* * *
Tujuh
Lewat beberapa menit dari pukul enam pagi,
Rika keluar dari kamarnya. Nyaris bersamaan dengan ayahnya yang keluar dari
kamar sebelah.
“Pagi, Pa,” sapanya manis.
Owen menjawab sapaan itu. Ia juga langsung
meraih bahu Rika dan memberikan kecupan ringan di puncak kepala. Berbarengan
mereka melangkah ke dapur. Di ruangan yang cukup luas itu, Mia sudah hadir.
Sibuk menuangkan air minum ke dalam empat buah gelas. Penampilannya terlihat
segar, mengenakan seragam tim sofbol sekolahnya, dengan rambut diikat tinggi nyaris di puncak kepala. Sementara itu,
Kencana menuangkan semur telur dan tahu yang baru saja dimasaknya ke dalam
sebuah mangkuk besar.
Sama seperti terhadap Rika, Owen juga mengecup
ringan puncak kepala Mia, kemudian duduk di sebelah gadis bungsunya itu di
depan island, tempat favorit mereka
untuk menikmati sarapan pada akhir pekan. Setelah membantu ibunya menghidangkan
semur dan tumis buncis, Rika duduk di seberang Mia. Kencana mengambil tempat di
sebelah Rika. Berempat mereka kemudian bergandengan tangan, mengucap syukur
kepada Tuhan atas makanan yang hendak mereka santap. Setelah itu, acara sarapan
pun dimulai, diselingi dengan obrolan ringan.
“Kamu jadi ke Karawang?” Kencana menatap
Rika.
“Iya, Ma.” Rika mengangguk. “Setelah itu aku stay sebentar di Cikarang. Sekalian aku
mau pelajari laporan dan dokumen yang masuk.”
“Aku nebeng
sampai sekolah, ya, Kak?” celetuk Mia. Hari Sabtu begini, hanya ada
kegiatan ekstra kurikuler di sekolah Mia. Dimulai pada pukul delapan pagi.
“Boleh...,” jawab Rika cepat. Tapi ia segera
teringat sesuatu. “Eh, tapi aku nggak bawa mobil sendiri.” Ia meringis sekilas.
“Aku dijemput teman.”
Semua mata kini terarah padanya. Rika
menyadari hal itu, tapi berusaha untuk bersikap wajar. Berlagak acuh tak acuh,
ia memindahkan sebutir semur telur dan dua potong tahu dari mangkuk besar ke
piringnya. Setelah itu, ia menyendok juga tumis buncis dari piring saji.
“Tumben...,” gumam Kencana.
“Bimbim, Ma.” Akhirnya Rika menanggapi. “Yang
punya food truck iga bakar penyet itu,
lho. Kan, truknya ada juga yang ngetem di
Cikarang. Makanya mau barengan ke sana.”
“Bukannya kamu mau ke San Diego Hills?” Owen
mengerutkan kening.
“Iya,” angguk Rika. “Aku sudah bilang kalau
mau ke sana dulu. Tapi dia ngeyel mau
jemput. Mau bareng. Ya, sudah, sih.” Rika kemudian menatap Mia. “Nggak
apa-apalah kamu nebeng. Kan, jalurnya
lewat depan sekolahmu juga.”
“Enggak, ah.” Mia nyengir. “Nanti aku ganggu.”
“Et dah!” Rika memprotes seketika.
Mia tertawa.
“Sudah, nanti Papa saja yang antar Mia.
Sekalian mau isi bensin.” Owen menengahi.
“Sekalian saja anterin Mama belanja, Pa.”
Kencana menggerakkan kedua alisnya naik-turun dengan gaya kocak.
“Telat aku nanti, Ma,” protes Mia. “Sudah jam
berapa ini? Belum lagi dandannya.”
“Halah, cuma ke pasar ini, dasteran gini juga
oke,” tukas Kencana.
Mereka tertawa mendengar ucapan Kencana.
Acara sarapan bersama itu berlangsung cukup
menyenangkan. Sayangnya, sempat diganggu bunyi bel pagar depan. Sebelum Kencana
berseru meminta salah seorang ART-nya untuk melihat siapa yang bertamu, seorang
perempuan berusia pertengahan tiga puluhan sudah dengan gesit berlari ke arah
depan melalui garasi. Beberapa menit kemudian, ART bernama Tarsi itu masuk ke
dapur.
“Permisi.... Mbak Rika, dicari temennya, tuh,”
ujar Tarsi. “Mas-mas, tinggi gede.”
Rika segera paham. Tapi ia sempat mengerutkan
kening. Sekilas ditengoknya jam dinding. Masih belum genap pukul setengah tujuh.
Pagi amat?
“Suruh langsung masuk ke sini saja, Tar,” kata
Kencana.
“Baik, Bu.” Tarsi segera menghilang dari
pandangan.
