Selasa, 09 Agustus 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #21-2







* * * 


Keesokan paginya kami ramai-ramai mengantar Papa berangkat bekerja. KBRI di Madrid terletak di Calle de Agastia. Jaraknya kurang lebih tujuh kilometer dari apartemen. Kali ini Papa membiarkan Dipa yang menyetir karena ia sudah terbiasa pegang setir kiri.

Van ini ternyata pinjaman, milik teman Papa sesama staf KBRI. Karena anak Papa dan Mama ‘banyak’, sedan yang biasa dipakai Papa dan Mama pastilah tidak bisa menampung kalau kami pergi berlima. Jadilah sementara ini sedan Papa dipakai teman Papa yang anaknya cuma satu dan masih SMP itu.

Jalanan di Madrid banyak yang hanya berlaku satu arah karena tidak terlalu lebar. Tapi kulihat jarang ada kemacetan karena transportasi umum di sini sangat bagus. Papa bercerita kalau sering berangkat dan pulang kerja naik metro kalau mobil mau dipakai Mama untuk beraktivitas. Mama sendiri sebetulnya juga lebih senang menggunakan metro karena tidak repot.

Setelah mampir sejenak di KBRI, hanya untuk say hello, Mama pun membawa kami pulang. Tapi tidak langsung pulang juga, karena mumpung ada beberapa tenaga ‘kuli’, Mama bermaksud untuk belanja lebih dulu. Memberi makan tiga mulut tambahan tentunya jauh lebih ribet daripada menyediakan makan untuk berdua.

Kali ini Mama yang menyetir karena rasanya lebih repot kalau harus memberi arahan pada Dipa yang hanya berbekal biasa pegang setir kiri tapi benar-benar buta jalur di Madrid. Setelah keluar dari jalur jalan raya, kami pun masuk ke jalan-kalan sempit satu arah lagi, hingga sampai ke sebuah pasar swalayan berjaringan internasional.

Acara belanja berlangsung cukup cepat karena Mama saat ini punya tiga asisten yang tinggal tunggu perintah untuk ambil ini-itu dan mendorong troli. Satu troli masih kurang sehingga Rinnel terpaksa mengambil satu lagi troli. Dipa dan aku sempat saling menatap dengan geli melihat semangat Mama. Untung saja kulkas di apartemen cukup besar, hingga cukup untuk menyimpan semua bahan segar yang dibeli Mama.

“Memangnya nggak ada pasar dekat-dekat apartemen?” iseng aku bertanya pada Mama.

“Jauh. Mana bukanya jam sepuluh pagi.”

Aku melirik arlojiku. Menjelang pukul sembilan pagi, dan kami hampir selesai berbelanja di pasar swalayan yang buka 24 jam itu.

“Besoklah kalau ada waktu kita jalan ke sana,” senyum Mama. “Hari ini kita tunda dulu jalan-jalannya, ya? Kan, sore nanti mau ada tamu.”

Aku manggut-manggut.

* * *

Nyaris seharian ini pusat kegiatan kami tak jauh-jauh dari dapur. Dipa dan Rinnel sibuk menata bahan makanan yang harus disimpan ke lemari pendingin. Aku membantu Mama memasak minestrone untuk makan siang. Sup yang pembuatannya cukup praktis dan bisa mengenyangkan karena semua bahan makanan bisa masuk.

“Daging untuk steak-nya taruh di chiller saja, Dip,” ujar Mama. “Nanti setelah makan, Mama mau bumbui dulu untuk dipanggang nanti malam.”

Dipa mengacungkan jempolnya.

Seusai makan siang, Mama sibuk lagi membumbui daging sebelum disimpan kembali ke lemari pendingin. Dipa, Rinnel, dan aku duduk di sekitar meja makan. Sibuk menikmati kuaci yang tadi sempat disambar Rinnel dari rak pasar swalayan.

“Baju yang mau dipilih Gwen sudah kamu siapkan, Pluk?” Mama menatapku sekilas.

“Sudah,” anggukku. “Tapi benar-benar nggak sayang, Ma?”

Mama menggeleng. “Enggaklah, Pluk. Baju Mama masih banyak. Nanti kalau sekiranya butuh lagi, kan, tinggal hubungi Budhe Risa. Minta kiriman. Lagipula, sekalian promosikan Indonesia ke orang asing. Selain itu, kan, Papa dan Mama nggak sampai setahun lagi tinggal di sini.”

“Eh, Ma, rumah kita masih disewa, lho!” tiba-tiba aku teringat hal itu.

“Iya...,” Mama tersenyum. “Gampanglah nanti sewa apartemen dulu.”

“Paling juga nggak boleh sama Uti,” aku meringis. “Kamar di rumah masih banyak yang kosong.”

“Hehehe... Ya, nanti sambil dipikirlah.”

Lewat sedikit dari pukul lima sore, Papa pulang. Tak lama kemudian, Gwen muncul juga di apartemen. Kami menyambutnya dengan gembira.

Gwen ternyata seorang mahasiswa tingkat doktoral yang saat ini menjadi asisten profesor ekologi di UCLA. Ia datang ke Madrid untuk mengisi waktu libur musim panasnya. Ketika Mama mengeluarkan gaun-gaun batik warna-warni yang kubawa dari Indonesia, mata Gwen langsung membelalak dan mulutnya ternganga.

Katanya, semua indah. Terutama corak dan warnanya. Ia banyak bertanya tentang batik pada Mama yang menjawabnya dengan sabar.

“Sepertinya saya harus datang ke Indonesia tahun depan,” ujar Gwen dengan antusias.

“Datanglah, Gwen,” Mama mengangguk. “Kami akan pulang pertengahan tahun depan. Kalau kamu datang setelah itu, hubungi saja kami. Kami usahakan untuk membawamu ke tempat-tempat eksotik di negara kami.”

“Anda sangat baik, Mrs. Wirahadi,” Gwen mengerjapkan matanya. “Kalian semua sangat baik.”

Gwen akhirnya dengan malu-malu memilih dua di antara enam gaun batik baru milik Mama. Sebetulnya ia hanya mau memilih satu saja, tapi Mama memaksanya untuk mengambil satu lagi.

Dan kunjungan Gwen ditutup dengan acara makan malam yang berlangsung santai dan akrab. Gwen tampak antusias ketika tahu bahwa Dipa sedang menyelesaikan S1-nya di Chicago dan nanti akan langsung melanjutkannya ke S2.

“Saya akan kembali ke LA hari Jumat besok,” ucap Gwen. “Saya harap pada malam terakhir saya di sini, kalian semua bersedia saya undang untuk makan malam bersama. Nanti saya akan tentukan tempatnya. Besok akan saya kabari. Bukan makan malam mewah, hanya sekadar ucapan terima kasih saya atas kebaikan kalian semua.”

“Kami tunggu kabarnya, Gwen,” senyum Papa. “Senang sekalli bisa mengenalmu.”

So do I,” mata Gwen tampak berbinar.

* * *

Hari Selasa, masih juga kami enggan jauh-jauh dari Mama. Menempel saja pada Mama sepanjang hari di apartemen. Belum ingin ke mana-mana. Apalagi si bungsu kesayangan Mama yang cuma punya waktu seminggu di sini itu. Benar-benar tidak sesuai dengan badan tinggi besarnya. Membuat Dipa dan aku habis-habisan meledeknya.

Ketika Papa sudah sampai di rumah seusai kerja, ganti Papa yang ketempelan tiga makhluk sok imut yang kelihatan betul sedang haus kasih sayang. Alih-alih risih, Papa hanya tertawa saja melihat kelakuan kami.

Hari Rabu, Mama mulai menggiring kami ke luar apartemen. Yang tak boleh dilewatkan saat berkunjung ke Madrid adalah Museo del Prado. Bangunan museum bergaya neo klasik dengan enam pilar raksasa di bagian depan ini hampir membuatku pingsan karena kagum. Bagian dalamnya penuh dengan koleksi bernilai tinggi seperti lukisan, gambar, patung, dan dokumen bersejarah yang ditata dengan sangat apik. Mama sengaja tidak menyewa pemandu karena ingin menikmati apa yang ada di dalam museum ini dengan santai.

Kami habiskan waktu seharian itu di Museo del Prado. Benar-benar tak terasa karena segala sesuatu yang ada di dalamnya begitu mengesankan. Bahkan kami bisa menikmati makan siang di kafe di dalam museum, sebelum lanjut lagi ‘melahap habis’ semua pemandangan indah di dalam museum.

Kami sampai di apartemen menjelang pukul enam. Papa sudah pulang ketika kami datang. Sedang memanaskan ayam panggang jatah makan malam kami di dalam microwave. Aku sendiri senang sekali bisa menikmati Museo del Prado, walaupun terasa kurang lengkap karena Papa tidak berada bersama kami.

* * *

Keesokan harinya, Kamis, Mama menggiring kami bertiga untuk berkunjung ke Palacio Real, alias Istana Kerajaan Spanyol. Aku juga hampir pingsan seri kedua, karena saking indahnya tempat ini. Mama sengaja menyewa pemandu, sehingga kami bisa melihat hal-hal paling menarik di tempat ini. Taman-taman yang ada di dalamnya seperti keindahan dalam lukisan. Belum lagi kemegahan ruang tahta, keindahan perabot-perabot di dalamnya, dan koleksi baju zirah yang mengagumkan. Aku seolah dipaksa untuk membayangkan diri jadi putri negeri dongeng.

Kemarin Papa sudah mendapat kabar dari Gwen bahwa malam ini benar ia akan mengundang kami ke Restaurante Jota. Jadi, sebelum pukul empat sore, Mama sudah menggiring kami pulang. Kali ini, duluan kami sampai ke apartemen. Papa belum pulang.

“Jauh restonya?” tanya Rinnel sambil berbaring di sofa.

“Memangnya kenapa?” Mama tertawa.

“Aku capek. Kalau naik mobil aku ikut. Tapi kalau jalan kaki, mendingan aku di sini saja. Nggak apa-apa makan mi instan.”

“Anak manja!” Dipa menjitak lembut kepala Rinnel.

Mama terkekeh. “Tuh!” ujarnya di sela-sela tawa. “Kita engklek saja sudah sampai. Restonya ada di seberang situ. Lagipula, kan, Gwen penginapannya juga di dekat-dekat sini.”

“Horeee! Nggak jadi makan mi instan!” Rinnel langsung bersorak.

* * *

“Hari ini mau ke mana?” tanya Papa ketika kami sarapan keesokan paginya.

“Sepertinya nggak ke mana-mana,” jawab Mama sambil menyuapkan nasi goreng ke dalam mulut.

“Hm... Mumpung kita masih kumpul, Rinnel juga belum kembali ke Singapura, Papa sudah pesan tempat di Corral de la Moreria untuk malam ini.”

“Serius?” Mama terlonjak kaget.

“Iyaaa...,” senyum Papa.

Dipa, Rinnel, dan aku saling menatap. Heran melihat reaksi Mama. Apa istimewanya... Apa tadi? Aduh, namanya susah diucapkan.

“Apaan, sih?” Rinnel mengerutkan kening.

“Makan malam sambil menonton tari flamenco, kids!” seru Mama, nyaris histeris.

Hah? Flamenco? Wow! Whoaaa...!

Kali ini aku yang nyaris histeris.

* * *


8 komentar:

  1. Balasan
    1. Hehehe... Makasih, Mbak Bekti... 😘😘😘

      Hapus
  2. Good post mbak,nanti kalau ada kesempatan saya ke danau Toba aja ah, ke Spanyol kejauhan mbak Lis he he

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hihihi... Lha ini kan si Cempluk sekalian setor muka ke ortu 😉

      Hapus
  3. ......canteeeq......edisi tamasya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Makasiiih, Mbak Dewi... 😊😊😊

      Hapus
  4. Hadu mbaaaaaa ......
    Garai ngiler !
    Ini tempate koyoe real kabe yo ?
    Isok ae nulis gini mbaaaaa !
    Heibaaaad !!!!

    BalasHapus