* * *
Lalu,
Rika tak pernah bisa berhenti memikirkan Andries. Kasihan? Bukan! Bukan
perasaan seperti itu. Pada awalnya ia merasa demikian. Namun, setelah berkali-kali
menengok lagi ke dalam lubuk hatinya, ia mendapati bahwa pesona Andries-lah
yang telah menjeratnya. Sama sekali bukan perasaan iba.
Tiga
hari kemudian, pada Sabtu siang, ia memberanikan diri menyapa Andries melalui
pesan singkat. Tak dinyana, Andries membalas pesan itu dengan langsung
meneleponnya.
“Hai!”
Rika menjawab telepon dengan suara lirih, dengan jantung berdebar kencang. “Apa
kabar?”
“Hai!”
balas Andries. “Kamu sudah tahu kondisiku sekarang,” lanjut Andries. Tanpa basa-basi.
“Mm....
Ya. Kenapa memangnya?”
Hening.
Sekilas Rika mendengar dengung obrolan di seberang sana, di dekat Andries.
“Nanti begitu keluar dari sini, aku bereskan
pembayaran kontrak food truck-mu.” Alih-alih menanggapi pertanyaan Rika,
Andries justru membicarakan hal lain.
Rika
menghela napas panjang.
“Boleh...
aku... ke situ?” tanyanya kemudian.
Hening
lagi.
“Ke mana?”
“Menengokmu.”
“Nggak perlu merepotkan diri.”
Rika
mendegut ludah mendengar ada nada ingkar dalam suara Andries.
“Nggak
repot, kok. Aku lagi di sebelah kamarmu. Tadi gantiin Bude sebentar jaga Opa.
Sekarang Bude sudah selesai urusannya.”
Hening
lagi.
Kepalang tanggung! Rika segera memutuskan. Tanpa mengatakan apa-apa lagi ia menyudahi
pembicaraan itu. Ia menoleh ke arah budenya.
“Bude,
saya tengok teman dulu, ya? Nanti saya balik lagi. Cuma di sebelah ini.”
“Oh,
temanmu yang leukemia itu?” ujar Stella.
Rika
mengangguk.
“Salam,
ya.”
Rika
kembali mengangguk. Beberapa detik kemudian ia sudah mengetuk pelan pintu kamar
rawat Andries. Seorang laki-laki tinggi besar berusia enam puluhan membuka
pintu itu dari dalam. Dengan ramah laki-laki itu menyuruhnya masuk setelah
mereka bertukar salam.
Ternyata
hampir seluruh keluarga Andries sedang berkumpul di kamar itu. Ayah-ibunya,
abangnya, adiknya, calon adik iparnya. Semua menyambutnya dengan ramah.
“Ya,
deh, aku pulang dulu,” pamit abang Andries. Nicholas namanya. “Besok aku ke
sini lagi. Kamu cepet pulih, Dries. Iori dah kangen sama kamu.”
Andries
mengangguk sambil tersenyum. Setelah itu, ibu Andries menanyakan kabar Paul.
Bahkan kemudian ayah Andries mengusulkan untuk gantian menengok Paul sekalian
berkenalan. Segera kamar rawat itu lengang. Hanya menyisakan Rika dan Andries.
Sejenak keduanya bertatapan, sebelum Rika melangkah ke arah kursi di samping
tempat tidur Andries.
“Hai,”
sapa Rika lagi, lirih.
“Hai
juga.” Andries mengulas senyum tipis. “Mama bilang beberapa hari lalu kamu ke
sini, habis dari nungguin opamu.”
“Iya,”
angguk Rika. “Pas kebeneran papasan sama Tante pas mau pulang.”
Lalu
hening. Dalam posisi setengah bersandar, Andries mengalihkan tatapannya ke arah
lain.
“Beginilah
kehidupanku,” gumamnya kemudian. Suara lirihnya seolah berasal dari tempat yang
jauh. “Antara kantor, rumah, dan rumah sakit.”
Rika
mengerjapkan matanya yang terasa sedikit lembap ketika menangkap ada nada pahit
dalam suara Andries.
“Sudah...
berapa lama?” Ragu-ragu, Rika melontarkan pertanyaan itu.
Andries
kembali menatap Rika. “Masuk tahun ketujuh. Sudah dapat bonus hampir lima tahun.”
Andries mencoba untuk tersenyum. “Adikku sudah mendapatkan penjaganya. Tugasku
sudah selesai.”
Tak
bisa ditahan, air mata Rika mengembang begitu saja.
Seperti itukah Papa dulu? Setelah mendapatkan
penjagaku dan Neri, lalu Papa berpulang...
Rika
mengerjapkan matanya. Sehelai tisu terulur ke depannya tiba-tiba. Tanpa melihat
siapa yang mengulurkan tisu itu, Rika menerima dan menyeka matanya. Sekali lagi
mengerjapkan mata, kemudian menatap Andries.
“Jadi
ingat mendiang Papa.” Rika mencoba untuk tersenyum.
