Kamis, 04 Agustus 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #20-1





Sebelumnya  



* * *


Dua Puluh


Sungguh, aku benar-benar bersyukur karena Om Nor menarikku masuk ke Eternal Rubberplast pada saat yang tepat. Kalau tidak? Hm... Mungkin itu bisa jadi salah satu ujianku dalam menyelami arti profesionalitas yang sesungguhnya.

Masalah pribadi Mbak Jani yang ternyata menyeretku serta, mau tak mau sedikit mengubah pandanganku terhadap seorang Mbak Jani. Tajam ke bawah, tumpul ke atas. Keras pada bawahan, tapi lemah terhadap masalah rumah tangganya.

Di mataku, seorang suami pengangguran seperti Mas Gatot pun sesungguhnya masih sangat layak untuk dihormati, seandainya ia bisa menghormati dirinya sendiri. Seandainya ia bisa menempatkan diri di tempat yang pantas sebagai seorang suami, seorang ayah, seorang kepala keluarga, seorang yang keras berusaha demi kebaikan keluarga kecilnya, dan seorang yang menjadi bagian dari suatu keluarga besar. Bukan malah jadi parasit seperti saat ini.

Tiap orang pasti tidak sempurna. Ya, aku tahu. Tapi seandainya mau menyadari, sebaiknya setiap orang mengelola ketidaksempurnaan itu hingga tidak membebani orang lain yang tidak ada kaitannya sama sekali. Dan aku benar-benar tidak mengerti racun apa yang sudah melekat erat di kepala Mas Gatot hingga bisa melakukan perbuatan ‘sehina’ itu sekaligus menyeret aku dan Irvan turut serta ke dalamnya.

Benar-benar manusia absurd! Kugelengkan kepala dengan gemas.

“Pluk...”

Seketika aku tersentak. Aku menoleh. Mendapati Uti menatapku dengan ragu.

“Kamu banyak melamun seharian ini,” ucap Uti, hati-hati. “Sudah, jangan pikirkan lagi masalah yang semalam itu.”

Nggak berpikir bagaimana? Aku sudah terlanjur tercebur. Tapi aku hanya berani mengucapkannya dalam hati saja. Kuhela napas panjang.

“Kamu sudah mandi?” Uti duduk di sebelahku.

Aku mengangguk.

“Tuh, ada Irvan di teras.”

Suara lembut Uti seolah menusuk telinga dan hatiku. Aku tercekat.

Menemui Irvan? Sekaligus bingung harus menaruh muka di mana? Atau berpura-pura polos saja? Tapi seketika aku ingat perkataan Mas Hasto, bahwa aku bukanlah orang yang pandai berbohong.

“Atau kamu belum mau menemuinya?” suara halus Uti mengusikku lagi.

Sekali lagi kuhela napas panjang. Lalu tanpa kata, aku pun bangkit dari posisi nyamanku di atas kursi malas di teras belakang. Dengan berat aku melangkah ke depan melalui garasi.

“Hai,” sapaku kemudian. Lirih.

Irvan mengalihkan tatapannya dari arah bebungaan di taman. Kini ia menatapku. Seketika keningnya berkerut.

* * *

Aku menikmati bakso Arema-ku diam-diam. Berusaha menemukan kenikmatannya yang kali ini seolah menguap tak berbekas. Aku tahu tatapan Irvan berkali-kali jatuh padaku. Tapi aku terpaksa mengabaikannya. Sungguh, aku tak tahu harus bersikap bagaimana di depannya saat ini.

“Pluk, kamu kenapa?” pertanyaan itu menggema lirih, entah untuk ke berapa kalinya sejak aku keluar menemuinya tadi. “Tolong, jangan bilang lagi nggak ada apa-apa.”

Kuletakkan sendok dan garpu sambil menghela napas panjang. Sedetik kemudian aku menyedot teh dingin dalam kemasan botol sekadar untuk meredakan debar kencang jantungku. Tapi detik terus merambat. Dan Irvan masih tetap menatapku. Menunggu dengan sabar. Aku berusaha balik menatapnya.

“Mas, maukah... jujur padaku?” tanyaku. Akhirnya. Dengan sedikit terbata-bata.

“Tentu saja,” angguknya cepat.

“Janji?”

Ia mengangguk lagi. Kuhela napas panjang. Entah untuk ke berapa kalinya pula.

“Tolong, katakan padaku, berapa jumlah seluruh hutang Mas Gatot di Godhong Gedhang?”

Irvan melongo. Masih menatapku.

“Mas Irvan sudah janji,” bisikku dengan suara menghilang. Sepertinya terjepit di tenggorokan.

“Astaga, Pluk!” Irvan mengerjapkan mata dengan ekspresi penuh kelegaan. Bahkan aku melihat ada senyum yang terkulum di bibirnya. “Kukira masalah apa...”

Aku diam. Menunggunya menjawab. Lalu ia tersenyum sambil menepuk lembut punggung tanganku.

“Nggak pernah kuhitung, Pluk,” jawabnya kemudian. “Sudahlah.”

“Nggak bisa begitu,” gelengku. “Mas Gatot sudah keterlaluan, Mas. Lagipula seharusnya Mas Irvan konfirmasi dulu padaku. Biar nggak terulang lagi kelakuan seperti itu.”

“Apa lagi yang harus dikonfirmasi?” senyum Irvan. “Aku tahu Mas Gatot. Nggak kenal secara pribadi, sih, hanya sekadar tahu. Aku tahu dia abang ipar Hasto. Jadi buatku nggak pernah jadi masalah.”

“Masalah buatku karena dia sudah seenaknya mencatut namaku untuk urusan pembayaran,” sergahku.

