Rabu, 08 April 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #9-1











* * *


Sembilan


Hari Kamis siang, saat ia menikmati makan siang bersama Rika di Cijantung, saat itulah terakhir Bismaka bertemu gadis itu. Sudah berlalu sekitar satu bulan. Sepanjang waktu itu jugalah ia sama sekali tak menjumpai Rika. Gadis itu menghilang bak ditelan bumi. Tak pernah ditemuinya ada di food truck mana pun di area Jakarta. Bisa jadi mereka memang sedang berselisih lokasi.

‘Wah, aku lagi di Cikarang, Bim. Mau langsung pulang.’

Begitu jawaban Rika atas suatu pesan pendek yang pernah ia kirimkan. Atau....

‘Baru aja aku nyampe Surabaya.’

Pada kali lain....

‘Aku belum pulang, Bim. Sekalian mampir Semarang, nih.’

Dan, baru saja ia nekad menelepon gadis itu. Jawabannya....

“Nanti dulu, Bim. Aku masih di Serpong, lagi nyetir,” jawab Rika dari seberang sana.

Bismaka mengembuskan napas keras-keras begitu Rika mengakhiri pembicaraan melalui ponsel. Tiba-tiba saja ia teringat sesuatu. Besok hari Sabtu. Biasanya Rika mengunjungi makam Andries. Bismaka menyipitkan mata. Sebuah rencana segera saja tergambar dalam benaknya.

* * *

“Mbak, dicari temannya yang kapan hari itu ke sini, tuh.”

Rika menatap Tarsi begitu tumpukan piring kotor mendarat di tempat cuci piring. Ia mengerutkan kening. Siapa? Matanya menyiratkan tanya itu.

“Itu, lho, Mbak, mas-mas yang tinggi gede itu.” Tarsi memahami arti sorot mata Rika.

Astaga.... Seketika Rika menahan napas. Bimbim? Ngapain dia ke sini? Ia buru-buru mencuci tangan, mengeringkannya, kemudian melangkah ke ruang tamu. Kosong. Terdengar gelak tawa dari arah teras depan. Ia pun melanjutkan langkah ke sana.

Benar! Bimbim. Sedang mengobrol dengan ayahnya sambil duduk santai di kursi teras. Menyadari Rika sudah muncul dan berdiri di tengah pintu yang terbuka, Bismaka menoleh.

“Hai!” sapanya ringan. “Sorry, aku langsung ke sini, nggak pakai janjian dulu. Mau berangkat jam berapa?”

“Ke mana?” Rika mengerutkan kening.

“Ke San Diego Hills?” Bismaka mengangkat alisnya. “Biasanya akhir minggu gini kamu ke sana?”

Sejenak Rika terhenyak. Iya juga, sih....

“Bimbim diajak sarapan dululah, Rik,” celetuk Owen sambil berdiri, bermaksud meninggalkan dua muda-mudi itu.

“Eh, nggak usah, Om,” sahut Bismaka, cepat. “Tadi sudah sarapan, kok. Semalam saya pulang ke rumah, nggak ke apartemen.” Pemuda itu meringis lucu, membuat Owen tersenyum lebar sambil melangkah masuk ke dalam rumah.

Rika masih terdiam. Bismaka menatapnya.

“Rik, aku ada salah apa sama kamu?” gumamnya, membuat Rika tersentak.

“Ngomong apa, sih?” Rika mengibaskan tangan kanannya di depan wajah. Berusaha untuk tersenyum. “By the way, aku nggak ke makam Andries hari ini, tapi besok. Ini aku mau antar Mia ekskul, setelah itu aku mau ke rumah Eyang. Nanti sore ada pertemuan ibu-ibu gereja di rumah Eyang. Aku mau bantuin di sana. Mama nggak bisa. Ada meeting mendadak dengan staf.”

“Wah, aku juga bisa, lho, bantuin.” Bismaka begitu sigap menanggapi.

Rika menggaruk pelipisnya. Benar-benar tak tahu bagaimana cara melepaskan diri dari Bismaka. Tengah ia berpikir, Mia muncul dari dalam.

Sorry, nih, Kakak dan Mas,” sela Mia. “Nggak bermaksud ganggu. Tapi ini sudah jam tujuh lewat. Nasibku gimana, nih?”

Rika mengerjapkan mata. Sebetulnya ia sudah siap. Tinggal menyambar tas dan kunci mobil, kemudian berangkat. Tapi Bismaka?

“Ya, sudah, sana masuk mobil Mas, Mi,” sahut Bismaka, cepat. “Mas antar, sekalian Mas ikut kakakmu.”