“Bukannya
papamu masih ada?” Andries mengerutkan kening. Menatap Rika dengan
serius.
“Papa
kandungku sudah meninggal, waktu aku umur tujuh tahun. Tiga tahun kemudian Mama
menikah lagi, dengan papaku yang sekarang, Papa Owen. Sebenarnya... Mama juga
bukan mama kandungku. Ah, ruwet ceritanya.” Rika tersenyum lagi.
“Kalau
kamu mau cerita, aku mau banget mendengarkan.” Andries membalas senyum itu.
Terlihat begitu teduh.
Rika
bimbang sejenak. Tapi pelan-pelan diceritakannya juga kisah hidupnya. Mulai
dari yang ia tahu dan ingat. Andries terlihat mendengarkannya dengan sangat
tekun. Dan, entah bagaimana awalnya, ketika Rika mengakhiri kisahnya, tangan
kanan Andries sudah menggenggam tangan kanan Rika. Terasa sedikit lembap, tapi
hangat. Keduanya bertatapan sejenak.
“Ketika
menjumpaimu untuk kedua kalinya di kantormu,” ujar Andries, “entah kenapa aku
merasa bahwa Tuhan punya maksud tertentu. Hanya saja aku nggak berani berharap
lebih. Aku tahu betul kondisiku. Di mana nanti usia pendekku akan bermuara. Tapi
aku juga sulit mengingkari perasaanku sendiri. Aku... belum pernah merasa
seperti ini. Pesonamu sudah memikatku sejak kita pertama kali bertemu di Bistro
La Lune. Aku....”
Rika
tak mau lagi kehilangan kesempatan itu.
“Kalau
begitu, jadikan aku kekasihmu,” sergahnya cepat. “Kenapa harus capek-capek
mengingkari perasaan?”
Andries
tertegun. Ada cahaya indah berlompatan keluar dari mata bening Rika. Ia buru-buru
melengos. Terdorong impuls yang meledak-ledak begitu saja di dalam dirinya,
Rika segera berdiri dan memeluk Andries. Sejenak tubuh laki-laki itu terasa
kaku, tapi mulai rileks beberapa detik kemudian. Bahkan, pelukan Rika
bersambut.
“Kalau
benar waktumu memang tidak lagi terlalu panjang,” bisik Rika, “setidaknya
biarkan aku menemanimu.”
“Aku
tidak bisa memberikan apa-apa untukmu,” gumam Andries.
“Aku
tak minta apa-apa,” sergah Rika. “Aku cuma ingin kita menikmati saja apa yang
masih bisa kita nikmati.”
Dengan
halus, Andries melepaskan pelukannya. Ditatapnya Rika.
“Termasuk
memanggilmu Kika?” senyum Andries.
Rika
terbengong sejenak. Andries melepaskan tawanya.
“Sejak
tahu nama lengkapmu, entah kenapa aku gatal sekali ingin memanggilmu Kika,”
jelas Andries.
“Itu
nama mantanmu?” Rika menyipitkan mata.
Andries
kembali tergelak. Menggeleng.
“Bukaaan,”
jawab Andries di sela tawanya. “Mantanku dulu namanya Sonia. Sialnya, sama
kayak nama Mama.”
Rika
tersenyum lebar.
“Dia
meninggalkanku ketika tahu aku sakit,” lanjut Andries, dengan nada dan ekspresi
biasa-biasa saja. “Waktu tahu aku survive dan dipercaya Papa pegang pabrik di Cikarang dan Karawang, dia mau
balik. ‘Cewek matre’. Begitu Keke bilang.” Andries menutupnya kembali dengan
tawa ringan.
Rika
pun menyimpulkan senyumnya.
Rika tersentak ketika ponselnya berbunyi.
Seketika ia tercerabut dari lamunan dan kenangannya tentang Andries. Ketika ia
meraih gawainya, benda itu justru terdiam. Melihat telepon dari siapa yang baru
saja terlewatkan, ia buru-buru menelepon balik.
“Halo? Maaf, Ma, tadi lagi jauh dari ponsel.”
Begitu ucapnya ketika ibunya menjawab panggilannya.
“Iya,
nggak apa-apa. Kamu masih di kantor Han’s? Nggak lupa, kan, kalau kita ada
janji ketemuan?”
“Iya, Ma. Nggak lupa, kok. Sepuluh menit lagi
aku ke sana, deh.”
“Kamu
langsung ke Bistro La Lune saja, ya. Kita sekalian makan siang. Gimana?”
“Oh, ya. Boleh... boleh....”
Mereka pun mengakhiri pembicaraan itu. Tanpa
membuang waktu, Rika segera merapikan berkas yang tadi sempat ditekuninya
sebelum terseret lamunan akan Andries. Setelah menyimpan berkas itu ke dalam
brankas, ia pun meraih tas dan melangkah keluar dari ruangannya.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
Tidak ada komentar:
Posting Komentar