Sebelumnya
* * *
Dua Puluh Tiga
Irvan menatapku. Lekat. Dalam. Menunda menyuapkan sesendok bakso Arema ke dalam mulutnya. Beberapa detik kemudian dihelanya napas panjang.
“Tapi menyediakan rumah buat kita itu tugasku, Pluk,” tukasnya, halus. “Setidaknya dari dulu prinsipku seperti itu.”
“Iya, aku tahu,” anggukku. “Jadi sediakanlah rumah itu. Di atas tanahku.”
Ia masih menatapku. Entah berbagai pikiran apa berkecamuk dalam benaknya.
“Mas,” ucapku kemudian, berusaha membujuk, “toh, nanti adanya itu kita, bukan lagi kamu dan aku. Mama memang menyediakan tanah itu untuk kami semua, anak-anaknya. Satu orang satu kavling. Hanya tanah, belum bisa lebih. Itu pun buatku sudah besar sekali artinya.”
“Iya, aku paham,” angguknya. Masih terlihat belum lepas. “Dan kamu sudah sering merasakan tidak enaknya pindah-pindah rumah, pindah-pindah negara.” tangannya terulur. Membelai pipiku. “Jadi setidaknya, kita harus mantap di satu tempat nyaman yang kita sebut rumah. Tempat kita pulang dan berkumpul setiap hari. Begitu, kan?”
Aku mengangguk.
“Ya,” senyumnya. “Aku benar-benar paham kali ini.”
Aku menghela napas lega. Kugenggam tangannya yang tadi menempel di pipiku.
“Lagipula, kita punya banyak waktu untuk bersiap,” kutatap matanya. “Setelah dua pernikahan di keluarga Mas Irvan, barulah kita.”
“Hm...,” Irvan mengulum senyum. Matanya berbinar. “Minimal dua tahun lagi. Tahun ini Mbak Erina. Tahun depan, aku dengar bocorannya, kelihatannya Mbak Arsita akan menyusul. Tapi...”
Aku mengerutkan kening.
“Dua tahun itu cepat, ya?” desahnya. “Apa uangku cukup? Pikirku kemarin, kalau beli rumah yang sudah jadi secara kredit, aku bisa mencicilnya tiap bulan. Kalau membangun rumah, kan, hitungannya lain.”
“Mas...,” kutepuk lembut punggung tangannya. “Pernah dengar konsep rumah tumbuh, nggak? Dibangun dulu yang pokok, beberapa ruangan. Baru nanti dikembangkan sesuai dengan dana yang kita miliki.”
“Astaga...,” gumamnya sambil menepuk kening. ”Kenapa nggak terpikir seperti itu, ya? Kamu benar, Pluk!”
Aku tersenyum lebar. “Jadi, kapan kita bisa melihat-lihat tanah kavling itu?”
“Terserah kamu. Aku sudah agak longgar sekarang. Teddy sudah bisa kulepas sendiri menangani anak-anak. Kapan saja kamu mau, ayo!”
Aku menepukkan kedua telapak tanganku dengan lega. Bakso di hadapan kami sudah mulai mendingin. Tapi tetap saja terasa lezatnya. Kutatap Irvan sambil menyuapkan sesendok bakso ke dalam mulutku.
Mungkin orang lain boleh bilang bahwa berdebat itu bisa jadi bumbu pemanis sebuah hubungan. Tapi aku melihatnya dari sisi yang lain. Kalau bisa berusaha untuk mau saling mendengar, saling mengerti, dan saling memahami, kenapa juga harus membuat suatu masalah jadi ledakan yang tidak perlu?
Dan sejauh ini aku merasa cukup nyaman dengan cara kami berinteraksi. Irvan mampu memberi ketenangan yang kubutuhkan. Terkadang pekerjaan memberikan tekanan yang ‘lebih’. Kehadiran Irvan bisa lebih mencerahkan hari-hariku.
“Dipandang dari sudut mana pun, aku memang tetap keren, kok, Pluk,” celetuknya kalem.
“Hah?” aku sedikit tersentak. “Maksudnya?”
“Nah, itu, kamu pandangi aku terus. Baru jatuh cinta sekarang? Telaaat!”
Seketika tawaku berderai mendengar nada kocak dalam ucapan Irvan. Kucubit punggung tangannya dengan gemas. Ia pun tergelak.
* * *
Acara pernikahan Mbak Erina dengan Mas Kelvin menjadi ajang resmi untuk memperkenalkan Mas Deva dan aku sebagai calon anggota keluarga besar Pak Banyu dan Bu Mawarni. Pada kesempatan itu juga Bu Mawarni memperkenalkan aku sebagai putri Papa pada Pak Anto dan Bu Viska, bersama pasangan mereka masing-masing.
“Wah, padahal kita dulu pernah bercanda mau besanan, ya, Nik,” ucap Bu Viska sambil tertawa. “Gagal, deh!”
“Hahaha... Anakmu cuma satu, laki-laki, masih kuliah pula,” Bu Mawarni menyambut canda itu dengan antusias.
“Nasib telat punya anak,” Bu Viska meringis.
“Masih kuliah, tapi sudah punya pacar,” sergah Pak Anto, tertawa pula.
“Lho, kok, kamu tahu?” mata Bu Viska membulat menatap Pak Anto.
“Ya, tahulah... Wong pacar anak tunggalmu itu anak bungsuku,” jawab Pak Anto dengan tawa lebih lebar.
“Serius?” Bu Viska ternganga.
“Tanya saja sama anakmu.”
“Hahaha... Aku besanan sama Wira, kalian berdua ada kemungkinan nanti besanan juga,” Bu Mawarni makin tergelak. “Ini menarik!”
“Sayang Wira lagi nggak ada di sini,” gumam Pak Anto sambil menatapku. “Sekarang penempatannya di mana?”
“Spanyol, Pak,” jawabku. “Tapi pertengahan tahun depan kemungkinan besar kembali ke sini.”
“Adik-adik Riri masih ada yang ikut di sana?”
Aku menggeleng. “Nggak, Pak. Yang satu di Chicago, satu lagi di Singapura.”
“Riri ini lama di Aussie,” sahut Bu Mawarni. “Irvan juga. Tapi mereka ketemunya baru di sini.”
“Kalau jodoh, nggak akan ke mana, Nik,” timpal Bu Viska.
Irvan kulihat senyum-senyum saja menikmati pembicaraan itu. Iseng dia menggelitik telapak tanganku yang ada dalam genggamannya. Aku cuma bisa nyengir tanpa bisa membalas.
Awas kamu, ya!
* * *
Aku duduk dengan berdebar di hadapan Mas Priyo. Dua hari yang lalu kekasih Mbak Witra ini meneleponku. Mengatakan bahwa draft rancangan bakal rumahku dan Irvan sudah jadi. Beberapa minggu lalu kami memang sempat bertemu bertiga di sini, di Godhong Gedhang, untuk membicarakan keinginan Irvan atas rancangan rumah itu.
Dan sore ini, kami kembali bertemu untuk melihat hasil rancangan Mas Priyo. Sejenak kemudian aku dan Mas Priyo berbincang ringan sambil menunggu Irvan selesai mandi, sambil Mas Priyo menyiapkan laptopnya pula. Wah, seperti apa jadinya, ya?
“Mas Priyo jadinya menunggu Mbak Witra selesai dinas? Baru lamaran?” tanyaku, iseng.
“Iya, Ri,” Mas Priyo mengangguk. “Masih banyak yang harus disiapkan. Terutama dari aku sendiri. Jujur, aku nggak ingin seperti Mas Gatot. Jadi aku harus mantap di karir dulu, baru menikah.”
“Mbak Witra paham itu, kok, Mas,” senyumku.
“Iya, Witra orangnya santai. Nggak neko-neko. Aku juga tenang, Ri, punya calon pasangan seperti Witra.”
Aku manggut-manggut.
“Eh, Ri, ini beneran, lho, nggak usah bayar,” ujar Mas Priyo kemudian. “Kapan itu Irvan ngeyel tanya tarifnya berapa bikin draft kayak gini.”
“Sebenarnya begini, Mas,” jelasku. “Kami ini maunya profesional. Iya, katakanlah kita saudara. Makanya daripada kami repot-repot cari arsitek lain, makanya lari ke Mas Priyo. Mas Irvan juga dari awal sudah nggak mau gratis. Lagipula Mas Priyo sudah sedia waktu, pikiran, tenaga untuk mengerjakan ini. Itu ada harganya juga, kan, Mas.”
