* * *
Kesibukanku seharian ini berhasil menjauhkan aku dari Mas Hasto. Sekaligus menjauhkan aku dari pertanyaannya tentang Mbak Jani. Aku memang bagian tak terpisahkan dari keluarga besar Eyang, tapi bagiku, tetap saja masalah Mbak Jani dan Mas Gatot masuk ke ranah pribadi keluarga Budhe Danik. Bukan hakku untuk menjelaskannya meskipun aku tahu sedikit. Kepada Mas Hasto sekali pun, sebagai adik kandung Mbak Jani.
“Mbak Jani dan Dinda semalam menginap?” tanya Mas Hasto begitu aku keluar dari dalam mobil pagi tadi..
Aku menatapnya sejenak. Kemudian melangkah pelan. Menimbang-nimbang haruskah jujur atau ‘ngeles’. Tapi melihat Mas Hasto seolah sengaja menunggu di tempat parkir, aku jadi cenderung untuk menjawab secara jujur. Dan ia pun kini menjajari langkahku.
“Kok, Mas Hasto tahu?” aku mengulur waktu dengan balik bertanya.
“Iya, Mbak Jani dan Dinda datang pas aku mau pulang,” Mas Hasto menoleh sekilas. “Wajahnya keruh. Kenapa dia?”
Aku menggeleng. “Aku nggak tahu.”
“Aku tahu kamu tahu, Pluk,” ucap Mas Hasto dengan nada rendah. “Kamu nggak punya bakat jadi pembohong.”
“Mas...”
“Maaf, Bu Riri, Pak Hasto,” seorang resepsionis menyambut kami di pintu lobi. Ia menatapku. “Ada telepon dari Pak Norman untuk Bu Riri. Kebetulan saya melihat Bu Riri datang. Jadi, Pak Norman menunggu.”
“Oh, ya,” anggukku. “Terima kasih, Mbak Lena.”
Aku pun bergegas ke meja resepsionis bersama Mbak Lena. Ketika urusanku dengan Om Nor selesai, aku tak lagi menemukan Mas Hasto. Di samping itu, aku kemudian harus segera bersibuk diri karena ada tugas dari Om Nor yang harus kuselesaikan.
Tapi aku tak bisa menghindar lagi ketika Mas Hasto mengejarku ke tempat parkir seusai jam kantor saat ini. Bahkan ia sudah menunggu di samping mobilku. Aku menatapnya ragu.
“Kamu belum jawab pertanyaanku, Ri,” Mas Hasto menatapku tajam.
“Mas, aku tahunya, semalam aku pulang dari rumah Mas Irvan, Mbak Jani sudah di rumah Eyang. Tidur di kamarku, jadi aku mengungsi ke kamar utama. Karena sudah terlalu malam, habis mandi aku langsung tidur. Tadi pagi juga begitu, dia sudah berangkat waktu aku masih mandi. Dinda ada sama Eyang. Lagipula... Seharusnya, kan, Mas Hasto lebih tahu karena Mas bertemu langsung.”
“Dia nggak bilang apa-apa,” Mas Hasto menggelengkan kepala.
“Apalagi padaku. Jadi kenapa aku harus tahu?” tukasku halus.
Mas Hasto menghela napas panjang. Aku jadi tidak enak hati.
“Pasti masalah sama Mas Gatot lagi,” gumam Mas Hasto. Patah.
Aku pun menghela napas panjang.
“Mas,” ucapku halus, “nggak keberatan kalau aku duluan? Aku janji dengan Mas Irvan mau ke resto sepulang kerja. Jadi...”
“Oh, oke,” Mas Hasto langsung mengangguk.
Aku pun segera menyelinap masuk ke mobil dengan perasaan lega.
* * *
Dan aku harus menyelinap lagi. Kali ini ke dapur. Sepulang dari makan malam bersama Irvan di restonya. Tadi ketika hendak membelokkan mobil ke arah pintu pagar yang terbuka lebar, Pak Wahid menyetopku.
“Nggak bisa masuk, Mbak Riri,” ucap Pak Wahid saat aku keluar.
Pada detik yang sama, kulihat mobil Pakdhe Juno dan Mbak Jani parkir berjajar di depan garasi. Pak Wahid kemudian meminta kunci mobilku, agar mobilku bisa parkir di tempat aman walau berada di luar pagar.
“Mbak Riri sudah makan?” Bik Desi langsung bertanya begitu melihatku muncul di dapur.
Aku mengangguk.
“Kamar Mbak Riri masih dipakai Mbak Jani,” bisik Bik Desi.
Aku kembali mengangguk. “Biar saja, Bik.”
“Lho, Mbak Riri sudah pulang?” Mbok Nem tampak terkejut. “Sudah lama?”
“Baru saja,” jawabku.
“Soalnya tadi Bapak pesan sama Mbok, kalau Mbak Riri sudah pulang, langsung disuruh gabung di ruang tengah.”
“Ada siapa saja?” aku menerima segelas air putih dingin dari Bik Desi.
“Keluarganya Bu Danik.”
Kuhela napas panjang. Sejujurnya aku lelah sekali. Lagipula aku belum mandi. Tapi tampaknya kehadiranku dianggap penting. Jadi, aku pun menuruti permintaan Kakung.
* * *
Suasana muram tampak menyambutku. Membuat perasaanku seketika jadi kurang nyaman. Setelah menyalami semuanya, Uti menggapaikan tangan. Aku pun duduk di sebelah Uti. Hm...
