Corral de la Moreria ternyata letaknya tak jauh dari Palacio Real yang kami kunjungi kemarin. Terletak di – lagi-lagi – jalan sempit satu arah Calle de la Moreria. Bangunannya biasa saja. Mungkin tak pernah berubah sejak 50 tahun yang lalu. Aku dengar dari Papa, Corral de la Moreria adalah salah satu restoran tertua di Madrid yang mengadakan pertunjukan tari flamenco.
Suasana di dalamnya hangat ketika kami masuk tepat pukul setengah delapan malam, sesuai dengan reservasi yang dilakukan Papa. Restoran cukup penuh pengunjung, dengan beberapa meja kosong yang sepertinya juga sudah dipesan. Dan di ujung dalam ruangan, ada panggung kecil dengan beberapa kursi kayu berada di tepiannya.
“Nanti pertunjukannya sejam lagi,” ujar Papa sambil duduk di sebelahku.
Aku tak tahu apa saja menu yang dipesan Papa dan Mama. Yang jelas lengkap dari menu pembuka sampai penutup.
“Nggak usah pakai wine, ya, Pa?” bisik Mama. “Daripada kita serumah pada mabuk.”
Kami semua tertawa tertahan mendengar bisikan Mama.
Menu yang disajikan, yang aku tak tahu apa saja namanya, benar-benar membuat lapar mata dan lidah. Penampilannya sangat bagus, hampir menjurus ke arah sayang untuk diobrak-abrik dan dimakan. Tapi lidah sudah tak sabar menunggu. Jadi, aku tega-tegakan juga perasaanku untuk menyantapnya.
Hidangan pembuka licin tandas. Berganti dengan hidangan utama yang juga tak perlu dikomentari. Pengalaman puluhan tahun mengelola restoran secara turun-temurun tentunya menjadi bekal tersendiri bagi restoran ini untuk menyajikan hidangan terbaiknya. Begitu pula hidangan penutup. Kue cokelat yang kelezatannya seolah menempel dan tak mau pergi dari lidah.
Semua yang kami nikmati tentu saja sangat sesuai dengan harga yang harus dibayar Papa. Mahal. Tapi terkadang kesempatan tidak datang dua kali. Kalau saja Papa tidak ditugaskan di Spanyol, mungkin kami tak akan pernah bisa menikmati makan malam cukup mewah ini secara lengkap berlima.
Sebelum kue cokelat di depan kami habis, mulai ada kesibukan di panggung. Tiga orang pemain gitar duduk di atas kursi yang menghadap ke penonton di tepi belakang panggung. Di sisi kiri dan kanan, duduk beberapa orang lagi. Tiga orang di antaranya perempuan dengan baju khas yang sangat indah. Kemudian ada semacam perkenalan singkat. Dan semuanya pun dimulai.
Aku sungguh-sungguh terpesona pada musiknya, pada nyanyiannya, pada tepukan ritmisnya, pada gemulai seorang penari perempuan bergaun indah berwarna merah, dan dua penari laki-laki yang tetap terlihat sangat maskulin.
Emosi yang diperlihatkan penarinya sangat kuat, sehingga aku bisa merasakan semuanya dalam setiap gerakan, ketukan sepatu, dan tepukan tangannya. Ada kesedihan, keputusasaan, perjuangan, keagungan, cinta, dan juga kegembiraan yang digambarkan dengan gemulai dan gerakan tubuh penuh energi dan sensualitas yang sangat terkendali. Semuanya terangkum jadi satu rangkaian tarian yang sangat-sangat-sangat indah, hingga tak terasa waktu sekitar satu jam berlalu dan pertunjukan itu harus berakhir.
Aku tak akan pernah melupakan malam ini. Dan masih ingin menikmatinya lagi entah kapan. Boleh menyaksikan indahnya tarian flamenco tepat di depan mata adalah pengalaman yang akan terpatri mati dalam ingatanku.
“Suka?” bisik Papa ketika kami beriringan keluar dari Corral de la Moreria.
Aku menoleh pada Papa. Kurasa aku tak perlu menjawabnya. Kukira Papa pun tahu apa yang kurasakan. Papa merengkuh bahuku dan tersenyum lebar. Terlihat sangat bahagia karena berhasil membuat putrinya ini terkesan atas makan malam dan pertunjukan yang tak terkira indahnya.
* * *
“Belajar baik-baik, ya, Nel?” pesan Mama sambil menciumi Rinnel.
Hari ini, Sabtu, Rinnel akan kembali ke Singapura. Setegar-tegarnya Rinnel, tak urung aku melihat matanya berkaca-kaca.
“Kalau libur semester mau ke sini lagi, bilang sama Mbak Cempluk,” pesan Mama lagi.
Rinnel mengangguk-angguk. “Iya, aku belum sempat menonton pertunjukan matador.”
Bergantian ia kemudian menerima pelukan dari aku dan Dipa. Terakhir, Papa memeluknya erat dan cukup lama. Membuat kaca-kaca di mataku runtuh dan membentuk aliran basah di pipiku. Dipa merengkuh bahuku erat.
Setelah Rinnel kembali ke Singapura, tinggal kami berempat. Apartemen menjadi sedikiiit lebih longgar dan keriuhannya berkurang banyak.
Keesokan harinya kami berempat pergi ke El Rastro, sebuah flea market alias pasar loak yang hanya buka tiap hari Minggu dan hari libur nasional Spanyol. Kami berangkat berjalan kaki. Cukup ngos-ngosan karena suhu udara musim panas di Spanyol hampir menyamai Jakarta.
“Nanti kita pulangnya naik metro saja,” Papa tersenyum geli menatapku yang mulai mandi keringat.
Aku hanya nyengir saja. Tampaknya aku terlalu enak hidup di Jakarta. Agak kurang gerak. Baru jalan sekitar 2-3 kilometer di bawah musim panas di Madrid saja aku sudah nyaris basah kuyup seperti ini.
“Tapi nggak BB, kok,” celetuk Dipa sambil berlagak mencium-cium bau keringatku.
“Wooo... Sorry, yaaa! Aku wangi biar keringatan begini,” timpalku.
El Rastro. Walaupun namanya pasar loak, tapi barang-barang yang dijual di sini tidak melulu barang bekas. Ada ribuan kios yang tertata rapi di sini. Yang jelas, harga barang yang dijual di sini cukup miring dan bisa ditawar. Ada keramaian, ada pula copet. Banyak, kata Papa. Maka kami pun hanya membawa uang secukupnya tanpa barang berharga lainnya.
Baru berjalan beberapa belas meter masuk ke area El Rastro, mataku langsung hijau melihat ratusan syal warna-warni terpajang rapi di salah satu stand. Aku segera menarik Mama ke sana. Beberapa detik kemudian aku sudah sibuk memilih aneka syal tipis warna-warni yang sangat menarik hati. Barang baru, kata penjualnya, bukan barang bekas. Sebagian untukku, sebagian lagi untuk oleh-oleh. Mama pun mulai sibuk menawar dengan bahasa Spanyol seadanya, yang dijawab penjual itu dengan bahasa Inggris yang sangat fasih.
Dari stand syal, kami pindah ke stand aneka suvenir kecil macam gantungan kunci dan magnet kulkas. Puluhan gantungan kunci dan magnet kulkas murah meriah kemudian berpindah ke dalam kantong belanjaan yang dibawa Dipa. Lalu kami berkeliling lagi. Saat itu aku menjumpai seorang pedagang yang memajang gaun penari flamenco beraneka warna meriah berukuran anak-anak. Aku teringat Dinda. Maka aku pun mampir untuk memilih dua helai gaun mungil berwarna merah dan biru langit cerah untuk Dinda. Selain itu, kami masih mampir ke stand penjual aneka kaos oblong baru berwarna-warni. Tiga puluh helai kaos oblong pun masuk ke kantong. Masih ditambah lagi beberapa kipas centil dari stand sebelahnya.
“Untung Mama masih punya stok koper,” Mama tertawa melihat Papa dan Dipa masih setia menjadi kuli belanjaanku tanpa banyak komentar.
Menjelang tengah hari, Papa menggiring kami semua masuk ke sebuah bar. Perut mulai keroncongan. Dan di dalam bar itu kami berempat ‘berpesta’ soft drink dingin dan aneka tapas, cemilan berporsi mungil khas Spanyol. Bermacam tapas masuk ke perut kami. Tanpa makan siang yang ‘benar’ pun kami sudah lumayan kenyang. Sebetulnya minuman yang ‘wajar’ sebagai teman makan tapas adalah bir dingin. Tapi karena kami tidak biasa minum bir, minuman ringan jadi pilihan yang paling aman.
Setelah keluar dari bar, sambil berjalan keluar dari El Rastro menuju ke stasiun metro terdekat, aku masih mampir lagi ketika melihat penjual sepatu warna-warni yang kelihatannya nyaman untuk dikenakan. Empat pasang pun masuk ke kantong belanjaan. Untuk Kania, Joya, dan aku sendiri. Kebetulan ukuran kaki kami relatif sama.
Sekitar setengah jam kemudian kami sudah sampai di apartemen. Kelelahan, pasti. Bahkan sorenya kami cuma makan mi instan saja karena Mama rupanya enggan repot-repot berkutat di dapur.
* * *
Hari Senin, kami bertiga mengantar Papa lagi berangkat ke KBRI. Sekalian tukar mobil, kata Mama. Setelahnya, Mama membawa kami berputar-putar sebentar menikmati keindahan kota Madrid di pagi hari. Dan perjalanan kami sebelum benar-benar pulang ke apartemen berujung di Mercado de la Cebada, sebuah pasar tradisional.
Wow! Sebuah pasar tradisional yang besar, luar biasa bersih, dan berlimpah bahan makanan segar. Sayur, buah, daging, ikan, dan masih banyak lagi. Warna-warninya begitu memanjakan mata. Sama sekali tak ada kesan sebuah pasar yang sumpek dengan segala macam bau campur aduk jadi satu.