Rika tak punya pilihan lain. Owen dan Kencana mengikutinya ke teras setelah ia berpamitan. Bismaka pun kemudian berpamitan dengan sangat sopan. Tak ada hitungan menit, mobil Bismaka sudah meluncur membelah jalan.

* * *

“Jadi, aku punya salah apa sama kamu?” ulang Bismaka, dengan nada halus, setelah menurunkan Mia di depan gerbang sekolahnya.

Mobil Bismaka sudah meluncur kembali, tapi Rika masih terdiam. Benar-benar tak mampu menjawab. Karena memang benar-benar Bismaka tak punya salah apa pun terhadapnya. Tapi ia paham seutuhnya arah pertanyaan Bismaka. Dihelanya napas panjang.

Sorry, Bim,” ucapnya lirih, akhirnya. “Aku sama sekali nggak ada maksud menghindari kamu. Cuma....” Rika tertunduk. “Ternyata aku masih butuh ruang buat diriku sendiri setelah Andries nggak ada.”

“Bukan karena bertemu keluarga Mas Andries saat kamu nggak sedang sendirian?” tanya Bismaka, sangat halus.

Rika serasa tertohok tepat di ulu hati. Didegutnya ludah.

“Rik, aku paham posisimu, seutuhnya,” lanjut Bismaka, masih dengan nada sangat halus. “Tapi kamu juga butuh tetap melangkah tegak ke depan. Bukan untuk melupakan bahwa kamu pernah punya lembaran kisah yang kamu tulis bersama Mas Andries. Hanya... melanjutkan hidupmu. Itu saja. Entah dengan berteman denganku, atau dengan orang-orang lain. Itu kehidupanmu.”

Rika mengerjapkan mata. Masih dengan heningnya.

“Aku nggak memaksamu untuk suka berteman denganku,” lanjut Bismaka lagi. “Tapi aku suka sekali berteman denganmu. Aku menikmati waktu yang pernah kita habiskan bersama. Kamu teman yang baik dan menyenangkan. Obrolan kita nyambung. Yah....” Bismaka mengedikkan bahu. Sebenarnya aku kehilangan kamu belakangan ini. Kehilangan banget. Tapi kalimat itu hanya menggantung saja di ujung lidah Bismaka.

Rika masih terdiam. Seutuhnya ia merasakan hal yang sama bersama Bismaka. Dan, betapa ia mulai merasa kehilangan pemuda itu saat ia mencoba untuk menghindar selama beberapa minggu terakhir ini. Dihelanya napas panjang.

“Jujur....” Akhirnya Rika pun berucap. “Kamu membantuku keluar dari kesedihanku karena kehilangan Andries. Kamu membuatku banyak tertawa, menghiburku. Tanpa pernah merasa itu terlalu cepat... sebelum bertemu dengan keluarga Andries... dengan posisi aku sedang bersamamu. Entahlah, Bim.” Rika menggeleng.

“Iya, aku ngerti, kok,” senyum Bismaka. “Oke, apa pun yang kamu mau, aku amini saja. Sekarang, kita harus ke mana ini?” Bismaka menunjuk perempatan sekitar lima puluh meter di depan mereka. “Lurus, kanan, atau kiri?”

Sesuai arahan Rika, Bismaka pun menyalakan lampu sein kanan. Jalan dua arah yang hanya cukup untuk tiga mobil berdampingan itu cukup lengang. Sesuai arahan Rika pula, Bismaka menepikan mobilnya di depan sebuah rumah bercat kuning gading dengan pagar besi tempa berwarna hitam. Rika turun dan membuka pintu pagar lebar-lebar. Memberi isyarat agar Bismaka memasukkan mobilnya ke carport.

Tepat ketika Bismaka mematikan mesin mobil, pintu rumah terbuka. Sepasang insan lanjut usia keluar dan menenggelamkan Rika dalam pelukan mereka. Rika kemudian menggapaikan tanggannya kepada Bismaka. Pemuda itu mendekat, menyalami kakek dan nenek Rika dengan sikap sangat sopan.

“Ini Bimbim, Yang. Temanku sesama pemilik food truck.” Rika menjelaskan. “Ada beberapa truk kami yang mangkal di area yang sama.”

“Ayo, masuk! Masuk!” Kakek Rika menggiring keduanya masuk.

“Nah, ini mau masak apa saja, Yang?” Rika menatap Ndari, neneknya. “Buat berapa orang?”

“Cuma lontong sayur-telur, opor ayam, sama sambel,” jawab Ndari. “Kerupuk udangnya sudah Yangti goreng kemarin. Lontongnya juga sudah Yangti  pesan. Kue-kuenya pesan matengan, sudah langsung per box. Nanti diantar jam duaan. Buat sekitar empat puluh orang. Eh, kalian sudah sarapan belum?”