Sejenak kemudian ia sudah kembali lagi,
dengan diikuti oleh Bismaka. Pemuda itu disambut dengan hangat. Langsung
disuruh duduk di ujung island dekat
Rika dan Mia, dan segera disodori piring.
“Sekalian, ayo, sarapan dulu,” celetuk Owen.
“Wah, makasih, Om. Sebenarnya saya sudah
sarapan tadi.” Bismaka meringis, berusaha mengelak.
“Kamu dari rumah apa apartemen?” tanya Rika,
sambil menyodorkan mangkuk berisi nasi hangat.
“Apartemenlah,” jawab Bismaka, setengah
menggumam.
“Palingan sarapanmu cuma roti,” ledek Rika. “Ayo,
ambil, makan. Pakai malu-malu segala.”
Bismaka tergelak. Kena batunya. Dengan
sedikit malu-malu ia kemudian mengambil nasi, sayur, dan lauk. Tak lupa
mengambil sebuah kerupuk udang dari dalam stoples yang disodorkan Mia.
Suasana di sekitar island itu jadi lebih meriah dengan kehadiran Bismaka. Mereka sudah
saling mengenal, tapi belum pernah seakrab ini. Pada satu detik Rika sempat
tercenung.
Dulu, satu tahun lebih ia berpacaran dengan Andries,
ia belum pernah mengalami suasana seperti ini. Tentu saja Andries pernah muncul
di rumahnya, sempat juga menikmati makan malam bersama, tapi suasananya lain.
Andries yang pendiam, kalem, dan tenang membuat suasana di sekitar meja makan
mereka jadi teduh, tidak semeriah ini.
Dan, gelak tawa yang pecah di sekeliling island itu menarik Rika kembali pada
alam nyata. Entah apa yang sedang diperbincangkan, ia tidak paham. Tapi demi
melihat suasana riang yang tercipta tepat di depan hidungnya, Rika memutuskan
untuk melarutkan diri di dalamnya.
* * *
Dengan hati-hati, Rika menggendong rangkaian
bunga segar yang baru saja dibelinya kembali ke mobil Bismaka. Gerakan Bismaka
sangat cekatan ketika membukakan pintu mobil untuk Rika. Gadis itu pun
menggumamkan terima kasih dengan sangat manis. Beberapa belas detik kemudian, Bismaka
sudah meluncurkan kembali mobilnya.
“Tiap akhir minggu kamu ke Karawang?” tanya
Bismaka sambil menyetir.
“Awal-awal dulu iya,” jawab Rika, lirih. “Dua-tiga
hari sekali malahan. Apalagi aku dikasih cuti panjang sama Mama. Tapi setelah
aku sibuk lagi, cuma akhir minggu saja kesempatanku ke sana.”
“Kamu kehilangan dia banget, ya?” Bismaka
menoleh sekilas. Ada nada simpati yang tulus menggema dalam kabin mobil itu.
“Begitulah,” angguk Rika. “Tapi biarpun sedih,
aku sudah ikhlas, kok. Lagipula, dari awal memang dia sudah cair banget bicara
soal kematian. Dia sudah capek. Tugasnya sudah selesai. Dia mengakhirinya
dengan sangat baik. Dan, aku bersyukur ada di sampingnya ketika dia pergi.”
Bismaka manggut-manggut. Tak tahu harus
menanggapinya bagaimana. Tapi, ia bisa merasakan kesedihan dan kehilangan yang
dialami Rika.
Setelah melalui beberapa kemacetan, sampailah
keduanya di tempat tujuan. Rika terlihat sedikit terhenyak ketika Bismaka
memarkir mobilnya di sebelah sebuah mobil lain. Mobil yang dikenalnya betul.
Milik ayah Andries.
Saat mengunjungi makan Andries, Rika memang
cukup sering bertemu dengan keluarga Andries di sana. Entah itu ayah dan ibu
Andries, ataukah keluarga abangnya, ataukah adiknya. Bahkan pernah juga satu
keluarga besar secara utuh.
Dihelanya napas panjang sebelum keluar dari
mobil. Entah kenapa, ia merasa bahwa mengunjungi makam Andries dengan mengajak
Bismaka kali ini adalah sebuah kesalahan besar.
“Ini mobil keluarga Andries,” tunjuknya,
setengah menggumam.
Bismaka menoleh ke arah sebuah SUV keluaran
tiga tahun lalu itu. Sekilas pikiran menyelinap masuk ke dalam benaknya.
“Kalau kamu mau ke makam sendirian, nggak
apa-apa,” ujarnya kemudian. “Aku tunggu di sini.”
Rika terdiam sejenak. Tampaknya, solusi yang
disodorkan Bismaka adalah hal yang terbaik. Ia kemudian mengangguk.
