Kamis, 18 Agustus 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #24







* * *


Dua Puluh Empat


“Nanti meeting-mu jam berapa, Ma?”

Aku menoleh mendengar suara lirih Irvan. Rupanya ia benar-benar tak mau membangunkan Arva yang telah tertidur lelap dalam pelukanku. Kenyang setelah menyusu.

“Jam setengah dua,” jawabku. Berbisik pula. “Tapi jam dua belas aku harus berangkat, Pa. Takut macet.”

Irvan mengacungkan jempol. “Aku akan pulang jam sebelas. Mama nggak usah masak.”

Aku mengangguk sambil tersenyum. Ia kemudian mencium pipiku dan pipi Arva sebelum pergi.

Beginilah kehidupan kami sekarang. Kami berdua mengurus Arva tanpa menggunakan jasa pengasuh profesional. Bik Desi dikirim oleh Uti ke rumahku untuk menyelesaikan urusan seterika dua kali seminggu. Selebihnya, Irvan dan aku yang menyelesaikan semua urusan rumah, terutama mengurus Arva yang kini berusia tiga bulan.

Aku sendiri sudah mulai aktif bekerja sejak sebulan lalu. Dengan jadwal yang sama sekali berubah dari semula. Jadwalku kini jauh lebih fleksibel. Walaupun sedang berada di rumah, tetap bisa mengontrol operasional Eternal Rubberplast dengan baik.

Kalau aku harus ke kantor, maka Irvan akan di rumah bersama Arva. Begitu pula sebaliknya. Kalau jadwalku dan Irvan bentrok tanpa bisa ditawar lagi, maka bisa dipastikan Irvan-lah yang akan membawa Arva ke Godhong Gedhang karena ruangan kantornya di sana sudah berubah 70% jadi kamar bayi yang nyaman. Plus berbekal ASI perahan yang bisa diambilnya dari dalam freezer. Irvan sudah cukup terampil menyiapkannya hingga sangat layak untuk diberikan pada Arva.

Dari awal memang Irvan dan aku sudah berkomitmen untuk tidak mengandalkan mamaku atau mamanya untuk mengurus Arva, walaupun aku tahu dengan senang hati mereka akan melakukannya. Apalagi Mama, karena Arva adalah cucu pertamanya. Tapi selama Papa ditempatkan di tanah air, Mama juga sibuk karena kembali aktif menjadi dokter spesialis anak di RS Eternal Husada dan rumah bersalin yang dikelola Tante Laras. Di samping itu, Mama bersama mama Irvan mendirikan yayasan sosial yang dikelola bersama.

Pernikahanku dan Irvan yang berlangsung tiga belas bulan yang lalu, setahun setelah aku dipinangnya secara resmi, menjadi perekat kedua keluarga besar kami. Kakek Irvan dari mamanya ternyata adalah teman sekolah Kakung dulu. Sayangnya nenek Irvan sudah wafat lima tahun yang lalu. Sedangkan kedua orang tua Pak Banyu pun sudah tiada belasan tahun sebelumnya.

Merupakan keinginan keluarga besar pula agar pernikahanku dan Irvan diadakan secara besar-besaran. Apalagi Papa dan Mama pun mengamininya dengan wajah berseri-seri karena aku satu-satunya putri mereka. Dalam adat Jawa, maka hanya sekali ini saja Papa dan Mama akan mantu, menikahkan anak perempuan mereka.

Dan acara ngundhuh mantu, yang diwujudkan dengan meriah oleh keluarga Irvan berlangsung seminggu setelah pernikahan kami. Sesudahnya kami menyepi berdua di sebuah rumah peristirahatan milik keluarga Irvan di Ubud selama dua minggu penuh.

Kemudian tepat pada bulan kesepuluh setelah acara pernikahan kami, lahirlah Arvandite Putra Wibowo. Gabungan dari Arinda-Irvan-Radite. Matahari Arinda dan Irvan. Jagoan kecil yang ayahnya berhasil mengakhiri masa lajangku dengan sempurna. Sehingga aku bukan lagi Miss Cempluk, tapi menjadi Mak Cempluk. Nama baruku itulah yang kemudian digunakan Irvan untuk nama jaringan warteg murah meriahnya, yang saat ini sudah bercokol di empat komplek perkantoran di seluruh penjuru Jakarta.

* * *

Geliat halus Arva menyadarkan aku dari lamunan yang telah menyeretku sesaat. Aku menunduk, menatap wajah bulat Irvan junior yang tampak nyaman dalam pelukanku. Sudah saatnya jadi Upik Abu dengan setumpuk baju kotor yang harus kucuci. Pelan, kupindahkan Arva ke dalam stroller dan kudorong ke ‘kantor’-ku di belakang.