“Sudah, Yang,” angguk Rika.

“Buat minum sendiri, ya?” ucap Ndari lagi.

Rika kembali mengangguk. Gadis itu kemudian menarik tangan Bismaka, mengajaknya ke dapur.

* * *

Pasangan sepuh Jati dan Ndari ternyata tidak memiliki ART. Hanya ada tukang cuci, seterika, dan bersih-bersih yang datang dua hari sekali. Jadi, tanpa bantuan dari Kencana ataupun Rika, tentu saja mereka sangat kerepotan. Bisa saja memesan makanan dari luar, tapi selama ini Ndari lebih suka memasak sendiri.

Sambil duduk mengelilingi sebuah meja besar yang ada di tengah dapur yang luas itu, mereka berempat bekerja sambil mengobrol. Kehadiran Bismaka yang cukup ‘ramai’ menyemarakkan suasana di ruangan itu. Jati mengupas labu siam, Ndari menyiangi cabai keriting dan rawit merah, Rika mengupas dan menyiangi aneka jenis bumbu, sedangkan Bismaka menyiangi sebaskom buncis. Di atas kompor menyala, sudah ada panci besar berisi air dan telur ayam.

Menjelang pukul sebelas siang, labu siam dan buncis sudah selesai diiris. Itu semua Bismaka yang melakukannya. Sekilas Rika melihat, Bismaka bekerja lumayan cepat dengan irisan cukup rapi. Saat ini, pemuda itu sudah bergabung dengan Jati untuk mengupas telur rebus. Sementara Ndari menggoreng setengah matang potongan-potongan ayam untuk opor sembari menghaluskan bumbu dengan bantuan blender. Rika menumis bahan sambal.

“Kamu harus jemput Mia, nggak?” celetuk Ndari, sekilas menatap Rika. “Ini sudah jam segini, lho.”

“Enggak, Yang. Papa nanti yang mau jemput. Katanya, sih, mau sekalian ke sini. Bantu menata kursi.”

“Eh, kalian mau makan apa? Yangti malah nggak sempat masak, nih. Pesan dari Greatfood saja, ya? Mau?”

“Aku minta tolong Papa saja suruh belikan, Yang. Sebentar, aku telepon Papa dulu,” ujar Rika sambil mematikan kompor.

“Merepotkan papamu nanti, Nduk,” gumam Ndari.

“Enggak.... Toh, nanti juga ke sini, butuh makan juga.”

Ndari tersenyum mendengar ucapan cucunya.

Hampir satu jam kemudian, Owen dan Mia muncul dengan menenteng satu kantong besar berisi beberapa bungkus gado-gado. Kesibukan mereka terjeda sejenak. Kini, kegiatan mereka terpusat di meja makan. Tapi, baru saja hendak mengucap doa, bel pintu berbunyi.  

“Biar aku buka dulu.” Owen segera beranjak.

Beberapa saat kemudian terdengar percakapan dalam suara-suara yang sudah tidak asing lagi. Jati dan Ndari bertatapan ketika suara percakapan itu terdengar makin dekat. Wajah keduanya jadi makin cerah ketika Owen muncul diikuti sesosok laki-laki tinggi besar berusia pertengahan lima puluhan.

“Nanan!” pekik Ndari. Segera tenggelam dalam pelukan laki-laki itu. Begitu juga Jati.

“Pakdeku,” bisik Rika pada Bismaka yang duduk di sebelah kanannya. “Satu-satunya abang Mama.”

Nanan, abang tunggal Kencana itu adalah seorang pastor yang bertugas di Semarang. Cukup jarang punya waktu khusus untuk pulang ke Jakarta. Saat ini pun sekadar mencuri waktu sebelum ia harus mengikuti sebuah pertemuan di Jakarta.

Mereka melanjutkan acara makan, diawali dengan doa yang dipimpin Nanan tentu saja. Untunglah Owen tidak membeli gado-gado dalam jumlah pas. Ia lebihkan dua bungkus. Sengaja. Jaga-jaga, kalau-kalau Bismaka merasa kurang bila hanya makan satu bungkus saja.

Obrolan di sekitar meja maka itu berlangsung meriah dan menyenangkan. Apalagi Bismaka selalu diajak terlibat di dalamnya. Dari masalah bisnis hingga kegiatan mereka hari ini. Suasanya jadi kian ramai ketika Kencana muncul menjelang acara makan siang itu berakhir. Satu bungkus gado-gado yang tersisa disantap Kencana, dan semua yang sudah selesai makan menemaninya sambil menghabiskan satu kotak lapis talas yang sengaja dibawa Kencana.

