Kamis, 25 Agustus 2016

[Cerpen] Rumah Kayu Di Tengah Salju








Ingrid Kaufman menatap hamparan salju di luar jendela. Putih. Terkesan begitu lembut. Tapi dinginnya seolah membekukan waktu.

Salju makin sering datang...

Ingrid memejamkan mata sambil duduk di atas kursi goyang di depan jendela.

Seutuhnya rasa rindu itu nyaris tak bisa dibendung lagi. Rindu yang mulai muncul setelah Adolf-nya yang gagah dan tampan harus berangkat ke Stalingard. Dan semuanya berlangsung singkat. Terlalu singkat.

Adolf lenyap ditelan perang. Tak pernah kembali. Tak akan pernah melihat anak-anaknya tumbuh besar dan beranjak dewasa. Hanya namanya saja yang abadi terukir dalam hati.

Kabar kematian Adolf diterimanya dengan hati hancur menjelang akhir musim gugur. Tapi ia berusaha tegar demi Stefan dan Ernst. Juga calon bayi mungil mereka yang Adolf belum pernah tahu keberadaannya.

Ingrid menghela napas panjang. Kemudian ia membuka mata dan melihat berkeliling. Ruang baca yang luas dan hangat itu harus ditinggalkannya. Rumah kayu itu akan segera berganti pemilik. Dan ia tak bisa lagi tinggal di dalamnya. Tak bisa lagi melihat wajah-wajah yang sangat dikasihinya.

Tak ada barangnya yang harus dikemasi. Semua sudah tersimpan rapi dalam hati. Bersama kenangan yang tak pernah lekang. Tentang Adolf-nya. Tentang Stefan, Ernst, dan Angela. Tentang Perang Dunia Kedua yang akhirnya selesai puluhan tahun lalu. Tentang waktu yang terus bergulir.

Ingrid tersentak ketika pintu terbuka pelan-pelan. Seorang gadis berusia lima belas tahun menatapnya dengan mata sembab, ujung hidung merah, dan wajahnya utuh dipenuhi kesedihan.

“Nenek tak mau ikut kami?” tanyanya dengan suara bergetar hebat.

Ingrid tersenyum. Menggeleng.

“Tapi aku khawatir Nenek tak akan bisa tinggal di sini lagi,” gumam gadis itu.

“Nenek tahu, Clara,” Ingrid mengangguk.

“Tidak! Tidak!” tiba-tiba gadis muda itu tersentak dan memejamkan mata. “Dia akan menjemput Nenek,” gumamnya, masih dengan mata terpejam, dan senyum mengembang di bibirnya.

“Siapa?” alis Ingrid terangkat.

“Kakek.”

Seketika ada aliran sejuk memenuhi dada Ingrid. Tak ada alasan untuk tidak mempercayai Clara. Di antara semua keturunan Stefan, Ernst, dan Angela, hanya Clara yang bisa melihatnya. Clara, cicitnya, salah seorang cucu Angela.

“Kapan?” bisik Ingrid.

“Secepatnya, Nek,” Clara membuka mata. “Dan aku akan sangat merindukan Nenek.”

“Kehidupanmu berjalan terus, Nak,” senyum Ingrid.

“Ya,” Clara tertunduk. “Aku harus segera pergi, Nek. Aku mencintaimu.”

Ingrid mengangguk. “Nenek juga mencintaimu. Mencintai kalian semua.”

Lalu gadis itu berbalik. Berusaha untuk tak lagi menoleh. Sebenarnya ia sangat ingin memeluk Ingrid. Sayangnya tidak bisa. Karena Ingrid hanya sekadar bayangan semu yang bisa dilihat dan didengar, tanpa pernah bisa disentuh. Diam-diam, diusapnya air mata yang meleleh di pipi.

Ingrid menatap kepergian Clara dari balik jendela. Ia membalas lambaian sekilas dari Clara. Kini, yang bisa ia lakukan hanyalah menunggu.

Dan ia tersentak ketika tiba-tiba saja ada aliran udara yang terasa sejuk. Ia menoleh dan menjadi beku. Dikerjapkannya mata berkali-kali. Tapi sosok yang hadir di dekatnya itu tetap ada.

“Ingrid, kekasih hatiku,” suara itu terdengar lembut berbalut kerinduan.

Ingrid kembali mengerjapkan mata. “Adolf?”

Adolf Kaufman-nya tak berubah. Tetap gagah dan tampan mengenakan seragam tentara Jerman yang terkesan kuno. Wajah Adolf bersih bercahaya. Seolah tak ada sedikit pun kesakitan pernah menyentuhnya.

“Aku menjemputmu, Ingrid,” Adolf tersenyum sambil mengulurkan tangan.

Ingrid segera tenggelam dalam pelukan Adolf. Hangat.

Akhirnya...

Ingrid tersenyum. Masih dalam pelukan Adolf. Tiga puluh lima tahun penantiannya sudah tunai. Sejak ia menutup mata dan jasadnya mendingin, tapi jiwanya menolak untuk pergi dari tempat itu. Juga berpuluh tahun sebelumnya, saat kerinduannya pada Adolf tetap abadi, tak pernah bisa beralih dari hati.

“Kita terbang, Ingrid,” Adolf memeluknya makin erat. “Ke rumah baru kita.”

Dan Adolf membawanya melayang.

Rumah kayu di tengah salju itu terlihat makin kecil. Tertinggal di bawah. Sebelum akhirnya lenyap dari pandangan.


* * *


Catatan :

Versi lebih pendek dari cerpen ini sedianya akan diikutkan dalam event FITO yang digagas oleh Desol, Putri Apriani, dan Imas Siti Liawati. Tapi gagal karena foto/ilustrasi wajib tidak bisa diunggah melalui tab.
Ilustrasi dalam cerpen ini diambil dari situs tipsproperti.com, dan ceritanya sedikit diubah untuk menyesuaikan dengan ilustrasi.
Terima kasih.

20 komentar:

  1. Bacanya haru...
    Makasih ya Tan udah (sempat mau) ikutan FITO, walo akhirnya ada kendala.. *lopelope :D

    BalasHapus
    Balasan
    1. aku jadi pengen ikutaaaan..


      #hihihi numpang nggaya komen di lapak keren, biar dikira "seolah olah" bisa nulis fiksi.

      kabuuur

      Hapus
    2. Makasiiih mampirnyaaaa... 😘😘😘

      Hapus
  2. Ouuuuch ....
    So sad, but so sweet also ....
    Latar belakange Jerman lawan Rusia gek Stalingard yo mb ?
    Heibad !
    Nerusno kemping gek sini.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Lho, kelewatan belum tak'bales komenmu, Nit... Jerman vs Uni Sovyet, waktu itu belum pecah jadi Rusia dkk. 😊
      Nuwus mampire yo... 😘

      Hapus
  3. Jempol. Walau ngomongin arwah, jauh dari kesan serem.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Naaah, itu masalahnya, Mas Pical. Aku belum bisa bikin horor yang beneran serem 😳😳😳

      Hapus
  4. Hmm.. Barang alus tibake. Apik, as usual.

    BalasHapus
  5. waaaaa endingnya....
    mesti Bu Lizz

    BalasHapus