* * *
Hampir pukul dua siang, tugas Rika pun
selesai. Paul sudah dipastikannya aman dan nyaman di bawah pengawasan Luf,
salah seorang perawat pribadi. Laki-laki sepuh
itu sudah makan, dan sekarang sedang beristirahat. Sempat memeluk Rika sejenak
saat gadis itu berpamitan.
Di bawah siraman hujan gerimis, Rika
melajukan mobil mungilnya meninggalkan kediaman Paul. Baru sekitar 30 meter
meluncur, ponselnya berbunyi. Sekilas ia melirik benda yang tergeletak di
konsol tengah itu. Nama ‘Mia’ berkedip di sana. Seketika ia menepikan mobil. Setelah
menarik tuas rem tangan, ia pun meraih ponselnya.
“Ya, Mi?” sahutnya langsung.
“Kak,
masih di rumah Opa Paul-kah?”
Rika tersenyum mendengar suara cempreng
adiknya.
“Baruuu juga keluar. Kenapa? Mau dijemput?”
tembak Rika, langsung. Senyumnya melebar mendengar kekehan Mia dari seberang
sana. Ia tahu apa yang ada di kepala Mia. Hujan-hujan
begini....
“Please....”
“Oke, oke. Kamu tunggu sebentar, ya.”
Pembicaraan diakhiri, dan Rika pun terpaksa
memutar balik. Sekolah Mia tidak jauh dari lokasinya saat ini. Hanya butuh
waktu kurang dari sepuluh menit, ia pun sampai di tujuan. Masih ada antrean
beberapa mobil penjemput. Tapi dari kejauhan, ia bisa melihat adiknya sedang
menunggu di halte dekat gerbang sekolah.
Begitu menyelinap masuk ke dalam mobil, Mia
menyodorkan sebuah kotak mika bening. Rika tertawa melihat isi kotak itu.
“Nih, Kak, kubelikan cilok,” ujar Mia.
“Hehehe... Makasiiih... Eh, kok, cuma
sekotak?” Rika mengerutkan kening sambil meluncurkan kembali mobilnya.
“Jatahku sudah habis sambil nungguin Kakak
tadi.” Mia menyambung ucapannya dengan tawa renyah.
Rika kembali tertawa.
“Kak, tadi mampir ke rumah Eyang, nggak?” Mia
kembali buka suara ketika mereka terhadang lampu merah di pertigaan terdekat.
“Tadinya, sih, mau mampir,” jawab Rika. “Tapi
keburu kamu telepon. Kenapa? Mau ke sana sekarang?”
“Nggak apa-apa?” Mia memastikan.
“Ya, nggak apa-apalah.... Dekat ini.”
Sampai di perempatan berikutnya, Rika pun
membelokkan mobil ke kiri.
“Opa Paul gimana kondisinya?”
“Lumayan sehat, kok. Cuma memang pikunnya dah
lumayan parah. Dari tadi ketemu juga aku dipanggil ‘Ican-Ican’ melulu.” Rika
menyebutkan nama panggilan akrab ibu mereka.
Mia terkekeh. “Jangankan Kakak, aku aja
dipanggil Ican kalau ketemu Opa.”
Rika ikut terkekeh mendengarnya.
Tak butuh waktu lama hingga mereka sampai di
tujuan. Rumah ‘Eyang’, yang letaknya hanya bertetangga sekian jalan dari rumah
Paul. Dengan cepat Mia mengambil payung yang ada di belakang jok Rika. Ia
kemudian keluar dari mobil dan membuka pintu pagar di bawah siraman hujan
gerimis yang pelan-pelan menderas. Begitu Rika mematikan mesin mobil, pintu
depan rumah bercat putih tulang itu terbuka.
Dua orang sosok sepuh yang terlihat masih sangat bugar segera menyambut mereka
dengan pelukan dan ciuman hangat di kening. Kemudian, Rika dan Mia pun digiring
masuk.
Mereka segera riuh bertukar kabar. Ketika Mia
sedang asyik mengobrol dengan eyang kakungnya, sang eyang putri berucap lirih
sambil menatap Rika dengan sorot mata prihatin, “Kamu kurusan, Nduk.”
Sejenak Rika tertegun sebelum memaksa bibirnya
mengulas senyum. Ndari mengelus kepala salah satu cucunya itu dengan penuh
kasih sayang.
“Sedang berusaha untuk memulihkan diri,
Eyang,” jawabnya halus.
Dan, Ndari paham seutuhnya. Anak gadisnya
dulu, Kencana, juga butuh waktu lama untuk memulihkan diri dari dua kehilangan
yang pernah dialaminya. Bahwa kini cucunya pun ternyata memiliki nasib yang
nyaris serupa, hal itu membuat dada Ndari terasa sakit.
Tapi, gadis muda yang kini duduk di
sebelahnya ini agaknya adalah seorang gadis yang cukup kuat. Dari kedalaman
mata Rika, ia bisa menangkap keikhlasan atas berpulangnya Andries.
“Aku nggak mau memberati langkah Andries,
Eyang,” gumam Rika. “Siapa tahu saat ini dia sedang mengobrol dengan Papa di
Surga.”
Ada segaris tipis nada canda dalam suara
Rika. Tak pelak, nada itu menghadirkan rasa haru dalam hati Ndari. Direngkuhnya
bahu cucunya itu.
“Kamu kuat,” gumamnya. “Pasti kuat. Eyang
yakin itu.”
Rika pun kembali mengulas senyum.
Beberapa saat kemudian, ia melarutkan diri
dalam percakapan hangat dengan adik dan kedua eyangnya. Ia sudah mulai bisa
membalas canda. Sudah mulai bisa tertawa lepas.
Pada satu detik ia pun tahu. Ia akan
baik-baik saja walaupun Andries sudah tidak ada lagi di dunia ini.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar