* * *
Keesokan harinya, Mas Hasto mengajakku ke kafe di seberang kantor seusai bekerja. Kelihatannya ada hubungannya dengan yang kuceritakan kemarin sore. Setelah selesai dengan urusan memesan minuman dan makanan kecil, Mas Hasto menatapku.
“Kemarin sore juga, aku menceritakan semuanya pada Papa dan Mama,” ucap Mas Hasto dengan suara rendah. “Papa dan Mama tahu soal janji Mbak Jani ke Kakung untuk secepatnya menyelesaikan tagihan Mas Gatot. Celakanya, Papa dan Mama mengira bahwa semuanya sudah beres. Begitu tahu kejadian yang sebenarnya, Papa dan Mama langsung berangkat saat itu juga ke rumah Mbak Jani. Aku diseret juga. Papa ngamuknya nggak ketulungan ke Mbak Jani dan Mas Gatot. Terutama ke Mas Gatot.”
Aku menatap Mas Hasto dengan ngeri. Setahuku, Pakdhe Juno orangnya kalem dan cukup sabar. Kalau sampai marah-marah menuju ke level mengamuk seperti itu, aku benar-benar tak berani membayangkan seperti apa sosok Pakdhe.
Mas Hasto mengibaskan tangannya dengan wajah jengah. “Aku harap sore ini juga urusannya selesai. Sungguh, Pluk, aku malu padamu, pada Irvan.”
“Awalnya aku juga malu sekali pada Mas Irvan,” kuhela napas panjang. “Tapi dia menanggapi positif. Dia mengerti, kok.”
“Iya, sih...,” gumam Mas Hasto. “Kampungan betul, si Gatot itu.”
“Sudah...,” kutepuk lembut punggung tangannya. “Kita ngadem dulu. Tuh, minuman kita datang.”
Mas Hasto mengangguk.
* * *
Menjelang pukul delapan malam, aku mendapat pesan pendek dari Irvan. Katanya, ia sudah mentransfer kembali uangku. Mbak Jani sudah membayar tagihan Mas Gatot pada kasir resto. Sengaja Irvan tidak menampakkan diri supaya Mbak Jani tidak makin malu. Seketika itu juga aku merasa lega.
Dengan ringan aku keluar dari kamar setelah membalas pesan Irvan dengan ucapan terima kasih. Uti dan Kakung tidak ada di ruang tengah. Lalu aku melanjutkan langkah ke arah depan. Pintu ruang tamu terbuka lebar. Sayup-sayup aku mendengar suara Uti dan Kakung tengah bercakap berdua. Agak ragu aku untuk meneruskan langkah, karena topik pembicaraan Uti dan Kakung saat ini adalah Mbak Jani dan Mas Gatot.
“Aku nggak menyalahkan Juno kalau sampai ngotot ingin Jani cerai dari Gatot,” ucap Uti. “Lha, wong si Gatot sendiri makin lama makin nggak beres begitu.”
“Ya, nggak bisa begitu, to, Bu,” tukas Kakung dengan nada halus. “Jani itu sudah dewasa, bisa menentukan yang terbaik buat dirinya.”
“Terbaik bagaimana kalau masih juga merepotkan?” nada Uti mulai meninggi. “Lha, kalau bolak-balik minggat, apa nggak kasihan sama Cempluk? Nggak berani minggat ke rumah orang tuanya. Larinya ke sini. Si Cempluk kamarnya diinvasi seperti itu. Jani nggak mau menempati kamar lainnya. Malah belakangan ini Gatot sudah berani mencatut nama Cempluk buat utang. Utang makanan lagi! Bikin malu saja!”
Lalu hening. Aku berdiri tercenung di dekat pintu.
Seharusnya, Uti dan Kakung sudah tak perlu lagi repot memikirkan masalah cucunya yang sudah berkeluarga itu. Sudah berani memutuskan untuk menikah, seharusnya siap dengan segala konsekuensinya. Itu yang pernah ditekankan Mama padaku.
“Maka, cobalah untuk mencari pasangan yang mau dan mampu melangkah seirama. Agar tidak timpang. Agar salah satu tidak menjadi korban.”
Ucapan Mama terngiang begitu saja di telingaku. Seketika ingatanku melayang pada Irvan. Dan ingatan itu pula yang membuatku memutuskan untuk kembali ke kamar. Memutuskan untuk sejenak memanjakan diriku dengan lamunan indah tentang Irvan.
