah belahan jiwa sejatimu.”
Rika menggigit bibir. Air matanya bergulir
lagi.
Jadi,
aku harus gimana, Dries?
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar