Sabtu, 04 April 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #7











* * *


Tujuh


Lewat beberapa menit dari pukul enam pagi, Rika keluar dari kamarnya. Nyaris bersamaan dengan ayahnya yang keluar dari kamar sebelah.

“Pagi, Pa,” sapanya manis.

Owen menjawab sapaan itu. Ia juga langsung meraih bahu Rika dan memberikan kecupan ringan di puncak kepala. Berbarengan mereka melangkah ke dapur. Di ruangan yang cukup luas itu, Mia sudah hadir. Sibuk menuangkan air minum ke dalam empat buah gelas. Penampilannya terlihat segar, mengenakan seragam tim sofbol sekolahnya, dengan rambut diikat tinggi nyaris di puncak kepala. Sementara itu, Kencana menuangkan semur telur dan tahu yang baru saja dimasaknya ke dalam sebuah mangkuk besar.

Sama seperti terhadap Rika, Owen juga mengecup ringan puncak kepala Mia, kemudian duduk di sebelah gadis bungsunya itu di depan island, tempat favorit mereka untuk menikmati sarapan pada akhir pekan. Setelah membantu ibunya menghidangkan semur dan tumis buncis, Rika duduk di seberang Mia. Kencana mengambil tempat di sebelah Rika. Berempat mereka kemudian bergandengan tangan, mengucap syukur kepada Tuhan atas makanan yang hendak mereka santap. Setelah itu, acara sarapan pun dimulai, diselingi dengan obrolan ringan.

“Kamu jadi ke Karawang?” Kencana menatap Rika.

“Iya, Ma.” Rika mengangguk. “Setelah itu aku stay sebentar di Cikarang. Sekalian aku mau pelajari laporan dan dokumen yang masuk.”

“Aku nebeng sampai sekolah, ya, Kak?” celetuk Mia. Hari Sabtu begini, hanya ada kegiatan ekstra kurikuler di sekolah Mia. Dimulai pada pukul delapan pagi.

“Boleh...,” jawab Rika cepat. Tapi ia segera teringat sesuatu. “Eh, tapi aku nggak bawa mobil sendiri.” Ia meringis sekilas. “Aku dijemput teman.”

Semua mata kini terarah padanya. Rika menyadari hal itu, tapi berusaha untuk bersikap wajar. Berlagak acuh tak acuh, ia memindahkan sebutir semur telur dan dua potong tahu dari mangkuk besar ke piringnya. Setelah itu, ia menyendok juga tumis buncis dari piring saji.

“Tumben...,” gumam Kencana.

“Bimbim, Ma.” Akhirnya Rika menanggapi. “Yang punya food truck iga bakar penyet itu, lho. Kan, truknya ada juga yang ngetem di Cikarang. Makanya mau barengan ke sana.”

“Bukannya kamu mau ke San Diego Hills?” Owen mengerutkan kening.

“Iya,” angguk Rika. “Aku sudah bilang kalau mau ke sana dulu. Tapi dia ngeyel mau jemput. Mau bareng. Ya, sudah, sih.” Rika kemudian menatap Mia. “Nggak apa-apalah kamu nebeng. Kan, jalurnya lewat depan sekolahmu juga.”

“Enggak, ah.” Mia nyengir. “Nanti aku ganggu.”

“Et dah!” Rika memprotes seketika.

Mia tertawa.

“Sudah, nanti Papa saja yang antar Mia. Sekalian mau isi bensin.” Owen menengahi.

“Sekalian saja anterin Mama belanja, Pa.” Kencana menggerakkan kedua alisnya naik-turun dengan gaya kocak.

“Telat aku nanti, Ma,” protes Mia. “Sudah jam berapa ini? Belum lagi dandannya.”

“Halah, cuma ke pasar ini, dasteran gini juga oke,” tukas Kencana.

Mereka tertawa mendengar ucapan Kencana.

Acara sarapan bersama itu berlangsung cukup menyenangkan. Sayangnya, sempat diganggu bunyi bel pagar depan. Sebelum Kencana berseru meminta salah seorang ART-nya untuk melihat siapa yang bertamu, seorang perempuan berusia pertengahan tiga puluhan sudah dengan gesit berlari ke arah depan melalui garasi. Beberapa menit kemudian, ART bernama Tarsi itu masuk ke dapur.

“Permisi.... Mbak Rika, dicari temennya, tuh,” ujar Tarsi. “Mas-mas, tinggi gede.”

Rika segera paham. Tapi ia sempat mengerutkan kening. Sekilas ditengoknya jam dinding. Masih belum genap pukul setengah tujuh. Pagi amat?

“Suruh langsung masuk ke sini saja, Tar,” kata Kencana.

