Senin, 09 Maret 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #1-1











Satu


Pelan Rika mendorong kursi roda Paul masuk ke lobi RS Eternal Husada, dan berbelok kiri, ke arah lift. Seharusnya, ibunya yang melakukan itu. Tapi mereka berganti tugas hari ini. Cuti panjangnya belum habis.
  

“Nggak apa-apa kamu menemani Opa kontrol ke rumah sakit?” Tadi pagi, sang ibu menatapnya sedemikian rupa. Antara yakin sekaligus tidak..

Ia menggeleng sambil tersenyum tipis. “Nggak apa-apa.”

Kencana, ibunya, masih menatapnya. Lekat. Tentu saja Kencana tahu, di mana Rika berada pada sepuluh hari terakhir sebelum Andries berpulang. Rumah Sakit Eternal Husada. Tempat yang sama dengan ke mana Rika harus membawa opanya.

“Memangnya acara Mama hari ini nggak bisa ditunda?” celetuk Owen, sesaat sebelum menghabiskan kopi susunya.

Sebelum Kencana sempat menjawab, Rika sudah menyergah. Halus. “Nggak apa-apa, Pa. Mama harus bertemu klien penting. Seharusnya itu tugasku, tapi....”

“Apa sebaiknya kontrol Opa ditunda jadi besok saja?” Kencana mengerutkan kening.

“Jangan!” Rika kembali menyergah. “Sudah, nggak apa-apa. Toh, aku nggak ngapa-ngapain juga di rumah.”

Kencana masih mengirimkan sinyal tak yakin melalui tatapan matanya. Sekali lagi, Rika meyakinkan ibunya. Setelah itu, barulah sang ibu menghela napas lega.

“Baiklah....” Kencana menyerah. “Mama percaya sama kamu.”


Saat menunggu pintu lift terbuka, tanpa sengaja tatapan Rika jatuh ke mulut lorong di sebelah kanan lift. Tanpa bisa dicegah, ada rasa perih yang terasa menusuk hatinya. Lorong itu menuju ke ruang ICU. Sejenak, ia seperti tersedot ke pusaran hari-hari lalunya.


“Kika...,” bisik Andries, susah payah. “Aku pergi, ya. Sudah terlalu banyak waktu terulur.”

Ia hanya bisa mengangguk dengan lidah kelu dan leher terasa sakit. Sekuat tenaga ia menahan tangis. Ia tak mau Andries melihatnya menangis. Ia tak mau memberati langkah Andries dengan air matanya.

“Terima kasih, kamu sudah menemaniku. Menerimaku apa adanya,” bisik Andries lagi. “Memberiku kebahagiaan setahun terakhir ini.”

Rika menghentikan bisikan Andries dengan memberikan ciuman lembut di kening laki-laki itu. Walaupun bibir Rika terhalang masker, Andries masih bisa merasakan kehangatannya.

Lalu. Andries pun mengatupkan mata dengan seulas senyum membayang di bibir. Kesadaran dan kondisi Andries yang sempat sedikit membaik sehari sebelumnya kembali menurun. Terus menurun tajam hingga akhirnya berpulang dua hari kemudian.

Sesuatu yang membuat dada Rika seperti terhantam. Tak ada lagi kata lain yang terucap. Tak ada lagi yang memanggilnya ‘Kika’.


Ia tersadar ketika pintu lift bergerak membuka. Dengan cepat ia mengerjap beberapa kali untuk mengusir telaga bening yang sempat mengembang. Dengan hati-hati didorongnya kursi roda Paul, masuk ke lift. Hanya ada mereka berdua dan dua orang tenaga paramedis, yang menyapa keduanya dengan sangat ramah, di dalam lift yang naik perlahan.

Di lantai enam, pintu lift terbuka. Rika kembali mendorong kursi roda Paul, menuju ke poli geriatri. Seorang tenaga paramedis menyambut kehadirannya dan Paul dengan ramah. Dengan cekatan, perempuan muda itu mulai memeriksa tensi Paul, dan menanyakan dengan sabar tentang keluhan-keluhan Paul.

“Ibu sibuk?” tanya paramedis bernama Tina itu. Sejenak menatap Rika sembari tersenyum. “Biasanya Ibu yang mengantar.”

“Iya, ada urusan kantor yang nggak bisa ditinggal.” Rika membalas senyum itu.

“Biasanya Mbak Enik atau Mbak Luf ikut?” Tina menyebut nama dua orang perawat pribadi Paul.

Shift-nya Mbak Luf ini tadi.” Senyum Rika melebar. “Saya suruh leha-leha sebentar di rumah.”

Tina tertawa kecil.

“Silakan tunggu sebentar, ya, Mbak.” Tina kembali menatap Rika setelah menyelesaikan urusannya dengan Paul. “Masih ada pasien di dalam.”

Rika mengangguk sambil tetap tersenyum. Ia kemudian membungkuk.

“Opa mau tetap di kursi roda, atau mau duduk di sofa situ?” tanyanya dengan nada sabar, sambil menunjuk ke salah satu sudut.

“Di sini saja, Can,” jawab Paul.

Rika mengangguk. Tak mencoba membenarkan kesalahan Paul menyebut namanya. Kakeknya ini memang sudah mulai pikun. Mulai susah membedakan mana Kencana dan Rika, walaupun keduanya sama sekali tidak mirip. Ia pun mendorong Paul ke tepi, tempat kursi tunggu terdekat berada.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi




4 komentar: