* * *
Sembilan Belas
Keluarga yang hangat. Ayah yang baik. Ibu yang penuh kasih. Anak-anak yang hebat. Dan saat ini aku ada di dalamnya. Mengenal masing-masing mereka dengan lebih baik lagi.
Mas Kelvin, calon suami Mbak Erina, adalah seorang produser salah satu acara talk show dengan rating cukup tinggi di Press TV. Sedangkan Mas Deva, pacar Mbak Arsita yang baru dikenalkannya pada keluarga hari ini, adalah seorang akuntan yang bergabung dengan sebuah kantor akuntan publik ternama.
Keduanya berasal dari keluarga sederhana, tapi sama-sama dianugerahi otak cemerlang, sehingga berhasil menamatkan jenjang pendidikan dari satu demi satu beasiswa sejak SMP. Dan kulihat dengan mata kepala dan mata hatiku sendiri, Pak Banyu dan Bu Mawarni menerima kami semua, calon-calon orang baru dalam keluarganya, dengan tangan sangat terbuka. Semua sama, tanpa memandang latar belakang keluarga.
“Riri kalau kangen dengan Papa dan Mama, mainlah ke sini, Ri,” ucap Bu Mawarni dengan senyum manisnya. “Di sini, kan, papa-mamamu juga.”
“Iya, Bu,” aku mengangguk.
“Biar Ibu nggak bisa masak, nanti kita coba buat makanan kesukaan Riri.”
“Jangan!” sergah Pak Banyu tiba-tiba. “Bisa keracunan nanti si Riri. Bapak saja yang masakkan. Gini-gini, Bapak jago masak, lho! Tuh, menurun ke Irvan.”
Kami semua tertawa. Lalu celetukku sambil meringis, “Tidak ada masalah begitu, Ibu kurang bisa memasak?”
Pak Banyu langsung menggeleng dengan wajah serius. “Buat Bapak nggak pernah jadi masalah, Ri. Toh, Bapak bisa, sedikit-sedikit. Ibu juga bisa, cuma rasanya nggak konsisten,” Pak Banyu tersenyum lebar, sementara Bu Mawarni terlihat sedikit tersipu. “Tapi orang berpasangan itu saling melengkapi. Bukan saling mencela kekurangmampuan pasangan dalam melakukan sesuatu.”
“Kayak Mas Kelvin dan aku, Ri,” sambung Mbak Erina. “Aku nggak bisa masak, Mas Kelvin apalagi. Tapi bukan masalah besar. Masih ada Irvan,” Mbak Erina nyengir lebar.
Kami semua tertawa lagi.
“Saudara kayak gini ini, Ri, yang bisa bikin usahaku bangkrut,” gerutu Irvan.
Tawa kami meledak lagi.
“Kamu kasih sedekah makanan ke aku, dijamin rejekimu lancar, Van,” tukas Mbak Erina di tengah derai tawanya.
Selanjutnya pembicaraan beralih ke rencana pernikahan Mbak Erina dan Mas Kelvin yang akan berlangsung sekitar empat bulan lagi. Aku segera menarik napas lega.
“Kenapa, Ri?” Bu Mawarni tampaknya menangkap ekspresi kelegaanku.
“Hm... Kalau empat bulan lagi berarti sudah lewat dari cuti saya, Bu,” jawabku. “Jadi saya bisa membantu apa saja saat persiapan dan hari H.”
“Riri mau cuti?” Pak Banyu mengerutkan keningnya.
“Iya, Pak,” anggukku. “Saya kemarin salah strategi. Harusnya selesai urusan di Aussie, saya terbang dulu ke Spanyol. Tapi saya keburu pulang ke sini. Terus masuk kerja karena nggak enak juga kelamaan menganggur. Beberapa waktu belakangan ini, oleh Om sempat ditempatkan di bawah sepupu yang kurang sesuai dengan sistem belajar saya. Jadi Om melihat saya seperti stress begitu. Lantas diberi kesempatan cuti tanpa terima gaji dan dipindah ke kantor lain. Kebetulan Papa ingin kami semua berkumpul saat musim panas. Jadi sepertinya cuti saya akan saya ambil saat itu.”
“Dua bulan lagi, ya?” gumam Pak Banyu, manggut-manggut. “Berapa lama?”
“Dua-tiga minggu saja, mungkin. Saya belum pastikan.”
Dan pembicaraan pun kembali ke alur semula.
* * *
Saat mengantarku pulang, Irvan hanya mampir sebentar untuk ‘menyerahkan’ aku pada Kakung dan Uti. Setelah Irvan berlalu, aku pun bergegas melangkah ke kamar. Tapi tangan Uti mencekal lenganku dengan lembut.
“Semua keperluan dan perlengkapanmu untuk malam ini dan besok pagi sudah diambilkan dan disiapkan Nem. Ada di kamar Kakung dan Uti,” ucap Uti lirih.
“Lho, kenapa?” aku mengerutkan kening.
“Kamarmu dipakai Jani dan Dinda. Banyak kamar lain, tapi biasanya Jani kalau menginap di sini, ya, menempati kamarmu itu.”
Aku menatap Uti. Terdiam.
“Kamu mandi dulu, Pluk,” tahu-tahu Kakung sudah berdiri di belakangku. “Nanti, apa yang memang perlu kamu tahu, akan Uti dan Kakung ceritakan.”
Aku pun menurut. Mengikuti langkah Uti menuju ke kamar utama.
* * *
Aku tercenung sambil duduk mencangkung di atas ranjang besar Uti dan Kakung. Dengan wajah sedih, Uti dan Kakung bergantian saling melengkapi menceritakan masalah Mbak Jani.
Mbak Jani minggat dari rumah. Membawa serta Dinda. Karena bertengkar dengan Mas Gatot. Lagi-lagi masalah finansial yang dicampuri pihak keluarga Mas Gatot.
Setelah Mas Gatot dipaksa resign dari Eternal Corp. karena masalah penggelapan uang, Mbak Jani memberi Mas Gatot sejumlah dana untuk membuka usaha. Sumber dana itu bukan dari Mbak Jani saja, melainkan dari Budhe Danik dan Pakdhe Juno juga.
Tapi dana itu tidak berkembang, justru habis mengalir ke keluarga Mas Gatot. Tentu saja Mbak Jani jadi malu pada Budhe Danik dan Pakdhe Juno. Apalagi dalam sejarahnya, Budhe Danik dan Pakdhe Juno pernah menyatakan tidak setuju saat Mbak Jani dulu memilih Mas Gatot sebagai calon suami. Alasannya sama sekali bukan soal kesenjangan sosial dan finansial keluarga, tapi karena kemungkinan besar Budhe Danik dan Pakdhe Juno memang sudah mencium ketidakberesan Mas Gatot.
Dan hari ini tadi, Mas Gatot kembali meminta sejumlah uang untuk modal usaha baru. Mbak Jani hendak mempertimbangkan dulu. Tapi Mas Gatot berprasangka buruk bahwa Mbak Jani menolaknya. Jadilah mereka bertengkar. Diakhiri dengan Mbak Jani pergi dari rumahnya dengan membawa serta Dinda.
“Jani memang salah satu ahli waris Eternal,” ucap Kakung lirih. “Tapi sementara ini, kan, statusnya baru level orang gajian. Sama sepertimu. Jadi uangnya juga terbatas. Apalagi sementara ini Gatot tidak menghasilkan, otomatis kebutuhan rumah tangga ditanggung sepenuhnya oleh mbakmu itu.”
“Yang jadi pertanyaan buatku, Kung, Ti,” bisikku. “Kok, Mbak Jani nggak pulang ke rumah Pakdhe dan Budhe? Kok, malah ke sini?”
“Jani malu, Pluk,” Uti mengelus kepalaku. “Pakdhe-mu sudah makin geregetan dengan ulah Gatot. Inginnya Jani pisah saja dari Gatot. Tapi kelihatannya Jani masih berat. Katanya, kasihan Dinda.”
Aku menghela napas panjang.
Dulu, duluuu sekali, ketika aku pertama kalinya bertemu dengan Mas Gatot saat acara pernikahannya dengan Mbak Jani, aku sempat membatin. Kok, Mbak Jani bisa lengket dengan Mas Gatot? Saat itu aku sama sekali belum pernah kenal dan tahu cerita apa pun tentang Mas Gatot. Tapi saat melihatnya, aku hanya melihat seorang yang cukup tampan tapi ‘tidak ada isinya’. Bagaimana Mbak Jani yang cerdasnya luar biasa itu bisa jatuh ke pelukan Mas Gatot?
Baru kemudian kusadari. Mungkin benar apa yang dikatakan orang. Bahwa cinta itu memang buta. Tapi apakah harus sebuta itu? Hm...
“Menurutmu bagaimana?” suara halus Uti menyentakkan aku. “Apakah sebaiknya kita berikan saja dengan sistem seperti kepada Irvan kemarin?”
“Sistem bagaimana?” aku mengerutkan kening. “Sistem akal-akalan itu?”
“Bukaaan...,” Uti menggeleng. “Pinjaman tanpa bunga yang harus kembali dalam jangka waktu tertentu.”
Aku kembali mengerutkan kening. Kok, aku nggak yakin, ya?
“Memangnya dia mau usaha apa?”
“Ternak ayam potong,” jawab Kakung. “Kita, kan, punya tanah di Cibinong. Biar dipakai sama dia.”
Hm... Tapi...
“Dia minta berapa?” keningku lagi-lagi berkerut.
“Dua ratus juta.”
“BERAPA???”
“Ssst...,” Uti langsung memelototiku.
Buru-buru kututup mulutku dengan tangan kiri. Memangnya ternak ayam skala berapa yang dia inginkan? Langsung besar, begitu? Ribuan? Aku menggelengkan kepala.
“Kenapa nggak kecil-kecilan dulu, sih?” gerutuku.
Uti dan Kakung saling menatap. Sepertinya punya pikiran yang sama.
“Kalau dia ada pengalaman, okelah...,” aku mengangkat bahu. “Tapi, kan...,” aku mengangkat bahu lagi.
Uti dan Kakung sama-sama tercenung. Aku tahu, simpanan Uti dan Kakung di bank jumlahnya beratus kali lipat daripada itu. Tak ada artinya kalau memang harus ‘hilang’ melalui tangan Mas Gatot. Tapi menuruti keinginan Mas Gatot yang semuluk-muluk itu, apa iya akan mendidiknya untuk jadi lebih baik?
“Tapi, ya, terserah Uti dan Kakung,” sambungku kemudian. “Hanya saja, menurutku, Budhe dan Pakdhe harus tahu masalah ini. Jadi kalau ada apa-apa, Uti dan Kakung nggak terseret ikut disalahkan.”
Uti dan Kakung kembali saling menatap. Diam-diam aku menguap. Kulirik jam dinding. Jarum pendek dan panjang tampak menumpuk di angka sebelas. Sudah selarut ini. Pantas saja mataku sudah terasa pedas dan berat.
“Ya, sudah, kita lanjutkan besok saja memikirkannya,” putus Kakung, membuatku menghela napas lega. “Kita tidur dulu. Kasihan Cempluk, besok pagi harus masuk kerja.”
Setelah mengucapkan selamat malam, aku pun membaringkan diri di atas sofa-bed di salah satu sudut kamar besar ini. Tak butuh waktu lama, alam mimpi pun telah membuaiku.
* * *
waduh, aku kok merasa makjleb yaaa...
BalasHapusabis gimana ya jeng...
lha ganteng lhoooo...
#iniapaansih
#kokjadicurcol
😄😄😄
HapusGood post, itulah dunia kita, nggak akan habis dengan cerita dan masalah he he
BalasHapusHehehe... Iya, Pak 👌
Hapusapik mbak.....
BalasHapusMakasih mampirnya, Mbak Fid... 😘
HapusKok bikin fiksi bisa elegan gini, ya? Kasih tau ramuannya dong...!
BalasHapusNggak ada ramuan khusus 😁 Adanya petuah Mbah Dukun 😂😂😂 hehehe...
HapusYang penting latihan terus (mulai dari aku masih awal SMP), bagus-jelek nulis terus, dari hati, nggak nyuri dari orang lain 😉
Ada lagi masalahnya... Btw, sekarang Dinda udah SMA dong? Itu fiksi sekitar 10 tahun yang lalu kan?
BalasHapusSMP, karena di fiksi ini dia masih balita (3-4 tahun)
HapusMungkin (masih mungkiiin lho, ya) nanti bisa jadi cerita tersendiri 😉
Cerita khusus Dinda masa remaja. Wuiiihhhh sikat, Bu! Semua member Keluarga Haryanto dibikin kisah pribadinya!!!
HapusKerreeeen.........lanjoot..
BalasHapusMakasih banget, Mbak Dewi... 😘
HapusGregeten aq kambek Gatot mb Liiiiis !
BalasHapusHiiiiih !!!!!
Krawuken ae wes, Niiit! 😄😄😄
Hapus