Senin, 08 Agustus 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #21-1







* * *


Dua Puluh Satu


“Nanti kita uyel-uyelan di apartemen, ya,” ucap Mama. “Apartemen kita kecil, cuma punya dua kamar.”

“Yang penting kita kumpul, Ma,” timpal Rinnel.

Selanjutnya Mama banyak bercerita ini-itu sepanjang perjalanan dari Madrid-Barajas menuju ke apartemen. Sementara Papa tampak mengemudi dengan serius. Diam-diam kutatap Papa dari tempat dudukku di jok tengah.

Papa orangnya tidak terlalu banyak bicara. Cenderung pendiam. Tapi tidak juga terlalu serius sampai taraf tidak doyan humor. Bersanding dengan Mama yang kecerewetannya khas seorang ibu, semuanya jadi terlihat dan terasa lengkap.

“Pluk, pokoknya Mama nanti mau dengar selengkapnya soal pacarmu itu,” celetuk Mama dengan nada menggebu.

Aku cuma bisa nyengir. “Jangan nanti. Besok saja.”

“Haish! Kelamaan!” Mama mengibaskan tangannya.

“Lha, kan, Dipa datangnya baru besok,” kilahku. “Sekalian saja, daripada aku ulang-ulang cerita.”

“Hm...,” gerutu Mama. “Kalau disuruh ngeles, cepat sekali anak ini.”

Kami semua tergelak.

Apartemen yang disewa Papa dan Mama terletak di Chamberi. Tepatnya di Calle de Sandoval atau Jalan Sandoval. Jaraknya sekitar empat belas kilometer dari Madrid-Barajas. Ditempuh dalam waktu tak lebih dari dua puluh menit saja.

Kami masuk ke apartemen yang terletak di lantai tiga itu menjelang pukul tiga siang. Begitu semua bawaanku dan Rinnel masuk ke dalam kamar, aku segera menyerbu ranjang untuk sekadar berbaring meluruskan punggung. Rinnel menggerutu karena keduluan.

“Geser sedikit kenapa, Mbak,” ditepuknya kakiku.

Aku menggodanya dengan bergeser sedikit. Tak sampai lima sentimeter,

“Mbak Cempluuuk!” Rinnel mencubit kakiku dengan gemas.

Aku terbahak sambil bergeser lagi. Kali ini pada posisi yang benar. Rinnel pun membaringkan tubuhnya di sebelahku. Saat itu Papa muncul dengan membawa dua gelas air putih di tangannya.

“Minum dulu,” ucap Papa, tersenyum.

Rinnel dan aku sama-sama bangun. Serempak mengucapkan terima kasih sambil menerima gelas itu. Segera saja kesegaran air putih dingin itu memenuhi kerongkonganku. Papa duduk di tepi ranjang.

“Mama lagi memanaskan paella,” ujar Papa.

“Enak, nggak?” celetuk Rinnel.

“Enaklah,” senyum Papa melebar.

Sejujurnya, Mama tidak begitu pandai memasak. Tidak seperti Uti ataupun Tante Laras. Mama kalau memasak hampir selalu mencontek dari buku resep. Itu pun yang dimasaknya hanya yang praktis dan cepat untuk disajikan, plus memenuhi syarat gizi cukup lengkap. Andalannya capcay dan omelet. Tapi sungguh, masakan Mama enak, kok. Selalu pas rasanya. Dan kali ini paella? Hm... Mendadak saja aku merasa lapar.

* * *

Apartemen mungil ini makin ramai saja setelah Dipa datang bergabung keesokan harinya. Ia akan lebih lama daripada aku di sini. Sekitar tiga minggu.

“Aku bolos seminggu lagi, ya?” rengek Rinnel.

“Tiketmu!” aku langsung melotot. “Nanti kalau libur semester, kamu mau balik ke sini nggak apa-apa. Aku bayarin tiketnya, asal sekarang bolosnya jangan diperpanjang.”

Rinnel manyun. Dipa langsung menjitak lembut kepala Rinnel. Sementara Papa dan Mama tersenyum dikulum melihat kelakuan kami.

“Besok Papa masuk kerja,” ujar Papa. “Kalian kalau mau jalan, sama Mama, ya? Mama sudah fasih jalanan di sini.”

“Sekalian saja besok anak-anak menengok kedutaan, Pa,” Mama menatap Papa. “Sambil aku antar Papa.”

“Hm... Begitu juga bagus,” Papa mengangguk. “Sorenya aku nggak usah dijemput. Aku naik metro saja.”

Mama langsung menyetujuinya.

Sore itu kami berkumpul di ruang makan yang menyatu dengan dapur sambil mengobrol ini-itu. Apartemen yang disewa Papa dan Mama memang lumayan sempit karena sehari-harinya hanya ditinggali dua orang saja. Tapi suasana hangatnya saat ini benar-benar terasa sampai ke hati. Ketiga laki-laki tersayangku duduk mengelilingi meja makan.

Sambil membantu Mama menggoreng churros, aku bercerita tentang Irvan. Bagaimana kami saling mengenal, apa yang kurasakan, dan apa saja yang sudah kualami bersamanya. Papa, Dipa, dan Rinnel tampak serius menyimak penuturanku. Tangan mereka sibuk mencolekkan churros yang baru matang ke dalam semangkuk cokelat cair. Sesekali mereka menatapku, manggut-manggut, tapi mulut mereka sibuk mengunyah churros.

“Ya...,” aku mengedikkan bahu. “Sementara dongengku seperti itu. Aku, sih, serius. Kelihatannya Mas Irvan juga begitu. Biar mengalir dulu, deh!” senyumku sambil duduk di antara Papa dan Dipa.

Mama pun ikut duduk setelah mematikan kompor. Di antara Papa dan Rinnel.

“Mama, sih, percaya Irvan itu pemuda baik-baik,” Mama melirik Papa sekilas. “Papa sudah menjamin itu. Apalagi Papa mengenal mama Irvan dengan sangat baik. Iya, kan, Pa?”

Papa mengangguk. “Iya. Yang bisa kalian jalani, ya, jalani saja dulu. Sambil sama-sama memantapkan posisi.”

“Iya, Pa,” aku pun ikut mengangguk. “Aku sendiri juga masih harus banyak belajar di Eternal. Mas Irvan juga begitu. Selain fokus ke hubungan kami, dia juga harus lebih fokus ke usahanya. Banyak yang harus ditingkatkan dan dipertahankan. Dan aku melihat bahwa semuanya itu baik.”

“Kualitas pertemuan, Pluk,” Papa menepuk lembut punggung tanganku. “Itu jauh lebih penting daripada kuantitasnya.”

Aku manggut-manggut.

Selanjutnya tiba giliran Dipa untuk mendongengkan hari-harinya di Chicago. Sama seperti ketika aku tinggal di Australia, Dipa tak perlu kuliah sambil bekerja karena Papa memberi cukup uang untuk biaya hidup sewajarnya. Tapi ia dengan senang hati menjadi seorang relawan dalam kegiatan-kegiatan bersama teman-temannya di luar kampus.

“Pengalaman yang aku dapat itu yang nggak ternilai,” ucap Dipa dengan binar memenuhi matanya.

Kulihat pula mata Mama mengaca. Tapi senyum tersungging di bibir Mama. Dan dalam mata Papa, kutemukan pula garis-garis kebanggaan. Juga kelegaan karena hingga detik ini putra-putrinya masih berada di jalur perjalanan yang benar.

Masih terngiang di telingaku ucapan Papa ketika aku memutuskan untuk melanjutkan kuliahku di Australia.

“Gaji Papa sebagai pegawai negeri itu standar, Pluk. Bisa menghidupi seluruh keluarga kita ini sewajarnya. Tidak bisa berlebihan. Tapi Papa dan seluruh putra-putri Eyang menerima pembagian dari keuntungan yang diperoleh Eternal. Itu yang membuatmu dan adik-adikmu bisa bersekolah di mana pun kalian mau. Jangan pernah sia-siakan kesempatan ini. Tugasmu menuntut ilmu, yang kelak harus bisa kamu gunakan untuk meneruskan hidupmu.”

Kupikir, pesan itu juga disampaikan Papa pada Dipa dan Rinnel. Dan kedua adikku itu bisa memahaminya dengan baik. Aku tahu catatan prestasi akademik Dipa dan Rinnel masih terjaga agak jauh di atas rata-rata cukup setiap semesternya.

