* * *
Lima
‘Nggak perlu’ adalah jawaban tegas Ernest
ketika Bismaka menanyakan soal perubahan nama usaha yang pernah mereka bentuk
bersama, Erbim Jaya. Kepanjangan dari Ernest dan Bimbim, nama panggilan
Bismaka. Siapa tahu Ernest keberatan namanya masih disematkan pada usaha itu.
Yang penting adalah saham Ernest kini dimiliki oleh Pringgo Ernawan, ayah
Bismaka. Sudah sah, ada bukti hitam di atas putih.
Bismaka menghela napas lega ketika ayahnya
benar-benar jadi pembelajar yang baik. Dengan cepat sang ayah menguasai
seluk-beluk usaha mereka, dan melakukan tugasnya dengan sempurna. Barangkali
masih ada kemiripan antara bankir dengan pelaku dunia usaha kuliner.
Sore itu, sepulang kerja, Bismaka memutuskan
untuk tidak langsung pulang ke apartemen. Ia meluncur ke salah satu tempat food truck-nya ngetem. Beberapa ratus meter dari kantornya. Sepertinya enak sekali
makan cwimie ‘tumpeh-tumpeh’ sore-sore
begini.
Area pusat jajan itu masih belum terlalu
ramai ketika Bismaka memarkir mobilnya. Langit masih terang. Masih belum genap
pukul lima sore. Ia tersenyum ketika melihat mobil ayahnya parkir di ujung
sana. Dan, laki-laki yang masih gagah itu menyambut kehadiran putranya dengan
wajah cerah.
“Tuh, ditanyain anak-anak. ‘Mas Bimbim dah
berapa minggu nggak mampir, ke mana saja?’,” ujar Pringgo.
Bismaka tertawa. Ia memang sudah satu
setengah bulan sama sekali tidak mengontrol armada food truck-nya. Semua urusan ia serahkan pada sang ayah. Membuatnya
bisa lebih berkonsentrasi menyelesaikan semua pekerjaan kantorannya.
Tawanya melebar ketika ibunya muncul pula dari
dalam food truck. Sejak ada sang
suami masuk ke Erbim Jaya, Tetty tak sungkan lagi untuk ikut mengontrol menu di
food truck. Sudah banyak orang yang
mengurusi usaha katering dan wedding
organizer-nya. Saatnya menemani sang suami menekuni usaha baru.
“Ada Papa, Bimbim jadi keenakan lepas
tanggung jawab,” cibir Tetty.
“Kan, biar Papa latihan, Ma,” kilahnya. “Eh,
aku mau pesan cwimie di belakang situ. Mama sama Papa mau?”
“Lha, tadi siang sudah,” jawab Tetty.
“Tiap ikut ke food truck yang ada truk cwimienya, mamamu selalu minta dibelikan,”
timpal Pringgo, tertawa lepas. “Enak banget, katanya.”
Bismaka tersenyum. Ketika melangkah ke truk
cwimie, sekilas ia melihat bayangan Rika masuk ke truk. Ia pun mempercepat
langkahnya.
“Hai!” sapanya ketika sampai di jendela
pemesan, dengan Rika ada di sana.
“Hai juga!” senyum Rika merekah.
Sudah
nggak semendung tempo hari, batin Bismaka.
“Food
truck-mu ganti pengelola?” tanya Rika sambil meraih catatan.
“Enggak.” Bismaka menggeleng. Tapi menyadari
kesalahannya sejenak kemudian. “Eh, maksudku, aku ganti rekanan.”
“Oh.... Eh, mau pesen apa, nih?” senyum Rika
kembali tersungging.
“Tumpeh-tumpeh,
sama pangsit goreng satu porsi.”
“Saus pangsitnya?”
“Asem manis aja.”
“Mau dianter ke meja berapa?”
“Di situ saja.” Bismaka menunjuk meja yang
terdekat dengan truk Rika. “Jadi berapa?”
“Gratis,” jawab Rika sambil menyetempelkan
tulisan ‘LUNAS’ pada nota.
“Lho! Nggak bisa gitu, dong!” tukas Bismaka.
“Bisa, dong....,” jawab Rika dengan nada
jenaka. “Servis buat pelanggan yang lama banget nggak muncul-muncul.”
Seketika Bismaka tergelak. Disimpannya
kembali dompet ke saku belakang celananya sembari mengucapkan terima kasih.
“Aku temani, mau?” tanya Rika, sebelum
Bismaka berbalik.
“Boleeeh...,” jawab Bismaka dengan nada
riang. “Dengan senang hati.”
Keduanya kemudian duduk berhadapan sambil
menunggu pesanan Bismaka selesai diracik. Sinar matahari sore yang hangat
menyinari wajah mereka dari sela-sela dedaunan.
“Itu beneran food truck-mu ganti rekanan? Kamu masih ada saham?” tanya Rika,
terlihat sedikit penasaran.
“Iya.” Bismaka mengangguk. “Rekanku jual
jatah kepemilikannya ke papaku. Kebetulan papaku memang ingin pensiun dini.
Daripada jatuh ke orang lain yang belum tentu cocok sama aku, akhirnya
ditebuslah sama papaku. Makanya, kan, sekarang jadi papaku yang sering nongol
di sini. Mamaku ikut-ikutan.” Bismaka terkekeh di ujung penjelasannya.
“Eh, mamamu baik banget!” ujar Rika dengan
mata berbinar. “Menjelang sore tadi, begitu aku datang, aku pesan makanan,
nggak boleh bayar.”
“Oh... jadinya aku nggak boleh bayar
gara-gara itu?” Bismaka nyengir.
Rika tergelak. Tak mau menjawab. Tepat saat
itu, pesanan Bismaka datang. Keduanya tetap mengobrol sambil Bismaka menikmati
makanannya. Pada satu detik, Rika sempat tercenung. Bismaka menangkap gelagat
itu.
“Kenapa, Rik?” tanyanya, halus.
“Aku sebetulnya nggak tahu tujuan hidupku
apa,” gumam Rika. “Dari awal aku sudah diplot untuk pegang perusahaan warisan
Opa, dan usaha ini, warisan Papa. Aku lebih senang di sini, sebetulnya. Di tiap
food truck. Bertemu dengan banyak
orang. Melihat berbagai karakter.”
“Opamu masih aktif di perusahaannya?” Bismaka
menatap Rika.
Rika menggeleng. “Sejak aku kecil, sudah
dipegang almarhum Papa. Ketika Papa meninggal, Mama ambil alih pengelolaannya
secara penuh, menunggu aku dewasa.”
“Sebentar....” Bismaka mengerutkan kening. “Bukannya
papamu masih ada? Yang sering ke sini itu?”
Rika menggeleng. “Panjang ceritanya, Bim.” Ia
mencoba untuk tersenyum.
“Kalau kamu mau cerita, aku mau banget, kok, dengerinnya.”
Seketika, Rika ternganga. Ia seolah dilanda deja vu.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar