* * *
“Pluk, nggak keberatan kalau kita mampir sebentar ke pameran properti?” tanya Irvan tiba-tiba, sambil tetap mengemudi mobil dengan serius.
“Di Kemayoran?” aku balik bertanya.
Ia mengangguk.
“Ayo!” senyumku.
“Nanti belanjanya di pasar swalayan saja, ya?”
“Oke!” aku mengacungkan jempol.
Pameran properti di Kemayoran itu cukup ramai pengunjung. Irvan menggandeng tanganku erat-erat ketika kami berkeliling. Beberapa brosur sudah ada di tangannya.
“Kamu lebih suka rumah atau apartemen?”
Pertanyaan Irvan itu membuatku tersedak air minum botolan yang tengah kuteguk. Tangan Irvan langsung mengelus punggungku. Setelah mengatur napas, aku pun menjawabnya, “Perlu dilihat dulu plus-minusnya, Mas.”
Irvan manggut-manggut sambil mengamati beberapa brosur yang dipegangnya.
“Apartemen itu sepertinya bagus buat sementara,” gumamnya dengan wajah serius. “Buat kita berdua. Tapi nanti kalau punya anak, kayaknya bakal sempit. Mau nggak mau harus cari tempat tinggal yang lebih besar. Bagaimana?”
Aku kehilangan kata.
Aku kehilangan kata.
“Apa mau membangun rumah saja?” gumamnya lagi. “Kita beli tanah kavlingan?”
“Hm... Kita pikirkan dulu, Mas. Pikir baik-baik, biar nggak menyesal,” jawabku, akhirnya.
Irvan menatapku. Tersenyum. Mengangguk.
* * *
Malam sudah menghening di sekitarku. Aku berbaring dengan mata masih bulat menatap langit-langit kamar. Dan pikiranku hanya terfokus pada satu nama. Irvan.
Makin banyak potongan puzzle tentang diri Irvan yang kutemukan. Makin memberikan gambaran mendekati lengkap sosok Irvan yang sesungguhnya. Ia bertanggung jawab, pekerja keras, pemimpin yang baik, cerdas, jujur, baik hati, mampu memberikan rasa aman di hati, cukup serius menjalani hidup, dewasa walaupun sesekali ia seolah seperti anak kecil yang masih ingin dimanja, sabar walaupun pernah ngambek juga.
Rumah... Ia mulai memikirkan 'rumah' dan kata ‘kita’. Juga tentang ‘anak’. Hm...
Sambil berkeliling dan berbelanja siang tadi ia bercerita, bahwa ia sama sekali tidak perlu mengembalikan pinjaman modal restoran yang sejak beberapa waktu lalu sudah diambil alih Pak Banyu. Itu modal yang diberikan Pak Banyu bagi Irvan untuk dikelola dan dikembangkan.
Sejauh ini hasilnya lumayan. Irvan membagi keuntungan bersih yang diterimanya jadi tiga bagian. Satu bagian untuk kehidupannya sehari-hari – yang juga masih sisa banyak untuk ditabung, satu bagian untuk cadangan dana bagi kebutuhan restoran, dan satu bagian lagi untuk investasi. Sedangkan honor dari acara televisi langsung ia masukkan rekening tabungan.
“Mama menyarankan agar investasinya berbentuk emas batangan, Pluk,” jelasnya. “Dan aku menyetujuinya. Aku sudah mulai membeli beberapa batang kecil-kecilan dan kusimpan di safe deposit box di bank. Sewaktu-waktu aku butuh, masih bisa dilepas. Tapi aku berusaha agar investasi itu terjaga untuk jangka panjang.”
Kebutuhan sehari-harinya tidak terlalu banyak. Jadi ia bermaksud untuk menggunakan sisa uang itu untuk mencicil kepemilikan berupa rumah, apartemen, atau kavling tanah. Untuk kami nanti.
Kuhela napas panjang. Sampai saat ini aku juga masih punya tabungan. Tidak terlalu banyak. Gajiku masih belum menjanjikan walaupun sedikit di atas rata-rata. Belum juga satu tahun aku bekerja.
Soal rumah, apartemen, atau kavling tanah itu, kami belum membicarakannya lagi. Tertutup semangatku untuk belajar memasak di bawah bimbingan Irvan. Sore tadi hasilnya sangat memuaskan. Sup kimlo yang kubuat, wangi dan rasanya sempurna. Orang-orang serumah makan dengan lahap. Membuatku bersemangat untuk memasak menu yang lain saat punya waktu senggang nanti.
Aku menguap, tapi mataku masih juga bulat. Kuputuskan untuk bangun lagi dan membuka laptopku. Kutuliskan apa yang terjadi seharian tadi dalam bentuk email yang kutujukan pada Papa dan Mama melalui alamat email Papa. Setelah selesai dan email itu terkirim, mataku memberat dan rasa mengantuk begitu kuat menyerangku. Tak butuh waktu lama bagiku untuk terbang ke alam mimpi.
* * *
Senin menjelang siang seusai meeting, Om Nor memanggilku dan Mas Hasto ke ruang kantornya. Wajah Om Nor tampak biasa-biasa saja. Tampaknya pemanggilan ini bukan karena ada salah satu di antara kami atau justru kami berdua yang melakukan kesalahan.
“Duduk, Tok, Pluk,” Om Nor berjalan dari arah mejanya menuju ke sofa.
Mas Hasto dan aku bertatapan sejenak sebelum mengikuti langkah Om Nor. Setelah basa-basi sejenak, Om Nor pun mengungkapkan maksudnya memanggil kami.
“Cempluk kemajuannya pesat di sini,” ujar Om Nor sambil mengacungkan jempolnya. “Di antara semua cucu Eyang yang sudah masuk ke sini, baru Cempluk yang bersedia menyelesaikan tugas yang bisa dikerjakan sambil liburan. Bahkan aku pun belum pernah melakukan itu.”
Aku nyengir lebar.
“Hasto,” tatapan Om Nor beralih pada Mas Hasto, “tampaknya akan kutarik dari sini dan kualihkan ke Insurance. Insurance sedang butuh orang seteliti Hasto. Bukan berarti Hasto nggak ada kemajuan. Tapi tampaknya lebih cocok di sana. Dan Cempluk, sudah siap untuk dilepas sendirian di sini.”
Mas Hasto dan aku saling menatap. Berarti aku akan kehilangan teman untuk ngerumpi saat makan siang. Tapi kalau big boss sudah memutuskan, kami bisa apa?
“Kamu kuarahkan untuk jadi pemimpin di sini, Pluk,” Om Nor kembali menatapku. “Dalam waktu dekat ini belum. Tapi melihat bagaimana kerasnya kamu belajar, bagaimana hasil yang kamu tunjukkan, aku yakin waktunya tidak lama lagi. Heddy dan Adnan sudah tahu kelak akan ada di mana posisimu. Heddy sudah memahami kinerjamu. Dia menilaimu sangat posistif dan sangat bisa diajak bekerja sama. Adnan, dia belum begitu paham. Karena itu, mulai minggu depan kamu ada di bawah pengawasan Adnan. Dan Hasto pindah ke Insurance.”
Mas Hasto dan aku hanya bisa mengangguk.
* * *
Saat makan siang, kami duduk semeja dengan Pak Adnan dan Pak Heddy di kantin. Mas Hasto menceritakan tentang nasib kami selanjutnya. Keduanya manggut-manggut. Pak Adnan kemudian menanggapi.
“Pada intinya, saat masuk ke sebuah perusahaan keluarga, kami semua memahami bahwa akan ada posisi tertinggi yang tidak akan bisa kami capai. Posisi yang akan dipegang oleh keluarga pemilik perusahaan. Adakalanya kami khawatir nantinya tidak akan mendapatkan pemimpin yang tepat. Tapi kami sudah melihat sendiri bagaimana cara Mas Hasto dan Mbak Riri bekerja. Kami tidak khawatir lagi, karena Mas dan Mbak adalah orang-orang terbaik yang dimiliki keluarga Eternal. Saya pribadi siap untuk menjadi apa saja di bawah kendali Mbak Riri nantinya. Kalau menurut Pak Norman Mbak Riri adalah yang terbaik, maka kecil kemungkinan keputusan Pak Norman salah. Saya percaya Mbak Riri mampu.”
Sama sekali tidak ada nada menjilat dalam suara Pak Adnan. Dan Pak Heddy mengamini semua ucapan Pak Adnan. Iklim dalam Eternal adalah kekeluargaan yang sangat kental walaupun tetap berada di bawah koridor profesionalitas. Rasa aman dan nyaman bagi semua adalah sesuatu yang sudah digariskan dengan sedemikian tegas oleh Kakung sebagai pendiri Eternal. Tidak boleh dibelokkan dengan cara apa pun. Garis itu pula yang harus diikuti oleh semua keturunan Kakung yang ada di dalam Eternal, tanpa terkecuali.
