Sebelumnya
* * *
Uti dan Kakung kelihatan sekali menikmati gado-gado hasil racikan Irvan. Ada senyum dalam wajah Irvan. Berkali-kali tatapannya jatuh padaku. Tapi tepat di hadapan Uti dan Kakung, jelaslah bahwa ia harus bisa menahan diri dan tak bisa lebih genit lagi.
“Seandainya Cempluk lebih dulu cerita soal itu pada Uti dan Kakung, Van,” celetuk Kakung, “Kakung pasti tak akan segan jadi investor untuk restomu. Benar-benar dari kantong pribadi, bukan sekadar sandiwara seperti kemarin.”
Irvan tak menjawab. Hanya tersenyum yang kental dihiasi ekspresi tersipu. Uti tertawa melihatnya. Beberapa detik kemudian Uti menatapku.
“Kalau ada apa-apa itu, mbok ya ngomong terus terang, Pluk,” tegur Uti lembut.
“Ya... Cempluk nggak enak saja, Ti. Nggak mau repotin Uti dan Kakung,” elakku.
“Nggak merepotkan,” tukas Kakung halus. “Uti sama Kakung, kan, masih sanggup berpikir. Belum jompo-jompo amat.”
“Iya, Kung, Ti,” anggukku kemudian. Patuh.
* * *
Selesai makan, Irvan dan aku duduk-duduk berdua di teras depan. Berdiam diri sejenak di bawah remang cahaya lampu.
“Hm... Ri...”
“Ya?”
“Aku minta maaf atas semua sikap tak pantasku padamu,” ucap Irvan. Lirih, tapi nadanya terdengar tegas. “Nggak seharusnya aku marah seperti itu. Kenyataannya, usahaku selamat karena kamu. Terima kasih, ya, Ri...”
Aku tersenyum. Menatapnya. Yang balik menatapku dengan segala keteduhannya.
“Aku juga salah, Mas,” sahutku. ”Seharusnya aku bicarakan dulu dengan Mas Irvan tentang semua usaha yang kulakukan. Paling tidak bicara dengan Uti dan Kakung. Cuma... Waktu itu yang muncul di pikiranku adalah aku tak mau merepotkan Uti dan Kakung.”
Irvan menghela napas panjang.
“Tapi dari kejadian itu, efeknya benar-benar luar biasa, Ri,” senyum Irvan terlihat lepas. “Papa sekarang bersedia mendengarkan aku. Bukan aku saja, tapi kami semua, anak-anaknya. Itu karena Papa bertemu dengan Kakung. Dari situ juga Mama tahu bahwa kamu putri salah seorang sahabatnya. Mama senang sekali. Oh, ya, kamu pindah ke Eternal Rubberplast, bagaimana di sana?”
Ada nada tertarik yang kental dalam suara Irvan. Aku senang sekali mendengarnya. Nada itu menimbulkan semangat dalam diriku.
“Jauh lebih menyenangkan daripada di Beverages,” sahutku antusias.
“Oh, ya?” Irvan juga kelihatan antusias menanggapi jawabanku.
“Iya, Mas,” anggukku. “Jujur, aku kurang cocok dengan sistem Mbak Jani di Beverages. Kemajuanku lambat. Om Nor mendeteksi itu. Lagipula waktu aku ikut Om Nor ke Sidoarjo, Om Nor memang sudah bilang kalau kemungkinan besar aku akan dimasukkan ke Rubberplast. Ternyata benar! Apalagi ternyata aku dipasangkan lagi dengan Mas Hasto. Aku cocok dengan cara Mas Hasto membimbingku. Tidak melepas sepenuhnya, tetap mengawasi, tapi percaya bahwa aku bisa melakukannya. Aku jadi bisa lebih percaya diri. Jadi berkembang.”
Mas Irvan manggut-manggut.
“Ngomong-ngomong, Mas Irvan minggu depan sudah mulai shooting lagi. Sudah sehat beneran?”
