Rabu, 18 Maret 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #3-2











* * *


Bismaka sudah lupa kapan tepatnya pertama kali bertemu dengan Rika. Mereka punya empat food truck yang ada di area yang sama, dengan tiga food truck letaknya cukup berdekatan. Satu di Depok, satu di Cikarang, satu di Jakarta Selatan, satu lagi di Serpong. Yang ia dengar, food truck Rika ada pula yang ngetem di Jawa Tengah dan Jawa Timur.

Keduanya sering berselisih tempat kunjungan. Karenanya cukup jarang bertemu. Obrolannya yang cukup banyak dengan Rika justru terjadi saat keduanya sama-sama mengisi booth food truck pada pesta pernikahan Pingkan, adik Andries.

Dengan anak buah yang lebih dari cukup cekatan melayani para tamu yang ‘jajan’ di food truck mereka, otomatis keduanya cukup punya waktu untuk mengobrol. Dari situ ia tahu bahwa Rika belum lama menjalin hubungan kasih dengan Andries, dan dari situ pula Rika juga tahu bahwa ia sudah punya seorang kekasih bernama Lusi.

Belakangan, beberapa belas minggu sebelum ia mengetahui kabar bahwa Andries telah berpulang, ia memang hampir tak pernah lagi bertemu dengan Rika. Hanya sempat beberapa kali bertemu dengan ibu gadis itu. Saat mereka tanpa sengaja bertatap muka di lokasi food truck yang sama. Sekilas-sekilas, ia jadi tahu kenapa Andries dan bagaimana kabar terkininya.

Pelan, dihelanya napas panjang. Sekilas diliriknya jam digital di dasbor mobil. Sudah hampir pukul satu dini hari. Dengan mulus, ia membelokkan mobilnya ke pintu gerbang khusus penghuni apartemen. Setelah menempelkan kartu pass ke pemindai, pintu gerbang itu pun terbukalah.

Beberapa belas detik kemudian, mobilnya sudah terparkir rapi di slot miliknya, di ­basement sebuah gedung apartemen kelas menengah berlantai delapan belas. Dengan cepat ia melangkah ke lift.

Sekitar satu setengah tahun lalu, ketika ia makin sibuk, ia memutuskan untuk pindah ke apartemen. ART orang tuanya memang tak pernah keberatan membukakannya pintu gerbang rumah pukul berapa pun ia pulang. Tapi ia tetap merasa tak enak hati.

Pada hari kerja, sering kali langsung menengok langsung usahanya seusai jam kantor. Bisa sampai nyaris tengah malam ia baru pulang. Keesokan harinya, pagi-pagi sekali ia harus berangkat ngantor lagi karena tak ingin terjebak kemacetan. Lama-lama ia capek juga. Apalagi rumah orang tuanya cukup jauh dari kantor. Karenanya ia membulatkan tekad untuk pindah ke apartemen yang letaknya ada di dekat kantornya.

Komplek hunian yang memiliki lima unit gedung apartemen masing-masing bertingkat delapan belas itu terletak di lokasi yang sangat strategis. Sebanding dengan harganya. Untung sekali apartemen itu adalah ‘jatah’ milik Ernest, karena ayahnya sendiri yang memiliki dan membangun kompleks kelas menengah itu. Maka, ia pun bisa menebusnya dengan harga cukup miring. Asal cukup bagi Ernest untuk membeli rumah mungil di Bogor. Itu pun dengan menggunakan fasilitas kredit pemilikan apartemen dari sebuah bank yang sama sekali tidak berhubungan dengan ayahnya. Dan, ia langsung merasa nyaman untuk tinggal di sana. Tak perlu lagi merasa tak enak hati terhadap ART orang tuanya.

Ketika menutup kembali pintu apartemennya dari dalam, barulah diembuskannya napas lega. Akhir pekan sibuknya sudah berakhir. Saatnya beristirahat. Tak bisa lama, karena beberapa jam lagi ia sudah ditunggu ayahnya untuk membicarakan proyeksi bisnis mereka.

* * *

“Jadi, gimana, Bim?” tanya Pringgo, begitu Bismaka selesai cipika-cipiki dengan ibunya, menjelang siang itu.

Bismaka mengambil tempat di sofa seberang ayahnya. Duduk dengan santai sambil meletakkan segelas besar es kopyor yang dibawanya dari dapur. Segera paham arah bicara ayahnya.

“Ini Papa beneran mau resign?” Wajah Bismaka terlihat serius.

“Ya, iyalah.... Lagipula mumpung ada kesempatan bisa join usaha sama kamu. Mana Papa, kan, masuknya di tengah-tengah. Nggak mulai dari nol. Kurang enak apa, coba?”

Seketika Bismaka mencibir. Pringgo tergelak.

“Kalau beneran Papa gantiin Ernest, harus kuat jungkir balik urus ini-itu. Sanggup enggak?”

“Papa belajar bener-bener, deh.” Suara Pringgo terdengar sangat serius. “Secara umur, Papa memang jauh lebih senior daripada kamu. Tapi secara pengalaman di usaha food truck ini, tentunya Papa kalah jauh sama kamu. Tapi jangan khawatir, Ernest mau ngajarin Papa segala hal soal usaha kalian asal Papa cepat ambil alih sahamnya. Jadi, nggak akan mengganggu kamu.”

