Rabu, 01 April 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #6-2











* * *

Berada di antara ratusan rekan seprofesi membuat Rika seolah mendapat suntikan semangat baru. Grafik prospek bisnis kuliner dengan mengandalkan food truck terus naik. Walaupun ada juga yang rontok karena tak bisa bersaing, tapi yang terus memantapkan diri lebih banyak lagi. Dalam acara kopdarnas itulah mereka saling berbagi tips dan strategi bisnis. Dibuangnya semua keresahan yang melandanya belakangan ini jauh-jauh.

Ia juga menjadi seorang pembicara pada salah satu sesi. Membagikan pengalaman bagaimana mengembangkan bisnis yang dulu sudah dirintis oleh almarhum ayahnya. Armada food truck­-nya memang termasuk salah satu armada tertua yang masih bertahan, bahkan berkembang dengan sangat baik.

Di kursi peserta seminar, Pringgo memasang atensi penuh, sekaligus merekam penampilan Rika. Ia selalu kagum pada para pengusaha muda yang begitu enerjik dalam gegas gerak mereka menjalankan usaha. Termasuk pada putra tunggalnya, tentu saja. Seorang pemuda yang bertahun-tahun lalu berani mengambil risiko membidik dan mengembangkan usaha food truck. Bisa dikatakan, saat inilah waktunya tiba untuk menuai hasil. Walaupun ia merupakan rekanan baru, tak ada kata terlambat untuk belajar. Tak perlu malu menjadi salah satu sosok tertua dalam kerumunan itu.

Tepuk tangan yang pecah di sekelilingnya menyadarkan Pringgo dari sekejap lamunannya. Sesi tanya-jawab sudah berakhir, dan Rika sudah melangkah kembali ke tempat duduknya di sebelah Pringgo.

“Anak muda jaman now memang hebat-hebat,” pujinya. “Dunia cepat sekali berputar.”

“Ah, sebetulnya yang lebih tepat untuk bicara di depan tadi adalah Bimbim, Om,” ujar Rika. “Dia sukses mengembangkan bisnis rintisan sendiri, bukan warisan macam saya.”

“Eh, jangan salah,” sergah Pringgo halus. “Justru mempertahankan itu jauh lebih sulit daripada merintis. Apalagi kemudian berhasil mengembangkannya. Ah, pokoknya hebat!”

“Om bisa saja.” Rika tersenyum. Sedikit tersipu.

Acara hari ketiga itu pun selesai dengan berakhirnya sesi yang diisi Rika. Masih ada satu hari lagi yang tersisa, sebelum esok menjelang sore semua peserta kembali ke tempat asal masing-masing. Rika dan Pringgo pun kembali ke kamar masing-masing setelah berjanji akan menikmati makan malam bersama nanti.

* * *

“Kadang-kadang aku mengkhawatirkan Bimbim,” celetuk Pringgo, sambil makan di depot gudeg lezat yang kemarin dikunjungi Rika. Gadis itu yang mengajaknya. “Dia terlalu sibuk melepaskan diri dari zona nyaman, sampai nyaris mengabaikan kehidupan pribadinya.”

“Setidaknya Bimbim berani speak up.” Rika menanggapi. Setengah menggumam.

“Maksudmu?” Seketika Pringgo menunda sejenak gerakan tangannya menyuapkan sesendok makanan ke dalam mulut.

Rika tersenyum tipis. Menggeleng samar. Ditatapnya Pringgo.

“Bimbim berani menyatakan keinginannya pada Om dan Tante,” ujarnya kemudian. “Om dan Tante juga nggak pernah melarang. Justru mendukung sepenuhnya. Bimbim pernah cerita soal itu sama saya. Karenanya dia juga bekerja keras untuk membuktikan bahwa dia bisa. Bahwa dia konsekuen dengan pilihannya itu.”

Pringgo manggut-manggut. Kembali ditatapnya Rika.

“Kamu suka di bisnis ini? Bisnis kuliner?” tanyanya.

“Suka, Om.” Rika mengangguk mantap. “Apa pun akan saya lakukan untuk mempertahankan bisnis ini. Bagaimanapun, bisnis food truck ini adalah peninggalan almarhum papa saya. Dibangun Papa dengan segenap hati dan tenaga. Saya masih terlalu muda waktu Papa meninggal. Tapi dari cerita-cerita Mama, saya tahu di mana hati Papa berada. Karenanya, Mama lebih banyak mengurus perusahaan kosmetik milik Opa, sementara Papa konsentrasi ke bisnis ini. Ketika Papa meninggal, Mama tinggal meneruskan saja karena bisnis ini sudah cukup mantap waktu itu. Tugas saya sekarang adalah mempertahankan dan mengembangkannya.”

Selintas pikiran menyelinap masuk ke benak Pringgo. Kelak bila ia sudah tidak ada, maka satu-satunya pemilik Erbim Jaya adalah Bimbim. Begitu pula dengan bisnis Tetty. Ahli warisnya adalah Bimbim seorang. Seandainya.... Ia mengerjapkan mata.

“Kamu punya saudara?” tanyanya. Terkesan sambil lalu.

“Ada, Om. Saudara kembar, laki-laki. Sama adik, perempuan. Tapi saudara kembar saya lebih memilih masuk seminari. Ingin jadi pastor. Sedangkan adik saya masih SMA.” Rika meringis sekilas. “Makanya, sementara ini saya single fighter bantuin Mama.”

“Sebentar....” Pringgo mengerutkan kening. “Kamu bilang papamu sudah meninggal. Tempo hari kamu sekeluarga makan di tempat kita mangkal, ada papamu, kan?”