“Sudah, Ri,” angguk Mas Irvan. “Aku sudah mulai aktif di resto juga, kok. Nggak betah kelamaan nganggur di rumah. Eh, dari mana kamu tahu aku mulai shooting lagi minggu depan?”
Aku meringis melihat kerut di kening Irvan.
“Tadi aku mampir ke resto,” jelasku. “Sebetulnya tadi bubaran kantor ketemuan sama Mbak Arsita.”
“Hah?” Irvan ternganga.
“Iya,” anggukku. “Mbak Arsita menemuiku. Menceritakan kondisi Mas Irvan yang nggak pulang beberapa hari. Marah. Ngambek. Intinya minta aku bersabar menghadapi Mas Irvan.”
“Aduh...,” Irvan mengusap wajah dengan kedua belah telapak tangannya. “Aku jadi malu kuadrat kalau begini.” Wajahnya kemudian tampak memelas. “Benar, ya, Ri? Maafkan aku, ya?”
“Iyaaa...,” aku menyambungnya dengan gelak ringan. “Sudah dimaafkan. Tapi besok-besok jangan ngambek lagi, ya?”
Irvan meringis. Ekspresinya menggemaskan sekali!
* * *
Keesokan harinya, menjelang pukul dua siang, laporan yang harus kukerjakan sudah kuserahkan pada Pak Heddy. Ia menjanjikan nanti akan memberitahu apakah laporanku akan di-ACC atau tidak menjelang jam bubaran kantor. Berhubung pekerjaanku sudah beres, maka aku mencari Mas Hasto. Ia kutemukan sedang berbincang dengan Pak Yoga, kepala pabrik Divisi Rubber.
Eternal Rubberplast memang dibagi menjadi dua divisi, yaitu Divisi Rubber – yang dikepalai Pak Adnan, dan Divisi Plast – yang dikepalai Pak Heddy. Selama tiga bulan ini, sesuai dengan penempatan dari Om Nor, maka posisiku ada di Divisi Plast, sementara Mas Hasto di Rubber. Nanti tiga bulan berikutnya kami akan bertukar tempat. Meskipun begitu, kami tidak boleh lepas tangan begitu saja dari divisi lainnya. Setiap ada kesempatan harus belajar, ya, harus belajar meskipun harus lintas divisi.
Mas Hasto melambaikan tangannya ketika melihat kehadiranku. Beberapa saat kemudian kami bertiga sudah terlibat dalam pembicaraan yang mengasyikkan soal kondisi perusahaan. Aku berkesempatan untuk menceritakan apa yang sudah kulihat tentang pabrik baru kami di Sidoarjo. Mas Hasto dan Pak Yoga antusias sekali menanggapi penuturanku.
Dan di ujung jam kerja, aku lega sekali ketika mengetahui bahwa Pak Heddy meng-ACC laporanku tanpa catatan. Bahkan ia memuji kecepatan dan ketelitianku dalam mengerjakan laporan itu.
“Saya ACC dengan pujian bukan karena Mbak Riri salah satu ahli waris Eternal Corp., lho, Mbak,” senyum Pak Heddy. “Tapi karena memang apa yang sudah Mbak kerjakan itu sudah benar, bahkan melebihi ekspektasi. Sesuai dengan pesan Pak Norman, baik Mbak Riri maupun Mas Hasto tidak boleh diistimewakan. Kalau salah, ya, salah. Kalau menerima pujian, ya, memang pantas menerima pujian. Semoga betah di sini, ya, Mbak Riri. Eternal Corp. sudah terlalu besar untuk dikendalikan sendirian oleh Pak Norman. Butuh bantuan generasi baru agar semua yang sudah dirintis ini bisa bertahan.”
‘Ceramah’ singkat Pak Heddy berujung tepat pada berakhirnya jam kantor. Beberapa menit kemudian aku sudah keluar dari lobi dan melangkah ke tempat parkir. Mas Hasto sudah duduk menunggu di belakang kemudi mobilku ketika aku sampai di sana. Tadi pagi ia memang numpang mobilku karena mobil yang biasa ia pakai katanya harus masuk bengkel. Motornya ditinggalkan di garasi rumah Eyang. Dan sepanjang hari ini kunci mobilku memang dipegang olehnya.