“Pluk,” Pakdhe Juno buka suara dengan halus sambil menatapku, “tagihan Gatot di Godhong Gedhang, berapa totalnya?”
Hah? Aku melongo.
“Nggak usah sungkan, Pluk,” timpal Budhe Danik. “Katakan saja. Sekarang juga Budhe ganti.”
Aku makin melongo. Tapi senggolan lengan Uti membuatku tersadar.
“Sebentar...,” kutatap Pakdhe Juno dan Budhe Danik bergantian. “Kok, aku nggak paham, ya?” aku terpaksa meringis. “Ini ada apa?”
“Sudahlah, Pluk,” sergah Mbak Jani tiba-tiba, dengan nada agak keras. “Tinggal bilang jumlahnya berapa saja, lho! Kok, berbelit amat? Jangan tambahi masalah, deh!”
“Jani!” tegur Budhe Danik.
Mbak Jani kelihatan cukup mengkeret dibuatnya.
“Cempluk itu sepupumu, bukan bawahanmu lagi,” sambung Budhe Danik. “Lagipula yang ada di posisi bersalah itu Gatot, bukan Cempluk.”
Hening sesaat. Kuhela napas panjang.
“Maaf,” ucapku kemudian. “Aku benar-benar tidak tahu apa yang terjadi. Soal tagihan, tagihan apa? Aku nggak paham sama sekali.”
Dan yang harus kuketahui kemudian benar-benar membuatku nyaris pingsan.
Mas Gatot ternyata beberapa kali memesan makanan take away di Godhong Gedhang dengan jaminan namaku. Ia memanfaatkan posisiku sebagai kekasih Irvan dengan mengatakan agar Irvan menagih padaku. Tiga kali ia melakukannya. Dan tentu saja Irvan tak pernah mengatakan apa-apa padaku. Apalagi menyuruhku membayar tagihan yang ditinggalkan Mas Gatot. Benar-benar... Aaargh!!!
“Bikin malu saja!” aku tak lagi bisa menahan suaraku agar tetap bernada rendah. Sudah lelah, tidak segar, masih juga dihantam hal memalukan seperti ini. Mau ditaruh di mana mukaku di hadapan Irvan? Astaga...
“Sudah, nanti Bapak yang selesaikan dengan Irvan, Nik,” ucap Kakung, menatap Budhe Danik.
Huh! Seketika aku mendengus, tak puas.
“Seharusnya Mas Gatot yang menyelesaikannya sendiri,” geramku. “Bukan orang lain yang tiap kali mengambil alih masalahnya dengan cara seperti ini.”
“Ya, makanya tolonglah, Pluk, paling tidak tanyakan pada Irvan berapa tagihan Mas Gatot,” Mbak Jani kukuh menatapku.
“Mbak Jani tahu, kan, lokasi Godhong Gedhang?” aku menentang tatapannya. “Kenapa bukan Mbak Jani sendiri yang datang ke sana dan menanyakannya sendiri pada Irvan?”
“Aku malu, Pluk!”
“Lantas, Mbak Jani pikir mukaku ini tembok yang nggak punya rasa malu?!” suaraku makin naik. “Aku nggak punya kaitan apa pun dengan masalah rumah tangga Mbak dengan Mas Gatot, tapi diseret dengan sengaja oleh seseorang nggak tahu diri, nggak tahu malu, yang seenaknya saja mencatut namaku. Maaf, tapi selesaikan saja sendiri!”
Hening. Dan aku mencoba untuk mengatur napasku. Uti menggenggam tanganku erat.
“Pluk,” Uti kemudian membelai kepalaku. “Kamu lelah. Sekarang kamu ke kamar Uti, mandi, istirahat. Jangan pikirkan lagi soal ini.”
Aku menurut. Kutinggalkan ruang tengah tanpa berkata apa-apa. Bahkan berpamitan pun tidak. Otakku mulai kosong. Hanya ada satu pertanyaan yang berputar tanpa henti di dalam kepalaku.
Mau ditaruh mana mukaku nanti kalau bertemu Irvan lagi?
Kalau saja bisa, ingin rasanya aku meraup Mas Gatot, memasukkannya ke dalam karung, dan membuangnya ke Kali Ciliwung. Laki-laki tidak berguna seperti itu, buat apa dipertahankan hidup?
Huh!
* * *
Aku duwe feeling si gatot bakalan gawe rusuh iki. Kalo iyo lapor nang iptu Ajisaka ae mbak :p
BalasHapusWhoaaa... Siaaap, Mas!
HapusGood post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur... 😊
HapusKerreeeen......... Tambah bikin penasaran neeh.....
BalasHapusHahaha... Jadi bingung nyetop ceritanya, Mbak Dewi 😳
HapusGeregetan ughhhhh T.T
BalasHapusHehehe... Makasih singgahnya, Mbak Narti. Salam kenal 😊
HapusIsh !
BalasHapusAq setuju kambek Cempluk.
Gatot itu jegurno kali ae.
Gregeten soro liate !
Hihihi... Lwucu arek iki! 😝
Hapusmantapppppp.....baru keluar emosinya cemplukkk
BalasHapusMakasih mampirnya, Mbak Mila... 😊
HapusMulai bertabur konflik..Kerenn
BalasHapusMakasih dah singgah, Mas Pical... 😊
Hapusssssttt...
BalasHapusirvan wes ta' kontak.
jarene wes beres tagihane.
😅😅😅
Hapus