“Oh....” Seketika senyum Rika merekah. “Itu papa saya juga. Papa Owen jadi papa saya waktu saya umur sepuluh tahun. Tapi Papa Owen punya karier sendiri. Nggak pernah mau otak-atik perusahaan dan bisnis mendiang Papa.”

“Oh....” Pringgo manggut-manggut. “Baik orangnya, papa barumu ini?”

“Banget!” Senyum Rika merekah lagi.

Pringgo pun turut tersenyum karenanya. Entah kenapa, lega sekali rasanya ketika tahu bahwa gadis cantik di hadapannya itu dijaga dan dibesarkan oleh orang-orang yang baik.

* * *

Keluar dari pintu kedatangan bandara menjelang malam itu, Rika disambut oleh senyum kedua orang tua dan adiknya. Mia memeluk Rika erat. Padahal cuma sekitar empat-lima hari saja mereka tidak bertemu. Pun Kencana dan Owen. Kehangatan sambutan keluarga itu sempat membuatnya lupa bahwa ia tadi keluar bersama Pringgo.

Saat Owen sudah memasukkan koper dan semua barang bawaan sang putri ke bagasi mobil, barulah Rika ingat kawan seacaranya itu. Kepalanya memutar, mencari, dan ia menemukan sesuatu. Bukan Pringgo.

Senyum Bismaka tersimpul ketika tatapan mereka bertemu. Di tengah kesibukannya memasukkan barang bawaan sang ayah ke bagasi mobil, pemuda itu sempat menoleh. Mendapati Rika tengah menatap ke arahnya.

“Halo!” sapa Bismaka, setengah berseru. Jaraknya tiga mobil dari tempat Rika berdiri.

“Hai!” Rika menyambut sapaan itu dengan gembira. “Masih hidupkah?”

Tawa Bismaka pecah karenanya. Setelah menutup pintu belakang mobil, pemuda itu menyempatkan diri untuk menghampiri Rika. Setelah sejenak menyapa keluarga Rika, ia pun mendekati gadis itu.

“Gimana kopdarnasnya? Asyik nggak?” tanyanya.

Rika menggeleng dengan raut muka disetel sedih. “Kurang asyik. Nggak ada kamu, jadi nggak punya partner in crime.”

Bismaka tergelak lagi. Tapi ia segera menyadari bahwa mereka sudah ditunggu keluarga masing-masing.

“Nanti, deh, aku WA, ya?” ujar Bismaka sebelum mereka berpisah.

Rika mengacungkan jempolnya sebelum berbalik.

* * *

‘Papaku nggak nakal selama di Jogja, kan? ðŸĪ­ðŸĪŠ’

Pesan dan emoji itu seketika membuat Rika terkikik geli.

‘Sudah kusuruh belajar baik-baik, awas aja kalau sampai meleset.' Lanjut Bismaka.

Sambil masih menyunggingkan senyum lebar, Rika membalas pesan itu. ‘Papamu nggak pernah mau jauh-jauh dari aku. 😆 Kocak papamu itu. Mantan bankir hebat, kok, minder amat.’

‘Halah, eksyennya si Papa. 🙄'

Rika terkikik lagi. Kemudian balasnya, ‘Btw, enak nggak joinan sama papa sendiri?’

‘Kadang-kadang rikuh.  😅 Mau nyuruh ini-itu, inget kalau itu papaku. Takut durhaka. Nggak disuruh, aku nggak bisa ngerjain sendiri karena sibuk sama urusan kantor. Gitu, deh. Kadang-kadang serba salah.’

‘Setidaknya kamu ada yang bantuin.’

‘Kalah jauuuh kalau sama kamu, Rik. Kamu apa-apa sendiri.’

‘Jelas bedalah! Aku, kan, kerja nggak ikut orang.’

‘Aku aja yang cari penyakit, ya? Dah enak-enak jadi bos, malah nambah kerjaan. Kerja ikut orang. ðŸĪĶðŸŧ‍♀️‘

Rika terkikik lagi.

‘Eh, besok kamu ada acara, nggak, Rik?’

Rika tercenung sejenak. Sepanjang acaranya di Jogja, emailnya tetap aktif. Ada belasan salinan dokumen baru yang harus ia pelajari. Sekilas ia sudah membaca. Rencananya, besok sepulang dari makam Andries, ia akan mempelajari semua dokumen itu, baik laporan yang masuk dari Han’s Food, maupun dari perusahaan kosmetik milik mereka.

‘Aku ada kerjaan, sih, Bim.’ Begitu balasnya. ‘Tapi nggak harus ke kantor. Lagian besok Sabtu ini. Kenapa memangnya?’

‘Yah, baru mau kuajak nongkrongin food truck kita di Cikarang.’

‘Lho, gpp.’ Seketika Rika memutuskan. ‘Tapi rada siang, ya. Aku mau ke San Diego Hills dulu.’

‘Oh, mau ke makam Mas Andries? Gpp sekalian aja aku jemput kamu pagi-pagi.’

‘Ah, ngerepotin nanti.’

‘Enggak. Beneran gpp. Mau berangkat jam berapa?’

Rika berpikir sejenak sebelum membalas. ‘Jam 7? Kepagian, nggak?’

‘Siap! Share lokasi rumahmu ya.’

Mereka kemudian segera mengakhiri pembicaraan itu karena malam kian larut. Setelah meletakkan ponselnya di atas nakas, Rika terhenyak.

Astaga.... Apa yang baru saja kulakukan?

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar