Senin, 29 Agustus 2016

[Cerbung] Potpourri Di Sudut Hati #1-1








Satu


Kening Silvi langsung berkerut ketika menatap layar laptop di hadapannya. Direct message itu lain daripada yang lain. Bukan seperti yang biasa dibacanya. Bukan bertanya tentang harga, cara pembelian, stok barang, kode pemesanan, informasi nama dan alamat pembeli, dan segala hal yang berhubungan dengan isi Instagram mereka. Tapi...

“Non,” Silvi menggapaikan tangan ke arah Noni yang duduk di sebelahnya. “Coba kamu baca ini, deh...”

Noni segera menggeser kursinya ke arah Silvi. Silvi mengubah arah laptopnya hingga Noni dengan mudah bisa membaca isi pesan itu. Dan Noni hampir terjengkang karenanya. Jantungnya langsung berdebar tak keruan.

Pasti Mbak Mai bakalan marah besar!

Seketika hatinya menciut.

Mai sebetulnya adalah salah satu orang paling sabar yang pernah dikenalnya. Sekaligus paling teliti. Ketelitian itu pula yang ditekankan Mai pada Noni dan Silvi – dua karyawatinya di NitNit Jewelry, dan tiga karyawati lainnya di MM Wear. Ketelitian yang membawa NitNit Jewelry dan MM Wear menjadi online shop terpercaya dan terekomendasi karena belum pernah sekali pun mengecewakan para pelanggan.

Tapi sekarang?

Noni mendesah. Sekali lagi, dibacanya pesan itu.

‘Gimana sih NitNit Jewerly??? Saya pesan kalung dan liontin kok dikirimnya cincin??? Biasanya nggak pernah kayak gini loh!!! Pokoknya saya nggak mau tau ya! Saya maunya kalung dan liontin yang itu! Saya tunggu sampai akhir bulan ini. Kalo nggak beres, saya laporin ke polisi. Kasus penipuan. Sekalian saya share di sosmed. Yang saya transfer kan jauh lebih gede nilainya!’

Mati aku!

Noni meringis. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan saat ini adalah menghubungi pelanggan yang mengirimkan keluhan itu, dan satu per satu pelanggan lain yang perhiasan pesanannya dikirim pada hari yang sama. Dan itu mencapai 48 nama. 48 hubungan telepon.

Kalau tidak dimulai dari sekarang, habislah aku!

Noni buru-buru mengambil alih map data pengiriman yang sudah disodorkan Silvi, kemudian menggapai ponselnya.

* * *

Qiqi duduk dengan manis di samping Mai. Rasa-rasanya, tak ada yang perlu dikhawatirkan dengan raport semester ganjilnya. Sejak duduk di bangku kelas 2 SD ini, tak ada pelajaran sulit yang menghadangnya.

“Kira-kira, nilai raportmu bagus, nggak?”

Qiqi seketika menoleh mendengar bisikan itu. Diulasnya senyum manis.

“Kayaknya bagus, Ma,” ia berbisik pula.

Mai tersenyum lebar mendengarnya.

“Qiandra Revika...”

Mai segera berdiri begitu mendengar nama Qiqi dipanggil wali kelas. Digandengnya tangan kanan Qiqi sambil melangkah ke depan kelas. Ketika keduanya duduk di seberang meja, guru senior itu tersenyum lebar.

“Hm... Kira-kira raport Qiqi bagus nggak, ya...,” Bu Ridha mengedipkan sebelah mata.

Qiqi tersenyum malu-malu.

Tak perlu waktu lama untuk mengetahui bahwa nilai terendah pada raport Qiqi adalah angka 8 untuk Penjaskes dan Seni Budaya Dan Prakarya. Selebihnya? Mai boleh bernapas lega dan Qiqi tersenyum ceria karena taburan nilai 9 dan 10 bulat. Tak ada sistem ranking pada sekolah Qiqi. Tapi dengan senang hati Bu Ridha membocorkan bahwa nilai Qiqi tertinggi di kelasnya.

Setelah semuanya usai, Mai kembali menggandeng Qiqi sambil berjalan keluar dari dalam kelas. Beberapa orang tua murid lain yang kebetulan berpapasan dengan mereka menyapa dengan ramah dan kelihatan ikut bergembira dengan perolehan nilai Qiqi.

“Wah, Qiqi benar-benar hebat!”

“Hm... Jempolan betul deh, Qiqi!”

“Apa resepnya, sih, Jeng, punya anak cerdas seperti Qiqi?”

“Qi, minta hadiah yang keren sama Mama-lah...”

Dan masih banyak lagi. Pendeknya, membuat senyum Qiqi makin lebar dan wajah Mai makin cerah.

“Qi,” ucap Mai lembut ketika mereka sudah berada di dalam mobil, “nilai Qiqi bagus. Tetap jadi anak baik, ya, Qi? Nggak boleh sombong. Qiqi tetap harus bantu teman-teman semampu Qiqi.”

“Iya, Ma,” jawab Qiqi dengan manisnya.

Mai menepuk kepala Qiqi dengan lembut sebelum melajukan mobil.

* * *

Noni mengembuskan napasnya keras-keras ketika mengakhiri pembicaraannya dengan pelanggan lainnya yang ke-47. Semua sudah menerima barang sesuai pesanan, kecuali pelanggan di urutan ke-34.

“Aduh, Mbak... Saya nggak nge-check. Begitu saya buka bungkus luarnya, langsung saya berikan ke adik saya.”

“Maaf, Pak. Apakah bisa saya minta tolong pada Bapak untuk bertanya pada adik Bapak? Sekali lagi, maaf, Pak. Kesalahan kami sudah merepotkan Bapak.”

“Coba nanti saya tanyakan ke adik saya, ya, Mbak.”

Noni kemudian berkali-kali mengucapkan terima kasih sebelum menghubungi nama-nama yang tersisa. Ternyata kuncinya ada pada satu-satunya laki-laki yang memesan perhiasan dari NitNit Jewelry.

Semoga kalung dan liontin itu bisa kembali...

Noni hanya sanggup mengucapkan doa itu dalam hati.

Dan semoga bapak itu secepatnya memberi kabar...

Noni meneruskan pekerjaannya yang sempat terbengkalai. Hari ini ada 26 pesanan yang harus ia siapkan untuk dikirim ke pelanggan. Tentunya ia tak mau kecolongan lagi. Harus lebih teliti lagi. Sambil membayangkan apa yang akan dihadapinya nanti bila sang boss mengetahui kejadian itu.

“Kok, bisa salah kirim, sih, Non?” Silvi mengerutkan keningnya. Setahunya, orang kedua paling teliti setelah Mai di tempat ini adalah Noni.

Noni menggelengkan kepala dengan lesu. “Nggak tahu, Mbak.”

“Semoga bisa kembali, ya, Non?” ucap Silvi dengan tulus.

Noni mengangguk. Ia menatap Silvi kini.

“Kalau gagal?” bisiknya, nyaris tanpa suara.

“Ya...,” Silvi mengerjapkan mata, “Mbak Mai harus tahu.”

Noni menghela napas panjang. Entah untuk ke berapa kalinya sejak direct message itu masuk.

“Dan kurasa...,” Silvi tampak ragu-ragu. “Mbak Mai harus tahu hari ini juga. Kamu harus segera lapor Mbak Mai kalau dia datang nanti.”

Kepala Noni terasa pening seketika.

* * *

Mai membelokkan mobilnya masuk ke area parkir sebuah mall.

“Mau belanja, Ma?” celetuk Qiqi.

“Enggak...,” Mai mengulum senyum sambil sekilas melirik Qiqi. “Mama lapar. Ingin makan pizza. Qiqi mau, nggak?”

Tawa Qiqi langsung pecah. Pizza adalah salah satu makanan favoritnya. Sebetulnya mereka juga tidak jarang keluar makan pizza berdua. Tapi entah kenapa, kali ini momennya terasa lebih istimewa. Sepertinya karena raport bagus yang diterimanya beberapa puluh menit lalu.

Ternyata Mai tak langsung mengajak Qiqi ke resto pizza, melainkan berbelok dulu ke department store di lantai 3. Beberapa hari lalu Mai sudah mulai menyingkirkan baju-baju Qiqi yang kesempitan. Saatnya untuk membeli beberapa gantinya.

“Ini, sih, namanya belanja, Ma...,” gumam Qiqi.

Mai tertawa mendengarnya. “Belanja juga buat keperluan kamu, Qi. Sudah, sana, kamu pilih baju yang kamu mau.”

Qiqi segera sibuk memilih baju yang menarik hatinya. Mai membantunya dengan memberi pendapat mana yang terlihat lebih cocok untuk Qiqi. Sebetulnya tidak terlalu sulit. Kulit Qiqi yang bersih membuatnya cocok memakai baju berwarna apa saja. Juga wajahnya yang cantik dan imut. Membuatnya terlihat menarik dengan baju bermodel apa pun.

Beberapa potong baju aneka warna dan jenis sudah masuk ke kantong belanja. Mai pun segera menggiring Qiqi ke kasir. Setelah itu, barulah keduanya melangkah menuju ke resto pizza.

Setengah jam kemudian, Qiqi sudah tampak asyik melahap potongan pizza dengan nikmatnya. Begitu juga Mai. Mereka menghabiskan pizza berukuran cukup besar itu sambil mengobrol ini-itu. Mai mendengarkan segala celoteh Qiqi dengan sabar. Baginya, tak ada hal lain yang lebih indah daripada melihat segala keceriaan Qiqi seperti itu. Kendati masih juga ada bersit-bersit perasaan bersalah bermukim abadi dalam hatinya.

Selalu saja ada kata ‘seandainya...’. Kata yang sungguh-sungguh terlambat dan tak bisa membuat waktu bergulir kembali ke belakang. Kata yang hanya menimbulkan perasaan menyesal bila terus menuruti dan tidak menindasnya.

“Sebetulnya aku tadi ingin lihat-lihat boneka, lho, Ma.”

Kalimat Qiqi itu membuat Mai tersentak. Dikerjapkannya mata.

“Lho, kok, nggak jadi?”

“Takutnya Mama keburu lapar,” Qiqi meringis.

“Aduh, Qi...,” Mai menggelengkan kepala. “Nggak segitunya juga, ‘kaliii...”

Qiqi tertawa ringan.

“Berarti habis ini boleh?” mata bulat bening Qiqi menatap Mai. Penuh harap.

“Ya, bolehlah...,” Mai mengangguk mantap. “Tapi kita taruh belanjaan kita dulu di mobil, ya?”

Qiqi mengangguk dengan binar memenuhi wajahnya.

“Tapi lihat-lihat saja, kan?” nada suara Mai terdengar jahil. “Nggak beli?”

“Ng...,” raut wajah Qiqi langsung berubah. Jadi terlihat bimbang.

Mai tertawa melihatnya. Dan tawa itu menyadarkan Qiqi bahwa Mai sedang menggodanya.

“Mama, ah!” sungutnya, dengan bibir menahan senyum.

Bebungaan yang mekar berwarna-warni seketika terasa memenuhi hati Mai.

* * *

“Gimana ngomongnya, ya, Mbak?” Noni menyandarkan punggungnya dengan wajah pasrah.

“Tinggal ngomong saja, sih,” sahut Silvi dengan mata tetap menatap layar laptop. “Bilang juga kalau kamu sudah berusaha menghubungi customer yang lain. Yang penting, kan, kamu nggak lepas tangan. Tetap ada tanggung jawab menyelesaikan masalah.”

Noni tercenung.

Seandainya NitNit Jewelry tidak menjual perhiasan secara eksklusif...

Nilai tambah NitNit Jewelry di mata pelanggan adalah karena NitNit menjual hanya maksimal tiga buah saja per model. Itu pun dengan warna berbeda. Alias tidak ada kembarannya. Dan asal perhiasan koleksi NitNit bisa dari mana saja. Mai memiliki beberapa jaringan kerjasama untuk memperoleh perhiasan yang unik, eksklusif, dan bermutu tinggi, dengan harga yang pantas. Di samping itu, ada beberapa koleksi yang Mai membuatnya sendiri. Kebanyakan terbuat dari manik kayu dan kaca, batu alam, kristal Swarovski asli, dan mutiara.

Sebaliknya dengan MM Wear. Online shop yang satu ini berjalan di garis penjualan segala macam pakaian dalam berkualitas menengah dengan harga murah. Sesuai dengan namanya, MM, alias Murah Meriah. Sumbernya juga dari beberapa pemasok terpercaya yang dikontrol secara ketat oleh Mai.

Dan suara derum halus mobil Mai yang berhenti di carport membuat wajah Noni berubah jadi pucat pasi. Sang boss sudah datang.

* * *

Selanjutnya


Ilustrasi : www.marcatiyolil.com



Silakan intip juga dua cerpen yang nongol di sini saat libur tayangan cerbung :
1. Rumah Kayu Di Tengah Salju
2. Segenggam Langit Biru




Catatan :

Cerbung Potpourri Di Sudut Hati ini saya lanjutkan penulisan dan penayangannya di sini (blog FiksiLizz) dengan ijin penuh dari Mas Suhe (Adam Heins). Terima kasih, Mas Suhe... Terima kasih pula pada para pengunjung setia blog ini. Semoga hasilnya tidak mengecewakan dan utang baru ini bisa lunas dengan baik.

12 komentar:

  1. Mb Liiiissss aq koq deg"an mocoe yo ?
    Ketoke lebih gabiasa iki cerbunge.
    A.k.a warrrrrrbiyasah !
    Kemping gek kene wis ....

    BalasHapus
  2. baru bisa mampir. Apik, mbak! diteruske mawon hehe...

    BalasHapus
  3. Hello Mbak Lis, saya baca ini dahulu sebelum baca kisah lanjutannya yang lain :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iya, Mbak Retha. Makasih banyak... 😊😊😊

      Hapus