Jumat, 10 April 2020

[Cerbung] Let Me Love You This Way* #9-2











* * *


Apa yang sudah kulakukan?

Rika duduk terhenyak di jok kiri depan mobil Bismaka. Jam digital di dasbor menunjukkan angka 09:48 ketika mobil itu meluncur keluar meninggalkan carport rumah Rika.

Entah kenapa, tadi ia mengangguk begitu saja setelah untuk kedua kalinya Bismaka bertanya apakah ia mau diajak untuk nonton film midnight di bioskop. Setelah ia setuju, Bismaka langsung menghampiri Owen untuk meminta izin membawa Rika keluar menghabiskan malam Minggu.



“Memangnya kalian sudah mandi?” Owen seketika tertawa.

Seketika Bismaka menyadari keadaannya. Sibuk dari menjelang siang hingga baru saja. Tak terpikir sedikit pun untuk numpang mandi di rumah eyang Rika. Begitu juga Rika. Ia kemudian menggeleng.

“Kamu pulang, mandi dulu,” ujar Owen. “Setelah itu jemput Rika di rumah. Biar Rika pulang dulu bareng kami.”

Sebuah solusi yang adil dan praktis. Keduanya kemudian berpisah.

“Memangnya nggak apa-apa, Pa, aku keluar sama Bimbim?” gumamnya ketika mereka sudah sampai di rumah.

“Memangnya kenapa?” Owen balik bertanya. “Kamu sudah bukan gadis belasan tahun lagi, Rik. Papa percaya kamu bisa jaga diri. Papa lihat Bimbim anaknya juga baik.”

Rika terdiam sejenak.

“Sudah, sana mandi dulu,” ujar Owen lagi. Tersenyum lebar. “Dandan yang cantik.”

Rika memaksa diri mengembangkan seulas senyum. Ia pun beranjak masuk.

Nonton film midnight?

Rika mulai berdandan setelah mandi. Sekadarnya saja seperti biasanya. Walaupun punya pabrik kosmetik, tapi ia tak pernah berdandan menor. Cukup natural saja. Berdandan sedikit, tapi terlihat seolah polos-polos saja. Ilmu itu sudah lama ia dapat dari Kencana.

Ia pernah beberapa kali nonton film midnight. Bersama teman-temannya. Asyik. Tapi itu sudah lama sekali. Terakhir saat ia dekat-dekat waktu mengerjakan tugas akhir. Setelah itu tak pernah lagi. Hingga saat ini.

Dengan Andries? Jam keluar bersamanya dengan Andries selalu wajar-wajar saja. Apalagi memang Andries tidak boleh terlalu lelah. Sejak awal itu sudah memahami betul kondisi itu. Jadi ia tak pernah menuntut apa-apa. Tak pernah berharap lebih. Membiarkan segala cerita tentangnya dan Andries mengalir begitu saja, sekaligus menikmatinya.

Ia sedikit tersentak ketika pintu kamarnya diketuk halus. “Ya?”

Pintu terbuka. Kepala Mia menyembul dari selanya. “Nggak ketiduran, kan, Kak?” Gadis itu nyengir jahil. “Sudah dijemput, tuh!”

Sekilas Rika menengok jam dinding. Sudah lewat beberapa menit dari pukul setengah sepuluh.

“Ya, suruh tunggu sebentar,” ucapnya.

Pintu tertutup dari luar, dan Rika mengamati penampilannya di cermin. Sudah cukup cantik dan rapi. Ia hanya mengenakan kaus polo dan celana jins. Rambutnya diikat tinggi hampir di puncak kepala. Sepasang flat shoes dari bahan yang sama dengan celananya melengkapi penampilan santai itu. Diraihnya sebuah sling bag dari gantungan di dekat lemari pakaiannya. Diisinya tas kecil itu dengan dompet dan ponsel. Tak lupa ia mengambil sehelai jaket jins dari dalam lemari.

“Bawa jaket, Rik,” ujar Bismaka setelah mereka saling menyapa.

Tanpa kata, Rika mengangkat tangan kanannya yang sudah menggenggam jaket terlipat. Bismaka pun mengangguk puas. Pemuda itu sempat menghabiskan secangkir cokelat hangatnya sebelum berpamitan.



Dan, di sinilah keduanya sekarang. Dalam perjalanan menuju ke sebuah bioskop. Alunan musik jazz yang berganti judul membuat Rika sedikit tersentak.

“Pernah nonton midnight, kan?” Suara Bismaka memecah keheningan.

“Iya, dulu beberapa kali pas jaman masih kuliah.”

“Berarti sudah tahu asyiknya, dong?” Bismaka tersenyum lebar.

“”Iyalah....” Rika tersenyum juga.

“Dulu, sebelum sama Lusi, aku sering nonton midnight sama adik Ernest.” Bismaka nyengir sekilas. Teringat kisah lamanya.

“Wah, mengais memori, nih, ceritanya?” Rika tertawa ringan.