Pada teras yang menghadap ke taman di bagian belakang rumah, tersedia peralatan tempurku. Mesin cuci, dan meja yang biasa kupakai menyelesaikan pekerjaan sembari mencuci dan menjemur baju. Stroller Arva sengaja kuletakkan sedekat mungkin denganku agar aku bisa menjaganya dengan lebih baik.

Setelah menyetel mesin cuci, aku pun duduk dan mulai menyalakan laptopku. Sambil menunggu loading, kutatap wajah Arva. Seringkali kujumpai ia tersenyum dalam tidurnya. Membuatku gemas dan tak bisa lagi menahan diri untuk tidak menciumi pipi nyempluk-nya yang wangi.

Menjelang pukul sepuluh pagi, pekerjaanku sudah selesai semuanya. Arva belum bangun. Kudorong stroller Arva ke kamarku. Lalu aku mengunci pintu kamar dan mandi lagi dengan pintu kamar mandi dalam kamar itu terbuka lebar. Aku benar-benar tak mau sedetik pun lengah dalam mengawasi Arva.

Dan ia terbangun ketika aku sudah selesai berpakaian. Matanya yang bulat bening seakan mencariku. Ketika ia menemukanku, ada cahaya indah yang berlompatan dari matanya. Ia terkekeh kecil ketika aku menggelitiki dan mengajaknya bicara.

Aku meraih Arva dan mengganti diaper-nya. Tepat ketika ia sudah kembali rapi, terdengar suara klakson ringan dari arah garasi. Beberapa saat kemudian ia sudah berpindah ke tangan Irvan yang langsung menciuminya, seolah sudah lima tahun tidak bertemu. Irvan menggendong Arva sambil melangkah ke dapur. Sebelum Irvan memulai aksinya seperti biasa, Arva diserahkannya kembali padaku.

Kembali kuciumi dan kucandai Arva sambil duduk di depan meja makan kami. Dan koki kesayanganku pun mulai sibuk bekerja. Kalau sedang ingin chinese food, maka akulah andalan Irvan untuk menyiapkannya. Dan hari ini menu kami adalah ayam bakar dan lalapan segar. Sudah tentu untuk urusan menu yang satu ini, ia jauh lebih piawai daripada aku.

Aroma sedap ayam ungkep yang bertemu dengan bara api mulai menggelitik syaraf laparku. Kutatap Irvan, yang juga tengah menatapku dengan senyumnya. Dan aku selalu merasa hangat ketika berdekatan dengan keduanya.

Irvan dan Arva.

Pusat kehidupanku. Kini dan nanti.

* * * * *

T.A.M.A.T


Catatan :

FiksiLizz akan libur dulu beberapa hari. Direncanakan akan mulai aktif lagi Senin, 29 Agustus 2016. Selama libur, tidak menutup kemungkinan ada tayangan fiksi non-cerbung.
Terima kasiiih...

18 komentar:

  1. good post mbak, kalau jadi buku beritahu saya ya mbak Lis

    BalasHapus
  2. Udah tamat Miss Cempluk-nya, makasih udah nulis cerbung keren ini, ditunggu cerbung seru selanjutnya ^^

    BalasHapus
  3. Tamat karena udah nggak jadi Miss lagi ya. Ternyata bikin fiksi gak semudah ekspektasi pembaca.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasih pengertiannya ya, Nisa... 😘

      Hapus
    2. He he he. Sama-sama. Saya coba bikin fiksi kelas bawah aja susah buanget. Apalagi yang bisa bikin pembaca meleleh

      Hapus
    3. Latihan terus aja, Nis. Lebih banyak nulis kalo punya waktu senggang. Dengan banyak nulis, kemampuan kita diasah. Puisimu bagus-bagus lho.... Coba bikin cerita dari puisi itu 😉

      Hapus
  4. Terima kasih atas bacaan yg LUAR BIASA ini yaa mba Lizz...Tetap berkarya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Luarrr biasa ngelanturnya cerita ini, Mbak 😳

      Hapus
  5. Mbak lizz super sekali.. !
    Tq berrat mbak e...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Supeeerrr abal-abal ini, Mbak... 😳

      Hapus
  6. Sudah ending saja nih. Well done bu Lis. Saya suka ending yang manis seperti ini

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Makasih mampirnya, Mas Pical 😊

      Hapus
  7. Oooouch .....
    Episod endinge pendek tapi manise nendang !
    Aq sukaaaa !!!!

    BalasHapus
    Balasan
    1. Muakasiiih yo, Nit... 😘😘😘

      Hapus
  8. Wah keren, happy ending.
    Suwun bu liz, cerbung ini kadang bikin baper ups laper, masak & makan deeh. ������

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Makasih juga, Mbak Indah... 😘😘😘

      Hapus