Bismaka meringis dalam hati. Rupanya ayahnya benar-benar sudah merancang segala hal agar keinginannya ini bisa terlaksana. Ia menggeleng pelan.

“Kalau sudah kayak gini, aku bisa bilang apa?” Dikedikkannya bahu.

Pringgo tertawa. Penuh kemenangan. Diulurkannya tangan.

Deal?” ujarnya.

Bismaka memiringkan sedikit kepalanya. Menatap Pringgo. Berlagak kurang yakin. Beberapa detik kemudian, tawanya pun lepas. Disambutnya uluran tangan sang ayah.

“Oke, deal!” jawabnya. Mantap. Lagipula, sebetulnya ia sudah berkali-kali memikirkan hal ini. Makin ia berpikir, makin ia merasa sayang untuk melepaskan kesempatan bekerja sama dengan ayahnya sendiri. Makin merasa sayang pula bila ia terpaksa harus berjoin dengan orang lain yang belum tentu cocok.

 Bismaka dan Pringgo pun berjabat tangan erat.

“Selama Papa belajar dari Ernest, kamu konsentrasi saja sama kerjaan kantormu,” ucap Pringgo. “Salah satu tujuan Papa, kan, memang seperti itu. Agar kamu lebih konsen dengan karier kantoranmu. Agar usaha mandirimu pun tidak terimbas pergantian pemilik saham yang mungkin kurang sejalan denganmu nantinya.”

Bismaka mengangguk-angguk. Sedikit terharu dengan ucapan ayahnya. Tak bisa dipungkiri bahwa ia merasa lega kini. Seolah ada beban berat yang terangkat dari pundaknya. Sudah beberapa waktu lamanya ia seolah menjalankan usaha itu seorang diri. Tak jadi masalah kalau ia benar-benar hanya menjalankan usaha itu, tidak dobel dengan karier kantorannya. Sayangnya, yang terjadi adalah sebaliknya.

“Apa pun deal kalian, supplier utamanya tetap Mama, kan?” Tetty muncul dengan membawa piring lebar berisi cake pisang yang masih mengepulkan asap tipis. Aroma lezat segera menguar seantero ruang keluarga itu.

“Pastilah, Ma.” Bismaka melanjutkan ucapannya dengan tawa. “Bisa mati kutu kalau pasokan bahan setengah jadinya mogok.”

Mereka bertiga pun tergelak.

Selama ini, pemasok utama semua menu yang tersedia di food truck dan warteg Bismaka-Ernest memang Tetty-lah orangnya. Ibu Bismaka itu adalah pemilik sebuah katering ternama. Bahan makanan yang tersedia di food truck dan warteg semuanya adalah racikan dapur Tetty. Karenanya, rasa makanan di usaha kuliner itu memang sudah tak lagi bisa diragukan kelezatannya.

Sejenak, Bismaka menatap ayah dan ibunya bergantian. Betapa beruntungnya ia memiliki orang tua seperti kedua orang tuanya ini. Tak pernah memaksanya untuk jadi ini atau itu. Membebaskannya menentukan langkah dalam meniti masa depannya. Mendukung setiap keputusan baik yang ia buat. Pelan diembuskannya napas lega.

“Bim, kepikiran nggak, lanjut ke S-2?”

Suara halus Tetty itu seolah menyentakkan kesadaran Bismaka. Ditatapnya sang ibu. Segera saja ia menemukan harapan yang begitu besar mengambang di dalamnya. Ia mengerjapkan mata.

“Kepikiran, sih...,” jawabnya kemudian. Serius. “Kalau sudah agak longgar waktuku, aku pikir perlu juga aku nambah ilmu.”

Tetty terlihat lega. Pun Pringgo.

“Berdoalah, semoga papamu ini nggak terlalu bego soal usaha food truck,” ujar Pringgo. Tersenyum simpul. “Jadi, urusannya nggak jadi lebih panjang lagi. Supaya kamu bisa cepet punya waktu longgar.”

Bismaka tertawa ringan.

Beberapa puluh bulan lalu, setelah Bismaka menyelesaikan jenjang sarjananya, ia berpikir bahwa belum perlu ia langsung lanjut ke S-2. Ia lebih memilih untuk fokus mengembangkan usahanya bersama Ernest. Tapi ia tidak ingin menutup diri terhadap kebutuhan itu. Maka, ia berpendapat ‘suatu saat, mungkin perlu juga lanjut ke S-2’.

“Hidup itu memang harus dinamis.” Begitu ucapan pemimpin tertinggi perusahaan tempatnya bekerja. Bismaka masih ingat betul kalimat itu, yang terucap hampir tiga tahun yang lalu. Saat ia masih dalam minggu-minggu awal bulan orientasi kerja. “Karena dalam kondisi dinamis itu kita berkreasi menciptakan mimpi. Alangkah indahnya kalau suatu saat mimpi itu bisa terwujud secara nyata, kan?”

Pada titik memori itu, seolah ada kesadaran lain menghantam pikiran Bismaka.

Lalu, apa sebenarnya mimpiku?

Seketika, ia tertegun.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi



Tidak ada komentar:

Posting Komentar