“Pa, Ma, sepertinya aku nanti nggak ingin pulang dulu setelah selesai S1,” celetuk Rinnel tiba-tiba. “Aku mau lanjut ke S2. Boleh?”

“Tentu saja!” jawab Mama dengan antusias. “Kamu mau lanjut di mana?”

“Entahlah,” Rinnel menggeleng. “Pilihannya tetap di Singapura atau loncat ke Aussie.”

“Sekalian saja ke Amrik, Nel,” timpal Dipa, tersenyum lebar.

“Dia nggak bakalan mau jauh-jauh dari Indonesia,” aku mengibaskan tangan.

“Mbaaak...,” Rinnel mulai melebarkan matanya.

“Lho, kenapa?” Papa mengerutkan keningnya.

Kulanjutkan dengan jahil, “Dia kan cinta mati sama...”

“Mbaaak!” suara Rinnel makin keras.

I know! I know!” Dipa terbahak tiba-tiba. “Kania, kan?” serunya kemudian di sela-sela tawa.

Tawaku pun meledak seirama dengan tawa Dipa. Mama terlihat tersenyum lebar, sedangkan Papa menggeleng-gelengkan kepala dengan wajah geli. Rinnel sendiri menggigit churros terakhir di tangannya dengan ekspresi gemas.

“Vulgar banget kalian ini,” gerutunya.

“Hei! Vulgar itu kalau kamu detik ini juga joget-joget sambil telanjang bulat di jalanan bawah sana,” tukas Dipa, meneruskan tawanya.

Mama mengelus kepala Rinnel. “Nggak usah malu-malu begitu. Makin ditutupi, makin kelihatan, kok, aura cintanya.”

Ternyata Mama malah berniat menggoda Rinnel lebih lanjut.

“Mama apa, sih?” wajah Rinnel terlihat makin matang merahnya.

Tertawa bersama keluarga inti yang kucintai sepenuh hati. Mungkin seperti ini suasana Surga.

“Sudah... Sudah...,” Papa menengahi. “Sekarang, ayo, siapa yang mau mandi dulu? Papa sudah pesan tempat di Luxury.”

“Apa, tuh, Pa?” tanya Dipa sambil membantu Mama meringkas piring kosong bekas churros. “Luxury?

“Resto dekat sini,” jawab Mama.

“Oh...,” Dipa manggut-manggut.

* * *

Beberapa menit sebelum pukul delapan malam, kami berlima berjalan menyusuri  Calle de Sandoval dengan santai menuju ke Restaurante Luxury. Restoran itu berada di ruas jalan yang sama dengan apartemen. Menurut Papa, jauhnya hanya sekitar seratus meter saja.

Mama berjalan di depan, diapit Dipa dan Rinnel. Tangan kiri Mama menggandeng tangan kanan Rinnel, sedangkan bahu Mama direngkuh erat oleh Dipa. Papa dan aku berjalan di belakang mereka, dengan tangan kanan Papa menghangatkan kedua bahu dan seluruh hatiku.

Dari depan, Restoran Luxury ini terlihat kecil dan sederhana. Tapi bagian dalamnya ternyata cukup luas. Setelah area foyer, ruangan yang berbentuk lorong menyambut kami ketika masuk. Ada sofa panjang yang menempel di dinding sebelah kanan lorong dengan beberapa meja dan tambahan dua kursi di depan masing-masing meja. Di sisi dinding sebelah kiri, ada beberapa meja untuk berdua. Ujung lorong itu adalah sudut yang membentuk ruangan jadi berbentuk L. Jika membelok ke kiri, masih ada lagi beberapa meja untuk berempat di sebelah kanan dan kiri ruangan. Kami duduk di sudut. Mengelilingi sebuah meja bundar untuk berenam.

Sementara keempat orang itu memilih menu, aku sibuk menikmati hangatnya ruangan yang didominasi warna kelabu muda dan krem itu. Lantainya dialasi parket kayu coklat muda yang jelas menampakkan urat-uratnya. Pendar lampu yang sangat lembut membuat suasana jadi lebih hangat lagi. Kursi-kursi berwarna krem kekuningan itu pun tampaknya cukup nyaman untuk diduduki para lelaki berbadan tinggi besar dalam keluarga kami. Postur yang cukup meng-Eropa.