Setelah itu, kebersamaan mereka berpindah lagi ke dapur. Dengan dibantu Owen, Jati mengeluarkan panci dan wajan berukuran besar dari sebuah lemari raksasa di sudut dapur. Beberapa belas menit kemudian, aroma tumisan bumbu yang menggelitik hidung dan syaraf rasa pun menguar.

Bismaka asyik mengulek sambal di sebuah sudut. Ndari sebetulnya ingin yang praktis saja. Bahan sambal yang sudah ditumis Rika akan diblender saja sebelum ditumis kembali. Tapi Bismaka ‘mengacaukan rencana’.

“Enakan diulek saja, Yang,” ujarnya. Diakhiri dengan ia meminta cobek batu dan ulekan pada Jati, dan diambilkan sebuah cobek berukuran raksasa dari dalam lemari.

Pemuda itu tak terlihat canggung mengulek bahan sambal. Gerakannya cukup luwes, membuat Rika tertawa.

“Nggak rugi, ya, punya badan gede,” ledeknya. “Ulekanmu yahud juga, Bim.”

“Anaknya tukang katering gitu, loh...,” selorohnya, menjawab ledekan Rika. “Sekalian pedagang penyetan.”

Ketika segunung bahan sambal sudah selesai diulek Bismaka, Ndari mencolek sedikit dan mencicipinya. Seketika matanya terbuka lebar. Menatap Bismaka dengan takjub.

“Enak banget sambalmu, Bim!” serunya.

“Ya, jelas, Yang,” tukas Rika, tertawa. “Dagangan penyetannya laris manis, kan, gara-gara sambal mautnya itu.”

Semua yang ada di situ tergelak.

* * *

Pukul setengah enam sore, ketika pertemuan ibu-ibu itu sudah diakhiri dengan doa, hidangan pun hampir siap. Bismaka membantu Rika menyuguhkan minuman dan kotak-kotak kue. Kencana mengisi mangkuk-mangkuk yang sudah ada potongan lontongnya dengan sayur dan telur, kemudian menggesernya ke arah Mia. Gadis bungsunya itu menambahkan sepotong ayam opor pada setiap mangkuk, sekaligus menaburkan bawang goreng, dan menggeser mangkuk ke arah Jati. Sang kakek menambahkan kerupuk udang dan menaruh mangkuk yang isiannya sudah lengkap di atas nampan. Nanan yang masih ada di situ tak canggung ikut membawa nampan besar berisi mangkuk-mangkuk makanan yang sudah siap hidang. Hilir mudik antara dapur dengan ruang depan, bergantian dengan Owen.

Menjelang pukul tujuh, semua kesibukan itu nyaris berakhir dengan pamitnya tamu terakhir. Baru nyaris, karena masih ada kursi lipat yang harus dibereskan. Tapi dengan gotong royong, semuanya cepat terselesaikan. Dan, mereka pun mengakhirinya dengan makan bersama.

“Besok pagi-pagi aku ke sini lagi, Bu,” ucap Kencana. “Biar aku yang cuci semua mangkuk, gelas, dan alat masak bekas pakai.”

“Nggak usah!” sergah Nanan, setengah berseru. “Nanti aku saja yang bereskan. Aku menginap, kok.”

Lewat sedikit dari pukul delapan, keluarga Owen plus Bismaka kemudian berpamitan. Ketika Bismaka mencium tangan Ndari, perempuan sepuh itu mengelus bahunya.

“Semua memuji sambalmu tadi,” ujar Ndari. Tersenyum. “Terima kasih banyak, ya. Sering-sering main ke sini.”

“Hehehe....” Bismaka hanya bisa terkekeh, setengah tersipu. “Sama-sama, Eyang.”

“Aku pulangnya ikut mobil Papa saja, Bim,” celetuk Rika, di carport.

“Wah....” Bismaka kehabisan kata.

Rika masih menatapnya. Sementara itu, Owen masih bercakap sejenak dengan Nanan.

“Kan, aku yang jemput kamu tadi, Rik,” ucap Bismaka, akhirnya. “Aku juga, dong, yang harus tanggung jawab antar kamu pulang.”

“Halah... Ribet banget!” Rika tertawa ringan sambil mengibaskan tangannya. “Udah, deh, praktisan aku ikut Papa saja.”

“Masalahnya....” Bismaka menggantung ucapannya, tampak berpikir.

Rika kembali menatapnya dengan sorot mata bertanya.

“Aku mau ajak kamu nonton film midnight,” Bismaka nyengir sekilas. “Kalau kamu nggak capek. Mau?”

Seketika Rika terbengong.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi

Tidak ada komentar:

Posting Komentar