“Baik, Bu.” Tarsi segera menghilang dari pandangan.

Sejenak kemudian ia sudah kembali lagi, dengan diikuti oleh Bismaka. Pemuda itu disambut dengan hangat. Langsung disuruh duduk di ujung island dekat Rika dan Mia, dan segera disodori piring.

“Sekalian, ayo, sarapan dulu,” celetuk Owen.

“Wah, makasih, Om. Sebenarnya saya sudah sarapan tadi.” Bismaka meringis, berusaha mengelak.

“Kamu dari rumah apa apartemen?” tanya Rika, sambil menyodorkan mangkuk berisi nasi hangat.

“Apartemenlah,” jawab Bismaka, setengah menggumam.

“Palingan sarapanmu cuma roti,” ledek Rika. “Ayo, ambil, makan. Pakai malu-malu segala.”

Bismaka tergelak. Kena batunya. Dengan sedikit malu-malu ia kemudian mengambil nasi, sayur, dan lauk. Tak lupa mengambil sebuah kerupuk udang dari dalam stoples yang disodorkan Mia.

Suasana di sekitar island itu jadi lebih meriah dengan kehadiran Bismaka. Mereka sudah saling mengenal, tapi belum pernah seakrab ini. Pada satu detik Rika sempat tercenung.

Dulu, satu tahun lebih ia berpacaran dengan Andries, ia belum pernah mengalami suasana seperti ini. Tentu saja Andries pernah muncul di rumahnya, sempat juga menikmati makan malam bersama, tapi suasananya lain. Andries yang pendiam, kalem, dan tenang membuat suasana di sekitar meja makan mereka jadi teduh, tidak semeriah ini.

Dan, gelak tawa yang pecah di sekeliling island itu menarik Rika kembali pada alam nyata. Entah apa yang sedang diperbincangkan, ia tidak paham. Tapi demi melihat suasana riang yang tercipta tepat di depan hidungnya, Rika memutuskan untuk melarutkan diri di dalamnya.

* * *

Dengan hati-hati, Rika menggendong rangkaian bunga segar yang baru saja dibelinya kembali ke mobil Bismaka. Gerakan Bismaka sangat cekatan ketika membukakan pintu mobil untuk Rika. Gadis itu pun menggumamkan terima kasih dengan sangat manis. Beberapa belas detik kemudian, Bismaka sudah meluncurkan kembali mobilnya.

“Tiap akhir minggu kamu ke Karawang?” tanya Bismaka sambil menyetir.

“Awal-awal dulu iya,” jawab Rika, lirih. “Dua-tiga hari sekali malahan. Apalagi aku dikasih cuti panjang sama Mama. Tapi setelah aku sibuk lagi, cuma akhir minggu saja kesempatanku ke sana.”

“Kamu kehilangan dia banget, ya?” Bismaka menoleh sekilas. Ada nada simpati yang tulus menggema dalam kabin mobil itu.

“Begitulah,” angguk Rika. “Tapi biarpun sedih, aku sudah ikhlas, kok. Lagipula, dari awal memang dia sudah cair banget bicara soal kematian. Dia sudah capek. Tugasnya sudah selesai. Dia mengakhirinya dengan sangat baik. Dan, aku bersyukur ada di sampingnya ketika dia pergi.”

Bismaka manggut-manggut. Tak tahu harus menanggapinya bagaimana. Tapi, ia bisa merasakan kesedihan dan kehilangan yang dialami Rika.

Setelah melalui beberapa kemacetan, sampailah keduanya di tempat tujuan. Rika terlihat sedikit terhenyak ketika Bismaka memarkir mobilnya di sebelah sebuah mobil lain. Mobil yang dikenalnya betul. Milik ayah Andries.

Saat mengunjungi makan Andries, Rika memang cukup sering bertemu dengan keluarga Andries di sana. Entah itu ayah dan ibu Andries, ataukah keluarga abangnya, ataukah adiknya. Bahkan pernah juga satu keluarga besar secara utuh.

Dihelanya napas panjang sebelum keluar dari mobil. Entah kenapa, ia merasa bahwa mengunjungi makam Andries dengan mengajak Bismaka kali ini adalah sebuah kesalahan besar.

“Ini mobil keluarga Andries,” tunjuknya, setengah menggumam.

Bismaka menoleh ke arah sebuah SUV keluaran tiga tahun lalu itu. Sekilas pikiran menyelinap masuk ke dalam benaknya.

“Kalau kamu mau ke makam sendirian, nggak apa-apa,” ujarnya kemudian. “Aku tunggu di sini.”

Rika terdiam sejenak. Tampaknya, solusi yang disodorkan Bismaka adalah hal yang terbaik. Ia kemudian mengangguk.