* * *
Ternyata bukan hanya ayah dan ibu Andries
saja yang tengah berziarah, tapi seluruh keluarga besar. Dengan sabar, Rika
menunggu sampai keluarga itu selesai berdoa dan meletakkan sebuah buket bunga
segar. Rika berdiri diam-diam sambil menggendong rangkaian bunya yang dibawanya.
Akhirnya, kehadirannya diketahui juga oleh
ibu Andries. Perempuan itu segera menghampirinya, dan memberikan pelukannya
yang terasa begitu hangat.
“Kenapa nggak bareng saja kita tadi?” ucap
ibu Andries.
“Setelah ini saya mau ke Cikarang, Ma,”
ujarnya halus. “Mau nengok truk.”
Setelah itu satu demi satu sapaan hangat
menyambutnya. Mereka sempat berbincang sejenak sebelum Rika mengambil
kesempatan menziarahi makam Andries. Sengaja ia berdoa berlama-lama. Mencoba
juga untuk ‘berbincang’ dengan Andries. Berharap ketika ia selesai, keluarga
Andries sudah berlalu.
Namun, harapannya tinggal jadi harapan
kosong. Keluarga itu masih ada di belakangnya. Menungguinya dengan sabar hingga
ia berdiri dan berbalik.
Astaga....
Seketika ia mengucap dengan sedikit terguncang. Ia ingat, ada seseorang yang
masih menunggunya di dalam mobil.
“Kamu sudah mulai aktif bekerja lagi?” tanya
Sonia, ibu Andries, penuh perhatian.
“Iya, Ma,” angguk Rika. “Kasihan Mama kalau
saya libur lama-lama.”
“Memang seharusnya seperti itu,” ujar Harvey,
ayah Andries. “Karena kehidupanmu tetap harus terus berjalan.”
“Jangan lupa menyisihkan waktu untuk
kehidupanmu sendiri,” timpal Sonia. “Bagaimanapun, kamu berhak untuk tetap
menikmati hidupmu.”
Rika mendegut ludah. Ucapan Sonia entah
kenapa terasa menohok sekali ulu hatinya.
Padahal
Bimbim dan aku baru juga sekadar teman. Rika meringis dalam hati. Dan memang teman!
Mereka masih berbincang selama beberapa saat
sebelum saling mengucapkan selamat tinggal. Rika menunggu hingga keluarga Undap
berlalu sebelum menghampiri mobil Bismaka. Entah kebetulan atau tidak, mobil
Bismaka sama persis dengan mobil Owen, yang pernah beberapa kali dipinjamnya.
Jadi, keberadaannya tepat di sebelah mobil keluarga Undap tidaklah menyolok
mata.
Dengan menghela napas lega, Rika membuka
pintu kiri depan mobil Bismaka. Pemuda itu buru-buru menyimpan kembali gawainya
di saku kaus polonya begitu Rika masuk.
“Sorry,
lama,” ucap Rika, sembari mengancingkan sabuk pengaman.
“Nyantai aja, sih, Rik.” Bismaka tersenyum
sambil menyalakan mesin mobilnya. “Gimana tadi ketemuan sama keluarga mantan
camer?”
Mau tak mau, Rika tersenyum mendengar ada
nada canda dalam suara Bismaka. Dikedikkannya bahu.
“Aku pikir mereka langsung pergi.” Rika
meringis, “Nggak tahunya nunggu aku selesai.”
“Tercyduk
jadinya, ya?” Bismaka terkekeh ringan.
Rika tertawa karenanya. Memang seperti itulah
yang sebetulnya ia rasakan. Padahal, apa salahnya mengunjungi makam Andries
ditemani Bismaka? Bukankah sama derajatnya seperti ketika ia mengajak Mia, atau
ditemani ayah-ibunya?
Entahlah....
Rika
menggeleng samar.
Tapi, ternyata ke-tercyduk-annya masih berlanjut. Ia memang tak sempat melihat mobil
keluarga Undap di tempat parkir area pusat jajan. Namun, senyum keluarga Undap kembali
menyambutnya begitu ia mendekat ke truk bersama Bimbim.
“Tahu-tahu, ingin saja makan cwimiemu, Rik!”
seru Sonia dengan nada riang.
Rika pun mendekat, memasang wajah segembira
mungkin.
“Kami kira kamu tadi sendirian,” timpal
Nicholas, abang Andries, dengan senyumnya. “Nggak tahunya sama teman, ya?”
Tenggorokan seketika Rika serasa tercekat.
Tentu saja, dari posisi keluarga Undap duduk
menunggu makanan siap disajikan, terlihat jelas posisi mobil Bismaka. Itu
artinya....
Ingin rasanya Rika menghilang seketika itu
juga dari muka bumi.
* * *
Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan
modifikasi
dak sabar nunggu lanjtannya
BalasHapus