“Tapi aku nggak pernah menagihmu,” timpal Irvan, sabar.

Aku menghembuskan napas keras-keras.

“Mas,” aku berusaha keras menahan suaraku agar tetap rendah, “kelakuan seperti Mas Gatot itu nggak bisa dibiarkan. Mbak Jani juga begitu. Mengandalkan orang lain untuk ikut mengurusi masalah suaminya. Padahal sudah seumur itu. Harusnya tahu batasan.”

“Jadi aku harus bagaimana?” Irvan mengangkat alisnya.

“Katakan padaku berapa tagihannya. Aku bayar dulu. Tadi pagi Kakung sudah bilang padaku, bahwa Mbak Jani akan secepatnya membereskan masalah ini. Tapi...”

“Nah, itu Mbak Jani sudah ada niat mau membereskan,” potong Irvan.

Aku menatapnya dengan gemas. “Tapi aku sama sekali nggak percaya soal secepatnya itu! Entah kenapa, perasaanku bilang begitu. Makanya, sini, aku bayar dulu. Sambil kita lihat secepatnya itu berapa lama. Nanti kalau dia benar-benar bayar secepatnya, dalam satu-dua hari ini, terima saja uangnya. Tinggal kembalikan saja padaku. Nggak perlu bilang apa-apa. Yang penting utang terbayar dulu dan resto nggak rugi.”

Irvan menatapku lama. Terlihat menimbang-nimbang.

“Ini bukan sekadar kamu ingin membayarkan hutang Mas Gatot, kan?” Irvan menyipitkan matanya.

“Ya,” jawabku tegas. “Aku ingin melihat sejauh mana Mbak Jani memenuhi kata-katanya sendiri soal secepatnya itu.”

“Kalau tidak?” Irvan menatapku dengan khawatir.

“Aku bawa ke forum keluarga,” tegasku. “Suaminya mencatut namaku. Dia sendiri berniat melibatkan aku. Keduanya harus bertanggung jawab. Setidaknya di hadapan keluarga.”

Irvan terdiam. Menatapku lama.

* * *

Sudah masuk minggu ketiga sejak aku mentransfer uang sejumlah tagihan yang ditinggalkan Mas Gatot. Tapi uang itu belum juga kembali padaku. Tiga kali dia mengakuinya? Puih! Pembohong tengik! Tepatnya lima kali ia melakukan itu. Dengan total tagihan Rp 9.397.000,00. Aku hanya bisa geleng-geleng kepala ketika melihat struknya. Aku tahu makanan sejumlah itu tak mungkin hanya masuk ke perutnya, perut Mbak Jani, dan perut Dinda. Bahkan kemungkinan besar Mbak Jani dan Dinda tidak kecipratan sedikit pun.

Beberapa kali Irvan menggelengkan kepala dengan wajah prihatin ketika aku menanyakan apakah Mbak Jani sudah mendatangi Godhong Gedhang untuk menyelesaikannya. Aku sudah memintanya untuk jujur saja kalau Mbak Jani memang belum muncul. Dan ia melakukannya. Jujur. Belum mengembalikan uangku karena ia memahami maksudku.

Mau tak mau aku terpaksa menceritakannya pada Mas Hasto. Hebat bukan? Mbak Jani melibatkan aku, yang cuma sepupunya, tanpa adiknya sendiri tahu apa yang sesungguhnya terjadi. Sejujurnya aku agak menyesal. Apalagi melihat wajah Mas Hasto yang berangsur menjadi merah padam. Ekspresinya pun becampur antara marah dan malu. Tapi aku tidak bisa berbuat lain. Aku segan membuat Eyang jadi kepikiran. Segan juga bicara langsung pada Budhe Danik dan Pakdhe Juno.

“Mas, usahakan untuk tetap berkepala dingin,” ucapku halus.

Mas Hasto tampak berusaha mengendalikan amarahnya dengan menghela napas berkali-kali. Aku menggenggam tangannya.

“Benar-benar parasit itu si Gatot,” desisnya. “Bikin malu saja!”

Aku menggenggam tangannya makin erat.

“Pluk, berapa jumlahnya?”

Dan Mas Hasto langsung mengeluh panjang ketika kusebutkan jumlah yang sudah kubayarkan pada Irvan.

“Berapa nomor rekeningmu? Aku ganti.”

Tapi aku menggeleng. “Nanti aku bakal dapat gantinya kalau Mbak Jani sudah membayar pada Irvan. Yang lebih penting sekarang, Mbak Jani itu sudah janji pada Kakung untuk menyelesaikan soal utang ini secepatnya. Masalahnya, itu sudah tiga minggu yang lalu, Mas. Dan Mbak Jani belum melakukannya sampai detik ini. Mbak Jani harus mempertanggungjawabkan ucapannya sendiri.”

Mas Hasto kembali menghela napas panjang. Ditatapnya aku dengan sorot mata putus asa.

Pada saat seperti ini, tiba-tiba saja aku merasa sepasang tanduk seolah tumbuh di kepalaku, dan gigiku jadi memanjang berbentuk taring tajam. Entahlah, apakah caraku itu benar atau salah. Yang jelas, aku merasa bahwa perlahan aku sedang berubah jadi setan tukang mengadu.

* * *





6 komentar:

  1. yaelahh udeh ada yang komen duluan hahaha

    BalasHapus
  2. Perlu itu diajarin tanggung jawab.

    Jangan kayak si bapak satu itu yang cuma ngerti cara bikin anak, tapi kalo Nemu masalah malah kabur.

    #eh
    #curcol

    BalasHapus