Mas Hasto segera meluncurkan mobil keluar dari area Eternal Rubberplast begitu aku duduk manis di sebelahnya. Pada lampu merah pertama yang kami temui, ia menoleh sekilas padaku.
“Pluk, semalam Irvan meneleponku, minta tolong untuk drop kamu sore ini di Godhong Gedhang,” ujarnya. “Dia sebetulnya ingin menjemputmu, tapi baru bisa free di atas jam lima. Kelamaan kamu menunggunya.”
Aku mengerutkan kening. “Gimana dia bisa tahu hari ini kita pulang bareng?”
Seketika Mas Hasto meringis. Hm... Aku sepertinya mulai mencium bau persekongkolan.
“Oh... Jadi mobil Mas Hasto masuk bengkel itu cuma alasan jadi-jadian?” sindirku.
“Hehehe...,” Mas Hasto terkekeh.
Aku menggelengkan kepala. Sedetik kemudian kucari ponsel di tasku. Ketika benda itu kukeluarkan, Mas Hasto kembali menoleh sekilas.
“Mau ngapain?”
“Telepon Kakung-lah...,” jawabku.
“Nggak usah,” sergah Mas Hasto. “Kakung sama Uti sudah tahu, kok.”
Aku melongo. Oh... Jadi ini konspirasi tingkat tinggi? Hm...
“Mau ngapain, sih, dia?” protesku. “Padahal kemarin dia juga ke rumah. Malah sempat masak gado-gado segala.”
“Nggak tahu,” Mas Hasto mengangkat bahu. “Mau melamarmu, barangkali...”
“Haish...,” gerutuku. “Belumlah. Masih jauh, Mas. Baru mulai.”
Mas Hasto tergelak ringan.
* * *
Tujuan akhir ‘konspirasi’ itu ternyata tak hanya berakhir di Godhong Gedhang. Melainkan langsung berlanjut ke suatu tempat. Irvan mengemudikan mobilnya sambil berisul-siul.
“Sebetulnya mau ke mana, sih?” penasaranku berlanjut.
“Ke rumah,” Irvan mengulum senyum. “Makan malam bareng keluarga.”
“Hah?” aku terlonjak kaget.
“Nggak usah kartun banget gitu juga ‘kali, Ri,” Irvan menyambungnya dengan gelak ringan.
Aku mendesah. “Ah... Kok, Mas Irvan nggak bilang dari kemarin, sih? Tahu gitu, kan, aku bawa baju ganti. Aku bisa numpang mandi dulu di kantor.”
“Aduh, Ri... Nggak usah panik gitu,” suara Irvan terdenngar menenangkan sekali. “Santai saja. Ini juga acara santai, kok. Dulu kami biasa makan malam bersama. Tapi sejak kami semua mulai besar dan punya kesibukan sendiri-sendiri, bahkan kami ada yang kuliah di Singapura, Amerika, Aussie, jadi bubar jalan. Apalagi kemudian Papa dan aku ada crash. Tapi sekarang, kan, kami semua sudah lengkap ada di sini. Hubunganku dengan Papa membaik. Jadi kami ingin menghidupkan lagi suasana hangat itu. Paling tidak sebulan sekali. Tiap Kamis sore. Dimulai dari hari ini.”
“Oh... Eh, tapi itu, kan, acara keluarga. Aku...”
“Keluarga dan calon keluarga,” senyum Irvan melebar. “Hari ini juga Mbak Arsita akan memperkenalkan pacarnya secara resmi. Aku ikutanlah. Walaupun kamu sudah kenal seluruh keluargaku, tapi, kan, belum dinyatakan di forum resmi, hehehe...”