Mama benar-benar berbelanja dengan santai kali ini. Kulkas di apartemen sudah hampir kosong melompong dan memang harus diisi lagi. Biasanya Mama berbelanja tiap hari Sabtu bersama Papa, karena hari Minggu pasar tutup. Berhubung masih tersisa dua kuli, maka Mama memilih untuk berbelanja mingguan hari ini.
Kami mampir untuk membeli makan siang di sebuah restoran cepat saji. Beberapa bahan makanan yang kami beli harus secepatnya masuk ke dalam lemari pendingin. Jadi tak ada waktu untuk berlama-lama menikmati makan siang di luaran.
Menjelang malam, seusai makan, Papa mengajak kami keluar ke taman terdekat. Tapi Mama dan Dipa menolak dengan alasan capek. Hanya aku yang mau. Maka, Papa dan aku kemudian berjalan kaki berdua menuju ke taman yang dimaksud Papa, berbekal sekantong churros bersalut gula halus dan bubuk kayu manis sisa cemilan sore tadi dan dua kaleng minuman ringan dingin yang diambil Papa dari dalam kulkas.
Plaza de Olavide jauhnya hanya sekitar setengah kilometer dari apartemen. Sebuah taman terbuka dengan air mancur di pusatnya, dan beberapa kursi taman terbuat dari besi tempa dan kayu tersebar di sekitarnya. Suasananya cukup tenang. Papa mengajakku duduk di salah satu kursi taman. Kami kemudian mengobrol sambil menikmati churros dan minuman ringan.
“Papa senang sekali kita sempat berkumpul lengkap selama seminggu kemarin,” ucap Papa lirih. “Setelah kalian semua besar, rasanya susah sekali, ya, berkumpul seperti dulu?”
“Ada masanya, Pa,” aku menyandarkan kepala di bahu Papa. “Nanti juga kalau Papa dan Mama kembali ke Jakarta, kita bisa kumpul lagi. Rinnel pasti lebih sering pulang kalau akhir minggu. Dipa juga nanti setelah selesai S2 bakal pulang. Dia sudah bilang mau masuk ke Eternal, nggak akan bertahan dan cari kerja di Amerika.”
“Hm...,” Papa menepuk-nepuk lembut pipiku. “Kamu sudah bisa lepas dari bayang-bayang Otto, kan, Pluk?”
“Sudah, Pa,” anggukku. “Aku melihat Mas Irvan sebagai Mas Irvan seutuhnya. Tanpa pernah membandingkannya dengan Otto. Lagipula, aku merasa lebih nyaman seperti itu.”
“Baguslah. Jujur, Papa lebih suka kamu dapat orang lokal daripada orang luar. Apalagi yang sekarang dekat denganmu saat ini anak sahabat Papa sendiri. Mawarni juga senang Irvan dekat denganmu. Katanya, pengaruhmu besar sekali pada Irvan. Pengaruh baik.”
“Bu Mawarni bilang begitu?”
“Iya,” Papa tertawa ringan. “Beberapa waktu lalu kirim email ke Papa. Dia senang kalian bisa saling mengenal dan jadi dekat.”
Dan kami masih saling bertukar cerita hingga langit musim panas menggelap sempurna. Lalu kami meninggalkan taman itu, dengan tangan kananku digenggam erat dan hangat oleh telapak tangan kiri Papa.
* * *
Hari-hari berlalu cepat sekali. Tahu-tahu sudah waktunya aku harus pulang. Sedih, pasti. Dan adegan di bandara seolah terulang kembali. Pesan Mama, pelukan Papa, pelukan Dipa, kali ini aku yang menerimanya. Berat sekali untuk pergi. Baru pertengahan tahun depan aku bisa bertemu Mama dan Papa lagi.
Kuhapus airmata ketika pesawat yang kutumpangi mengudara. Entah kapan aku bisa kembali lagi ke negeri yang indah itu. Masih banyak tempat yang belum kukunjungi. Dua minggu ini baru di seputaran Madrid saja, belum ke tempat lainnya. Kali ini aku berharap, kesempatan akan datang untuk kedua kalinya.
Jadi keinget lagunya Fariz RM "Barcelona"...
BalasHapusJadi keinget jaman SMP kelas 2, siapaaa gitu yang hobi banget sama lagu 'Barcelona' 😝
Hapuswiih..kayak ikutan piknik ke Madrid nii Mbak..keren banget..
BalasHapusHihihi... Hayuuuk, Mbak... 😋
HapusGood post mbak Lis
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur... 😊
Hapuswhoooaaa...........kalo yang ini edisi lengkap plus plus........makan enak, nonton pertunjukan, jalan-jalan asyiik, mojok di taman & blonjo-blonjo.......
BalasHapusHehehe... Makasih mampirnya, Mbak Dewi... 😊
HapusEpisod sing garai kejang" !
BalasHapusLek ketemu isok tajiwiiiiiit pean mbaaaaa !
Gemesssss !
Kuabuooorrr... 😝😝😝
Hapus