“Enggaklah.” Alih-alih menanggapi canda Rika, suara Bismaka justru terdengar serius. “Aku orangnya realistis, kok, Rik. Kalau dia memang sudah pilih orang lain, kenapa aku harus memaksa diri?”

Rika tercenung sejenak sebelum menoleh sekilas. “Segampang itu?”

“Enggak, sih.” Bismaka menggeleng. “Semua hal perlu proses. Lebih cepat karena saat itu aku langsung bertemu Lusi. Dijodohkan, lebih tepatnya. Walaupun kemudian kami sama-sama sadar bahwa jauh lebih baik berteman biasa saja. Semacam itulah.” Bismaka mengedikkan sedikit bahunya.

Rika melemparkan tatapan ke kiri, ke luar jendela. Kosong. Tak tahu harus memikirkan apa.

By the way, kamu beneran nggak capek ini, kan?” celetuk Bismaka.

Rika kembali menoleh sekilas ke arah Bismaka.

“Enggak.” Rika menggeleng sedikit. “Akhir-akhir ini hidupku jauh lebih santai, Bim.”

“Baguslah,” senyum Bismaka. “Terus, besok jadi mau ke San Diego Hills? Jam berapa?”

“Jadilah.... Agak siang saja. Ngantuk, kan, Bim, kalau harus ke sana pagi-pagi.”

“Kamu WA aku saja waktunya. Besok aku jemput.”

“Nggak usah, Bim,” sahut Rika, cepat.

“Sekalian aku mau mampir sebentar ke Cikarang,” tukas Bismaka, lembut.

Rika terdiam sejenak. Ia juga ada maksud singgah di Cikarang, sebetulnya. Apakah pergi bersama Bismaka lagi adalah hal yang tepat? Rika menggeleng samar. Ia benar-benar tak tahu jawabannya. Tapi perasaannya tak bisa bohong. Ia merasa lebih nyaman bila Bismaka menemaninya. Ia merasa tidak sendirian.

“Maksudku,” ucapnya kemudian, setengah menggumam, ”aku mau sekalian ikut misa di Cikarang setelah dari makam Andries.”

“Ya, baguslah. Sekalian jalannya.” Nada suara Bismaka terdengar antusias. “Nanti pulang misa kita bisa nengok truk sebentar.”

Akhirnya, Rika menyetujuinya. Tanpa merasa terpaksa. Tapi sedikit menyesal sesudahnya. Bimbang terhadap apa yang akan menunggunya di depan.

* * *

Dan, rasa bimbang itu, antara ya dan tidak, terbukti keesokan harinya. Hingga meluncur kembali seusai mengunjungi makam Andries, perjalanannya masih aman. Sudah ada dua karangan bunga di makam Andries. Tanda bahwa keluarganya sudah ada yang berkunjung.

Sayangnya, ia melupakan satu hal. Kemungkinan untuk bertemu adik Andries di Cikarang. Karena Pingkan dan suaminya bermukim di sana. Fifty-fifty sebetulnya, karena Cikarang juga cukup luas. Dan, ia juga tahu bahwa Pingkan dan Maxi jarang sekali mengambil waktu Minggu sore untuk beribadah di gereja.

Ketenangannya hanya bertahan sekian menit saja. Saat ia selesai berdoa, seseorang yang baru saja duduk di sebelah kirinya mencolek lembut bahunya. Ia menoleh. Sepotong balok es raksasa tiba-tiba saja serasa menempel erat di punggungnya.

“Tumben misa di sini?” bisik Pingkan.

“Iya, tadi baru dari makam Andries,” bisik Rika pula.

Saat itu tatapan Pingkan jatuh pada pemuda yang duduk di sebelah kanan Rika. Lalu, keduanya saling bertukar senyum dan sapa masih dalam bentuk bisikan, dan saling berjabat tangan.

“Sendirian?” bisik Rika.

“Tuh, Maxi jadi lektor*.” Pingkan menunjuk sosok Maxi yang nyaris menghilang di balik pintu di sebelah altar. (*Lektor = pembaca kitab suci / Alkitab pada misa)

Bibir Rika membundar tanpa suara. Ia kembali diam ketika Pingkan mengheningkan diri sejenak untuk berdoa pribadi.

“Kamu nggak apa-apa?” bisik Bismaka.

Rika menoleh sekilas ke arah Bismaka yang ternyata tengah menatapnya. Diulasnya senyum tipis sembari menggeleng pelan.

Sejujurnya ia sudah mulai lelah dan merasa harus pasrah. Dalam rentang waktu hanya sekian minggu saja, tiga kali bertemu anggota keluarga Andries dengan Bismaka sedang ada di sisinya, sepertinya sudah bukan lagi suatu kebetulan. Entah apa maksud yang tersembunyi di balik semua kejadian itu. Rika menggeleng samar.

“Aku sudah deal soal produksi kebutuhan salon dengan pabrikmu,” bisik Pingkan setelah selesai berdoa. Nadanya terdengar riang. “Sayangnya, kamu sudah nggak di sana lagi.”