Aku kehilangan kata. Tapi kudapatkan satu lagi kepingan puzzle. Irvan ternyata serius! Dan kepingan puzzle itu membuat jantungku benar-benar berdebar kencang.
“Mas Irvan... benar-benar... serius... denganku?”
Hening sejenak. Irvan membelokkan mobil masuk ke carport sebuah rumah yang sangat apik. Tidak terlalu mewah dan besar, tapi sangat elegan dan berkelas. Pintu pagarnya terbuka lebar seolah ingin menyambut dengan hangat tamu yang datang hari ini. Inikah rumahnya?
Mas Irvan mematikan mesin mobil begitu berhenti di depan pintu garasi. Ia menoleh ke arahku. Menatapku dalam.
“Ri, aku sudah menunggumu sekian lama,” ucapnya halus.
Tiba-tiba saja aku teringat lukisan diriku di ruang kerjanya di Godhong Gedhang.
“Aku tak tahu kenapa ingin sekali dan merasa harus menunggumu,” lanjutnya. “Aku tak bisa menjabarkan itu. Tapi seperti yang sudah pernah kubilang, bagiku kamu adalah separuh diriku. Kelebihanmu menutup kekuranganku, dan kekuranganmu akan menyerap kelebihanku agar semuanya seimbang. Karenanya aku serius, Ri. Sangat serius.”
Aku tertegun. Cuma ada kejujuran dan harapan dalam matanya. Sedetik kemudian aku tersenyum.
“Terima kasih...,” hanya itu yang mampu kubisikkan.
Ia mengangguk. Lalu tatapannya berubah jenaka.
“Miss Cempluk,” ucapnya dengan mata berbinar. “Will you marry me? Someday. At the right time?”
Dan sebuah cincin tiba-tiba saja sudah berada di antara jemarinya. Cincin emas putih dengan permata mungil. Entah dari mana datangnya benda itu. Seketika aku menutup mulut dengan kedua tanganku. Dengan lembut ia menarik jemari kiriku dan menyisipkan cincin itu pada jari manisku.
“Nilaimu jauh melebihi cincin ini,” gumamnya. “Tapi aku belum punya uang lebih untuk membeli yang jauh lebih bagus, yang memang sudah sepantasnya untukmu.”
Belum lagi aku buka suara, sebuah ketukan di jendela sebelah kanan mobil mengagetkan kami. Cukup keras. Membuat kami menoleh seketika.
“Hayo! Ngapain kalian ini?” seru Pak Banyu.
Irvan langsung menggerutu sambil membuka pintu, “Papa ini kayak nggak pernah muda saja.”
Pak Banyu terbahak keras mendengarnya. Kami kemudian mengekor di belakang Pak Banyu. Masuk ke dalam rumah.
Di tengah langkah itu, Irvan berbisik di telingaku, “Aku sayang padamu, jadi boleh aku memanggilmu Cempluk?”
Seketika, seperti ada ledakan dan taburan confetti warna-warni di sekelilingku.
* * *
Temenana aq cintah soro kambek cerbung iki.
BalasHapusLope lope !
😍😍😍
Hapusuntung selama pacaran, aku gak punya panggilan "sayang"...
BalasHapus#legaaaaaa
Kurang seruuu 😏😏😏
HapusGood post mbak , di tunggu jadi buku, dan saya dicatat pesan number one lho he he
BalasHapusSiap, Pak! Cateeet... 👌
HapusKereeennn.......aq ikutan dicatet ya mBak Lizz...... 👍
BalasHapusHahaha... Kayaknya masih lama lho, Mbak 😁
HapusSenangnya membaca episod kali ini. Like it
BalasHapusMakasih banget, Mas Pical... 😊
HapusKlo dadi rabi resepsine bakal irit iki. Gedunge teko eternal,katering teko godhong gedhang, suvenir teko eternal rubberplast, live show teko tvne pak Banyu lha musike teko orkes musik klasike Cempluk sing ben dino mingggu iku :p
BalasHapusHahaha... Assoy iki idene Mas Diar! 👍👍👍
Hapus