Dan kepercayaan adalah sesuatu hal yang mudah untuk diperoleh, tapi cukup sulit untuk dipertahankan. Modal kepercayaan sudah aku peroleh. Dari Om Nor, Pak Adnan, Pak Heddy, dan mungkin sebagian besar staf dan karyawan dalam Eternal Rubberplast. Tinggal bagaimana aku nanti mempertahankan kepercayaan itu dengan sebaik-baiknya. Sampai di titik ini, tidak ada lagi kesempatan bagiku untuk mundur.
Jadi, aku harus bisa.
* * *
Aku baru sempat membuka email balasan dari Papa seusai makan siang, sebelum aku mulai lagi menyelesaikan pekerjaanku. Pelan, aku membacanya. Berusaha memahami semuanya yang tersirat dalam email Papa.
Pluk, Mama dan Papa senang kamu sepertinya sudah menemukan orang yang bisa menjadi pendampingmu seumur hidup. Orang yang bisa melangkah bersamamu tanpa menimbulkan ketimpangan.
Soal properti, sebelum telanjur, bagaimana kalau kalian menabung dulu untuk membangun rumah yang kalian inginkan? Mama punya tiga kavling tanah di Pondok Indah. Itu milik pribadi Mama, berasal dari warisan Opa-Oma. Mama memang sengaja membeli itu untuk kalian bertiga. Luasnya hampir sama, letaknya juga berdekatan. Soal membangunnya, itu nanti urusan kalian. Kalau kamu dan Irvan cocok dengan lokasinya, kalian tidak perlu membeli tanah lagi. Kalian bisa membangun rumah yang kalian impikan di sana dengan lebih leluasa.
Kamu bisa minta tolong Mas Priyo untuk membuat rancangannya. Dia pasti mau membantu. Coba bilang dulu sama Mbak Witra. Soal pembangunannya nanti, serahkan saja pada Om Bimo. Dia pasti akan memberikan yang terbaik.
Bicarakan dulu semuanya dengan Irvan, ya, Pluk. Papa pikir waktu kalian masih cukup panjang. Usia kalian masih muda. Tapi Papa salut dengan pemikiran Irvan. Dia sudah berpikir tentang masa depan. Kamu beruntung mendapatkannya. Jangan sia-siakan apa yang sudah kamu peroleh. Rawatlah, pertahankanlah, dan syukurilah.
Kabari Mama dan Papa perkembangannya, ya? Oh, ya, soal lokasi tanah di Pondok Indah, Mama menitipkan sertifikatnya pada Kakung dan Uti. Coba tanyakan. Kamu dan Irvan lihat dulu lokasinya.
Jaga diri baik-baik, ya, Pluk. Peluk cium dari Mama dan Papa.
Salam,
Pippy dan Wirahadi Haryanto.
Tak terasa airmataku meleleh setelah membaca email itu. Betapa luar biasanya semua yang boleh kumiliki saat ini. Aku menatap ke luar jendela.
Ada banyak rencana. Ada banyak mimpi untuk masa depan. Semoga aku bisa meraihnya satu per satu. Bersama Irvan.
* * *
Catatan :
Sudah hadir tayangan [Bukan Fiksi] Liburan Miss Cempluk Dalam Peta dan Gambar. Kalau berkenan, mampir yaaa...
Makasiiih...
Mbak, hebat bangeet. Udah nyampe Spanyol ceritanya, topbgt. Ngomentarinnya jarang2, bacanya sering. ,.,@&) dasarnya lemas = terbuai cerita ampe klepek klepek?¥)(;/. Semangat 45 ya mbak, apik tenan iki.......
BalasHapusHehehe... Ngayale kebablasen, jadi ceritanya ngomyang ke mana-mana 😳
Hapuswow...
BalasHapusasli aku nyesel dah putus sama si irvan...
apalagi waktu itu tantenya udah terang-terangan menyayangkan gak jadi besanan sama ibuku...
#ngomyang
Glodaaak... 😋
Hapusgood post mbak,
BalasHapusMakasih mampirnya, Pak Subur... 😊
HapusHaduuuuu pean maeme opo mb Liiiis iso sektie ngene ????
BalasHapusMasio wis ngerti ntik Irvan isa nikah beneran kambek Cempluk tapi critae ini garai kejang" soro.
Heibad wis !!!!
Ngremus sempronge lampu teplok, Niiit... 😝😝😝
Hapus