Rika menyimpulkan senyum. “Dapat harga keluarga, nggak?” ia balas berbisik, dengan nada canda.

Pingkan tersenyum lebar. Ia kembali mencondongkan tubuhnya ke arah Rika. “Aku minta harga bisnis, kok. Bisnis tetaplah bisnis, Rik.”

Rika membalas senyum itu.

“Ngomong-ngomong, kamu sudah mulai jalan sama Bimbim?”

“Jalan ke mana?” Rika mengerutkan kening.

Tak menjawab dengan bisikan, Pingkan justru memberi isyarat dengan saling mengaitkan kedua jari telunjuknya. Rika segera menggeleng.

“Cuma teman,” tegasnya, masih berupa bisikan.

Dengan halus, Pingkan menepuk punggung tangan Rika. Mengisyaratkan bahwa ia paham. Membuat Rika sedikit lega. Tapi, tetap saja ada yang terasa mengganjal di hati.

* * *

Sepulang misa, Pingkan dan Maxi justru ikut nongkrong di area food truck. Setelah menyelesaikan semua urusan yang berkaitan dengan truknya, Bismaka bergabung dengan Pingkan dan Maxi. Rika belum kelihatan keluar dari truknya. Sepertinya masih sibuk.

“Kayaknya enak banget, ya, usaha truk kuliner begini?” celetuk Maxi, sambil menikmati iga bakar penyetnya.

“Kalau sudah jalan, sih, lumayan ringan,” jawab Bismaka. “Harus berupaya untuk bertahan dan berkembang, tapi sudah nggak kayak awalan dulu. Sampai berdarah-darah.” Bismaka tertawa ringan di ujung ucapannya.

“Nggak usah kepikiran usaha ginian, deh,” sergah Pingkan, menatap Maxi.

Yang ditatap hanya bisa tergelak. Bismaka pun turut tertawa. Sedikit banyak, ia tahu kisah Pingkan dan Maxi. Pada saat itu, Rika muncul dan duduk di seberang Pingkan, di sebelah Bismaka.

“Kamu mau makan apa?” tanya Bismaka.

“Sebentar, aku bernapas dulu,” jawab Rika sambil menghela napas panjang dan mengembuskannya keras-keras. Seolah sedang melegakan dadanya.

“Ada masalah?” Bismaka mengerutkan kening.

Rika buru-buru menggeleng.

“Enggak, sih,” jawabnya cepat. “Beres semua, kok. Cuma, aku dapat laporan dari manajer areaku, beberapa waktu belakangan ini di sini sering harus tutup lebih cepat. Kehabisan stok. Sepertinya harus mulai nambah kapasitas saji.”

“Pantas saja,” celetuk Maxi. “Cwimiemu memang laris manis, Rik. Apalagi ada bukaan tiga cluster baru di sektor sebelah sana.” Maxi menunjuk ke satu arah. “Pastilah banyak yang lari ke sini.”

“Iya,” timpal Pingkan, “beberapa kali aku nitip Maxi kalau dia pulang malem dari pabrik, eh... seringnya nggak dapet. Kehabisan.”

“Aku sudah nambah stok dari bulan lalu,” ujar Bismaka. “Bagus, sih, hasilnya.”

“Aku memang agak lambat merespons,” sesal Rika, mengingat kesibukan lebihnya beberapa minggu lalu saat mempersiapkan pengunduran dirinya dari perusahaan kosmetik.

“Belum telat, kok,” hibur Bismaka. “Masih bisa diperbaiki. Semangaaat!” Bismaka mengepalkan tangan kanan dan mengangkatnya tinggi-tinggi.

Semua di sekeliling meja kecil itu tertawa karenanya. Lalu, Bismaka menawarkan menu dari truknya kepada Rika. Dengan cepat gadis itu menjatuhkan pilihan pada udang bakar penyet sambal mangga dan segelas es teh lemon. Bismaka pun meninggalkan meja itu sejenak.

“Dia baik,” celetuk Pingkan tiba-tiba.

“Iya,” sahut Rika cepat. ”Karena itulah aku senang berteman dengannya.”

Pingkan mengangguk-angguk. Kemudian ditatapnya Rika.

“Tempo hari pas antar aku pulang dari Cijantung itu, kamu nggak sempat mampir,” ucapnya halus. “Mama nanyain kamu.”

“Iya,” senyum Rika. “Kapan itu Mama sempat telepon aku, tapi aku masih safari ke Jawa Timur dan Jawa Tengah. Belum sempat merencanakan kapan bisa ketemu Mama. Secepatnya, deh, aku jadwalkan.”

“Santai saja.” Pingkan menepuk lembut punggung tangan Rika yang menangkup di atas meja. “Kami semua mengerti kesibukanmu, kok.”

Rika menanggapi ucapan Pingkan dengan senyuman. Entah kenapa, keinginan Sonia untuk bertemu dengannya membuat jantung Rika berdebar lebih kencang.

* * *


Ilustrasi : www.pixabay.com, dengan modifikasi




Tidak ada komentar:

Posting Komentar