Luxury ternyata menyajikan masakan oriental, terutama Jepang dan China. Garis selera yang menyatukan kami sekeluarga. Jadi, aku percaya saja pada pilihan mereka untuk menu makan malam hari ini.

So nice clothes!

Suara itu membuat dengungan di meja kami terhenti seketika. Kami semua menoleh. Seorang perempuan muda berkulit putih, berambut pirang, dan bermata biru tersenyum menatap kami dengan sorot mata kagum. Tanpa sadar aku mengamati busana yang kami pakai. Batik dalam berbagai warna. Gaun Mama bermotif mega mendung dalam warna merah hati, sedangkan blusku bermotif batik Pekalongan berwarna pink cerah dan ungu muda. Kemeja Papa berwarna coklat tua, Dipa hijau lumut, dan Rinnel biru muda.

Thank you!” sahut kami serempak.

Setelah meminta maaf karena sudah mengganggu kami, perempuan itu kemudian menanyakan di mana ia bisa mendapatkan baju seperti yang kami pakai. Mama dan aku saling menatap sejenak.

“Ini adalah batik, kain dengan motif tradisional dari Indonesia,” Mama menerangkan sambil tersenyum. “Saya tidak tahu di mana bisa mendapatkannya di sini, tapi...” Mama menatapku, “Kamu bawa berapa buat Mama?”

“Setengah lusin,” seketika itu juga aku paham maksud Mama. Budhe Risa memang menitipkan beberapa gaun batik baru untuk Mama padaku.

Mama kembali menatap perempuan itu. “Saya rasa ukuran kita sama. Putri saya ini baru datang kemarin dari Indonesia dan dia membawa beberapa gaun baru untuk saya. Anda mau?”

“Saya akan membelinya!” wajah perempuan itu tampak antusias.

No, no, no!” sahut Mama cepat. “Saya akan memberikannya untuk Anda. As a gift.

Madame, you don’t have to...,” perempuan itu menatap Mama dengan sorot mata segan.

It’s OK,” senyum Mama. “Saya masih punya banyak dan mudah mendapatkannya.”

Perempuan itu kemudian memperkenalkan dirinya sebagai Gwen Thomas, seorang turis asal California, Amerika Serikat. Dan pembicaraan itu berakhir dengan dibuatnya janji antara Mama dengan perempuan itu untuk bertemu besok menjelang sore di apartemen.

Dan gangguan itu akhirnya terlupakan ketika minuman dan makanan yang kami pesan datang. Aroma dan penampilannya sungguh-sungguh menggugah selera. Saatnya berpesta!

* * *

14 komentar:

  1. Good post mbak, kapan jadi buku he he

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hehehe... Jadi buku itu cuma bonus, Pak. Yang penting jujur dulu dalam berkarya 😉

      Hapus
  2. ehm... aku di meja sebelah yaaa...
    ini mana kok minumnya aja belom nongol ???

    ngangkatin koper tu berat lho yaaa...
    ingat... ingat...

    BalasHapus
  3. Mb Liiiiiissss aq nitip sandal ndisek.
    Ngkok lek wis balek aq mertamu meneh gek kene sing sui.
    Cuuuup !

    BalasHapus
    Balasan
    1. Byuuuh... Yang pesiar nonton festival bunga nggak pulang-pulang yaaa! Ojok lali uleh-ulehe yo, Niiit... 😘😘😘

      Hapus
    2. Aq wis pulang hloh mba .....
      Mertamu meneh gek kene.
      Ngratani Cempluk sing klewatan.
      Sumpa jek ngiri kambek Cempluk.
      Baper wakwakwakwak

      Hapus
  4. woooo, google mapnya kece. hahahaaa...
    belum pernah ke sana tapi serasa udah di sana :)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Wakakak... Ya google map, ya wikipedia, ya website lain, ya blog, pokoknya hajaaarrr bleh!

      Hapus
  5. Wiih...keren banget mbak Lis...udah mendunia ceritanya...

    BalasHapus
    Balasan
    1. Hahaha... Mendunia ngawurnya, Mbak Bektiii... 😳😳😳

      Hapus