* * *
Hari-hariku di Eternal Rubberplast terasa bagai terbang saja. Sangat cepat berlalu. Tahu-tahu jadwalku terbang ke Spanyol sudah tiba. Semua urusan keberangkatanku sudah dibereskan oleh Om Nor melalui Eternal Tour and Travel. Lebih asyik lagi, aku tak perlu membayar sepeser pun untuk tiket pergi-pulang. Karena Pakdhe Juno dan Budhe Danik yang membayarnya. Sebagai ungkapan permintaan maaf atas kelakuan Mas Gatot. Wow! Sungguh-sungguh blessing in disguise.
Tidak ada penerbangan langsung dari Cengkareng ke Madrid. Aku harus transit dulu di Singapura. Dari situlah Rinnel akan bergabung denganku. Walau aku sudah beberapa kali terbang jauh sendirian, tapi memiliki teman seperjalanan tentulah lebih menyenangkan. Apalagi bila dia adalah Rinnel, adikku sendiri.
Aku masuk ke terminal keberangkatan diiringi lambaian tangan seluruh keluarga besarku yang mengantar. Yang berangkat cuma satu orang, tapi yang mengantar ada lima mobil, termasuk Pak Banyu dan Bu Mawarni, beserta Irvan. Masih kurasakan pelukan Irvan tadi. Hangat. Juga bisikannya.
“Jaga diri baik-baik, ya, Pluk,” Irvan mengecup ringan keningku. “Kembali ke sini dengan selamat. Aku pasti merindukanmu.”
Sekuat tenaga aku menahan airmataku agar tidak tumpah. Tapi tetap saja ada sedikit lelehan bening di pipiku, yang buru-buru kuhapus sambil aku mendorong troli. Sekitar pukul tujuh sore, pesawat Singapore Airlines yang kutumpangi mengudara.
Hampir dua jam kemudian, barulah aku bertemu Rinnel di food court lantai dua Bandara Changi. Wajahnya tampak cerah. Untuk urusan ini, ia terpaksa bolos kuliah. Hanya satu minggu. Setelah itu ia akan pulang duluan ke Singapura, sementara aku masih akan meneruskan liburku seminggu lagi. Dua minggu di Spanyol rasanya sudah lebih dari cukup untuk menuntaskan kerinduanku pada Papa, Mama, dan Dipa.
Lewat sedikit dari tengah malam waktu Singapura, Rinnel dan aku melakukan boarding. Lega rasanya karena bisa mendapat tempat duduk bersebelahan. Hampir pukul setengah dua pagi waktu Singapura, pesawat berbadan lebar milik Singapore Airlines yang kami tumpangi pun mengudara dari bandara Changi menuju ke Zurich Flughafen. Baru dari bandara internasional Zurich itu nanti, kami akan terbang ke Madrid dengan Swiss Air.
Rinnel mulai menguap di sebelahku. Perjalanan kami ke Swiss akan berlangsung dua belas jam lamanya. Masih panjang. Dan diam-diam aku pun tertular menguap juga.
* * *
Aku terbangun ketika suara Rinnel mengusik telingaku. Aku menggeliat dan menguap. Kru pesawat sudah mulai membagikan sarapan. Dari Rinnel, aku tahu bahwa saat ini kami sedang terbang di atas Georgia pada pukul lima pagi waktu setempat.
Sekira pukul delapan pagi waktu Zurich, kami mendarat di Zurich Flughafen. Aku sangat lega. Penerbangan kami sejauh ini lancar. Madrid hanya dua jam penerbangan dari Zurich. Tapi kami harus menunggu selama sekitar empat jam sebelum pesawat yang harus kami tumpangi mengudara menuju Madrid.
“Mau kumpul saja perjuangan kita kayak gini, ya, Mbak?” celetuk Rinnel sambil menyesap secangkir cokelat hangatnya.
“Kalau Papa pensiun nanti, kan, kita bisa kumpul lagi, Nel,” hiburku. Menghibur diriku sendiri juga. “Selesai S-2 nanti, Dipa juga sudah bilang mau kembali ke Jakarta. Kamu juga, kan?”
Rinnel mengangguk.
“Kamu jadi lanjut ke Aussie?” tanyaku. “Atau seperti Dipa?”
Rinnel menggeleng. “Aussie saja, Mbak. Kalau ada apa-apa dekat dari Indonesia.”
“Iya, sih...” Lalu kutatap dia dengan jahil. “Lagipula, kan, kamu pasti nggak mau jauh-jauh dari Kania, hihihi...”
Rinnel mengerucutkan bibirnya. Lucu.
“Memangnya kamu sama Kania itu gimana, sih?” usikku lagi.
Wajah Rinnel tampak bersemu merah. Terlihat polos dan imut. Sama sekali tidak cocok dengan postur tubuhnya yang tinggi besar.
“Apaan, sih?” elaknya.
“Halaaah...,” godaku lagi. “Nggak perlu ngeles...”
“Aduh...,” mengusap wajahnya dengan telapak tangan. “Kania masih kecil, Mbak. Lagipula sepupu sendiri masak harus diembat juga?”
“Secara hukum memang sepupu. Tapi secara garis darah, kan, tidak. Sudah ada gadis baik-baik di depan mata, kenapa harus kelayapan cari yang lain?”
“Ah, nantilah, Mbak,” elak Rinnel lagi.
Tapi aku tahu hatinya. Dan aku tersenyum lebar karenanya.
* * *
Hampir pukul setengah satu siang waktu Zurich, pesawat Swiss Air yang kami tumpangi pun mengudara menuju ke Bandara Madrid-Barajas. Ada debar yang bermain dalam hatiku. Debar yang bernada riang. Aku jadi teringat Ava dan ucapannya hampir dua minggu yang lalu saat kami bertemu di taman Minggu pagi. Waktu itu aku berkata padanya bahwa aku hendak terbang ke Spanyol.
“Kamu harus menonton flamenco, Riri!” ucapnya antusias dengan mata berbinar. “Tarian yang sangat indah!”
Sepertinya tidak akan susah untuk merayu Mama atau Papa untuk memasukkan acara menonton tari Flamenco ke dalam daftar kegiatan liburanku. Kapan lagi bisa menonton pertunjukan tari Flamenco di negara asalnya? Kalau pertunjukan matador, hm... Susah untuk melewatkannya. Tapi, kok, ada rasa tidak tega melihat pertunjukan itu. Adu banteng lawan manusia. Dengan dua kemungkinan pihak yang kalah. Bantengnya, atau justru manusianya. Sama-sama berdarahnya. Hiii...
Lamunanku terputus ketika pramugari meminta kami semua mengenakan sabuk pengaman karena pesawat sudah bersiap untuk mendarat. Aku menatap ke luar jendela. Langit biru terlihat luar biasa cerah. Debar di dadaku makin meriah.
Dan di Bandara Madrid-Barajas aku meluapkan kerinduan yang luar biasa pada Papa dan Mama. Mama menciumiku dan Rinnel sambil berurai airmata. Kerinduan kami sama. Terpisah oleh jarak yang begitu jauh. Dan kelihatannya Papa berusaha keras untuk menungguku hingga lepas dari pelukan Mama.
Ketika hal itu terjadi, Papa ganti memeluk dan menciumiku. Jauh lebih erat daripada pelukan Mama. Jauh lebih banyak daripada yang diterima Rinnel. Dan adik bungsuku itu kelihatannya menyadari betul posisiku sebagai anak gadis Papa satu-satunya. Ia hanya nyengir ketika aku tenggelam dalam pelukan Papa. Tak urung, sekilas aku melihat ada genangan bening dalam mata Rinnel. Genangan bening kebahagiaan, karena kami pada ujung perjalanan panjang ini akhirnya sampai dengan selamat di Madrid.
“Dipa kapan datangnya?” tanyaku ketika berjalan menuju ke mobil.
“Baru besok,” jawab Mama dengan wajah cerah walaupun matanya terlihat agak sembab. “Nanti setelah sampai di rumah, kalian langsung telepon Kakung, ya? Biar yang di sana nggak cemas.”
Aku mengangguk
* * *
Good post mbak
BalasHapusMakasih, Pak Subur... 😊
Hapuslhah... aku yang bawain kopernya kok gak ikut diceritain seh ???
BalasHapusberarti sebelahan sama aku donk mbak yg bawain tas jinjingnya...hehehe
Hapuslhah...
Hapussama-sama tukang angkat kok belom kenalan yak...
salam kenal ya mbak... :)
Mari, silakan ngobrol yang enak 😁
Hapus*suguhin cemilan dan minuman*
Bilang sama Mbak Cempluk, Bu. Aku minta oleh-oleh khas Spanyol. Bule ganteng juga boleh. He he he
BalasHapusHah??? Gule banteng??? 😱😱😱
Hapus*kabooorrr*
Waduh! Gimana rasanya tuh? Gurih gak? *galfok*
BalasHapusWakakak... Nggak tau, aku setengah vegetarian 😁
HapusIni gabagus ini !
BalasHapusIni gabagus !
Aq ae cumak nyampek Tomohon koq Cempluk isa nyampek Madrid ?????
Garai iri soro iki !
😝😝😝
Hapus