“Aduh...,” desah Mas Priyo. “Jangan, deh, Ri. Beneran ini aku senang sekali kalian mau percaya sama aku. Lagipula...”
“Selamat sore...”
Kami berdua menoleh. Irvan muncul dengan wajah segar. Ia kemudian menyalami Mas Priyo dan mengecup ringan puncak kepalaku. Seperti biasanya.
“Maaf, lama,” ucapnya sambil duduk di sebelahku. “Ri, ini bagaimana, kok, Mas Priyo cuma disediakan minuman saja?” tegurnya halus.
“Nanti saja, Van,” Mas Priyo tertawa ringan. “Tadi Riri sudah menawari. Aku bilang nanti saja. Kita bereskan ini dulu.”
“Oh...”
Tak menunggu lama, kami segera terlibat pembicaraan yang asyik mengenai rancangan awal rumah kami. Mas Priyo menerjemahkan dengan tepat keinginan kami soal konsep rumah tumbuh dengan desain minimalis dan hijau.
Pada awalnya, aku sempat melongo ketika melihat sertifikat tanah yang ditunjukkan Kakung dan Uti kepadaku. Kukira kavling-kavling milik Mama luasnya hanya 200 – 300 meter persegi saja. Tapi ternyata luasnya 600, 620, dan 700 meter persegi. Irvan juga sempat ternganga ketika aku mengatakan padanya. Sempat akan mundur lagi, tapi Uti turun tangan.
“Van,” ucap Uti, lembut, “Uti rasa nggak ada yang salah kalau kamu bangun rumah di atas tanah milik Cempluk. Bukan karena kamu tidak mau dan tidak mampu membeli rumah jadi. Tapi ini demi kepraktisan, Van. Tanah sudah ada, lokasinya strategis, tinggal membangun, modelnya bisa sesuai keinginan. Kalau kelak kamu kelebihan dana, bisa kamu beli rumah atau tanah lagi untuk investasi. Pernikahan itu hakekatnya menyatukan dua orang, kamu dan Riri. Selanjutnya hanya akan ada kalian, bukan kamu saja, atau Riri saja.”
Dan Irvan pun luluh kembali. Membuatku lega setengah mati.
Setelah menimbang-nimbang, akhirnya aku sengaja memilih kavling yang paling kecil di antara tiga kavling yang dimiliki Mama. Luasnya 600 meter persegi, berukuran 20 x 30 meter. Lebih dari cukup untuk mewujudkan impian kami.
Pada awalnya, bagian yang akan utuh dibangun adalah ruang tamu yang menyatu dengan ruang keluarga, dua kamar tidur, satu kamar mandi, dapur luas yang menyatu dengan ruang makan, dan garasi. Ada teras depan, samping, dan belakang.
“Belakangnya masih cukup buat kolam renang suatu saat nanti,” senyum Mas Priyo. “Pokoknya sangat memenuhi syarat untuk konsep rumah hijau. Walaupun nanti ada penambahan di sana-sini, tapi tetap ada ruang terbuka yang luas dan bisa menerangi rumah dengan maksimal saat siang hari. Sirkulasi udaranya juga tetap bebas.”
Irvan tampaknya sangat puas dengan keseluruhan desain yang dikerjakan Mas Priyo. Ketika ia menanyakan kembali soal pembayaran, Mas Priyo menjawab dengan ringkas, “Promosikan saja pada teman-teman kalian. Itu sudah lebih dari cukup.”
Hm... Solusi yang sama-sama enak, kupikir. Dan pertemuan itu kami tutup dengan makan malam bersama sambil mengobrol santai tentang banyak hal.
* * *
good post mbak, nulis cerita ini sudah berapa buku yang dibaca mbak untuk referensi ( buku ilmiah atau mbah Google) he he, karena cerita ini sangat lengkap dan luar biasa
BalasHapusHehehe... Nggak ngitung, Pak. Bikin puyeng sendiri 😁
HapusSipp.
BalasHapusMakasih singgahnya, Mas Pical... 😊
HapusWaduuuu baru sempet moco dino iki mb Lis.
BalasHapusNgrapel wis ka .......
Yo'iii... 👌
Hapus