* * *

Ternyata bukan hanya ayah dan ibu Andries saja yang tengah berziarah, tapi seluruh keluarga besar. Dengan sabar, Rika menunggu sampai keluarga itu selesai berdoa dan meletakkan sebuah buket bunga segar. Rika berdiri diam-diam sambil menggendong rangkaian bunya yang dibawanya.

Akhirnya, kehadirannya diketahui juga oleh ibu Andries. Perempuan itu segera menghampirinya, dan memberikan pelukannya yang terasa begitu hangat.

“Kenapa nggak bareng saja kita tadi?” ucap ibu Andries.

“Setelah ini saya mau ke Cikarang, Ma,” ujarnya halus. “Mau nengok truk.”

Setelah itu satu demi satu sapaan hangat menyambutnya. Mereka sempat berbincang sejenak sebelum Rika mengambil kesempatan menziarahi makam Andries. Sengaja ia berdoa berlama-lama. Mencoba juga untuk ‘berbincang’ dengan Andries. Berharap ketika ia selesai, keluarga Andries sudah berlalu.

Namun, harapannya tinggal jadi harapan kosong. Keluarga itu masih ada di belakangnya. Menungguinya dengan sabar hingga ia berdiri dan berbalik.

Astaga.... Seketika ia mengucap dengan sedikit terguncang. Ia ingat, ada seseorang yang masih menunggunya di dalam mobil.

“Kamu sudah mulai aktif bekerja lagi?” tanya Sonia, ibu Andries, penuh perhatian.

“Iya, Ma,” angguk Rika. “Kasihan Mama kalau saya libur lama-lama.”

“Memang seharusnya seperti itu,” ujar Harvey, ayah Andries. “Karena kehidupanmu tetap harus terus berjalan.”

“Jangan lupa menyisihkan waktu untuk kehidupanmu sendiri,” timpal Sonia. “Bagaimanapun, kamu berhak untuk tetap menikmati hidupmu.”

Rika mendegut ludah. Ucapan Sonia entah kenapa terasa menohok sekali ulu hatinya.

Padahal Bimbim dan aku baru juga sekadar teman. Rika meringis dalam hati. Dan memang teman!

Mereka masih berbincang selama beberapa saat sebelum saling mengucapkan selamat tinggal. Rika menunggu hingga keluarga Undap berlalu sebelum menghampiri mobil Bismaka. Entah kebetulan atau tidak, mobil Bismaka sama persis dengan mobil Owen, yang pernah beberapa kali dipinjamnya. Jadi, keberadaannya tepat di sebelah mobil keluarga Undap tidaklah menyolok mata.

Dengan menghela napas lega, Rika membuka pintu kiri depan mobil Bismaka. Pemuda itu buru-buru menyimpan kembali gawainya di saku kaus polonya begitu Rika masuk.

Sorry, lama,” ucap Rika, sembari mengancingkan sabuk pengaman.

“Nyantai aja, sih, Rik.” Bismaka tersenyum sambil menyalakan mesin mobilnya. “Gimana tadi ketemuan sama keluarga mantan camer?”

Mau tak mau, Rika tersenyum mendengar ada nada canda dalam suara Bismaka. Dikedikkannya bahu.

“Aku pikir mereka langsung pergi.” Rika meringis, “Nggak tahunya nunggu aku selesai.”

Tercyduk jadinya, ya?” Bismaka terkekeh ringan.

Rika tertawa karenanya. Memang seperti itulah yang sebetulnya ia rasakan. Padahal, apa salahnya mengunjungi makam Andries ditemani Bismaka? Bukankah sama derajatnya seperti ketika ia mengajak Mia, atau ditemani ayah-ibunya?

Entahlah.... Rika menggeleng samar.

Tapi, ternyata ke-tercyduk-annya masih berlanjut. Ia memang tak sempat melihat mobil keluarga Undap di tempat parkir area pusat jajan. Namun, senyum keluarga Undap kembali menyambutnya begitu ia mendekat ke truk bersama Bimbim.

“Tahu-tahu, ingin saja makan cwimiemu, Rik!” seru Sonia dengan nada riang.

Rika pun mendekat, memasang wajah segembira mungkin.

“Kami kira kamu tadi sendirian,” timpal Nicholas, abang Andries, dengan senyumnya. “Nggak tahunya sama teman, ya?”

Tenggorokan seketika Rika serasa tercekat.

Tentu saja, dari posisi keluarga Undap duduk menunggu makanan siap disajikan, terlihat jelas posisi mobil Bismaka. Itu artinya....

Ingin rasanya Rika menghilang seketika itu juga dari muka bumi.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi

1 komentar: