Senin, 25 Juli 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #17-1







* * *


Tujuh Belas


Wajah Om Nor tampak datar walau masih seramah biasanya. Beliau memintaku menunggu sebentar sampai pekerjaannya selesai. Aku pun duduk dengan diam dan manis di atas sofa supaya tidak mengganggu Om Nor yang masih sibuk di mejanya. Tengah aku menunggu, Mas Hasto datang dan langsung duduk di sebelahku.

“Ada apa?” bisiknya.

Aku mengangkat bahu. Mas Hasto membundarkan bibirnya.

“Kalian sudah makan siang?”

Mas Hasto dan aku sama-sama menoleh Om Nor berjalan menghampiri kami.

“Belum sempat, Om,” Mas Hasto menggeleng.

Om Nor mengalihkan tatapan bertanya padaku.

“Sama, Om,” aku meringis.

“Ayo, kita bicara sambil makan saja,” senyum Om Nor.

Tak lama kemudian kami bertiga sudah berjalan keluar dari kantor Eternal Corp., menuju ke sebuah restoran kecil di sebelahnya. Setelah urusan memesan makanan dan minuman selesai, Om Nor bergantian menatapku dan Mas Hasto yang duduk di depan beliau.

“Hasto, Cempluk,” Om Nor terlihat begitu serius. “Beberapa waktu lalu, waktu Cempluk masih baru sekali di tempat kita, aku sengaja memasangkan kalian untuk melihat sejauh mana kalian bisa bekerja sama. Ternyata hasilnya sangat positif. Kinerja Hasto meningkat, dan Cempluk juga begitu. Tapi ketika kalian kupisahkan dan Cempluk kutaruh di bawah Jani, kinerja Hasto mengendur, dan Cempluk juga kemajuannya tidak sepesat ketika masih berada di bawah Hasto. Bagaimana ini?”

Mas Hasto dan aku terdiam hingga Mas Hasto mencoba untuk menjawabnya.

“Jujur, Om, aku merasa Cempluk dan aku bisa bekerja sama dengan sangat baik. aku merasa terbantu dengan adanya Cempluk sehingga bisa lebih konsentrasi untuk mengurus hal-hal lain. Yang ditangani Cempluk juga beres. Cempluk pembelajar yang sangat cepat. Jadi ketika Cempluk pindah, ya, aku cukup pontang-panting. Mohon maaf, Om.”

Tatapan Om Nor beralih padaku. “Kalau kamu diberi kesempatan untuk memilih, kamu lebih senang berada di bawah Mbak Jani atau Mas Hasto, Pluk?”

Dan tanpa ragu aku menjawabnya, “Mas Hasto, Om.”

“Kenapa?”

“Karena aku merasa Mas Hasto lebih mempercayai kemampuanku, Om. Jadi dalam bekerja aku bisa lebih yakin bahwa yang kukerjakan benar, asal sesuai dengan petunjuk Mas Hasto.”

“Hm...,” Om Nor mengerucutkan bibirnya.

Saat itu salah seorang pramusaji membawakan pesanan minuman kami. Ada jeda sejenak yang kugunakan untuk menarik napas lega. Jadi bukan karena SP itu... Tapi kupikir sebetulnya Om Nor sudah tahu akan hal itu. Ketika pramusaji itu berlalu, pembicaraan kami berlanjut.

“Aku berencana menugaskan kalian untuk mulai masuk ke Rubberplast,” ucap Om Nor sambil kembali menatap Mas Hasto dan aku bergantian. “Erwin sudah kutaruh di Sidoarjo. Di sini, sementara aku yang pegang kembali kendalinya. Tapi tidak selamanya bisa begitu. Makanya kalian harus masuk. Dan saat yang tepat adalah sekarang. Bagaimana?”

Dan aku segera menyetujuinya tanpa berpikir lagi. Lepas dari Mbak Jani bagaikan mimpi buatku. Sesungguhnya, Mbak Jani sama sekali bukan pemimpin yang buruk. Ia bahkan cukup sempurna. Hanya saja aku merasa lebih cocok dengan cara Mas Hasto.

Mas Hasto sendiri sebenarnya sangat teliti dan cukup perfeksionis. Tapi ia percaya padaku. Percaya pada kemampuanku. Ia membimbingku tanpa aku merasa ditekan. Dengan begitu aku justru bisa menyerap banyak pelajaran dengan lebih baik.

“Kalau aku, Om,” ucap Mas Hasto, halus, “Di mana pun aku ditempatkan, aku siap. Apalagi kalau harus berpasangan dengan Cempluk. Kami bisa sama-sama belajar untuk menemukan pola yang pas. Saling mengingatkan dan mempelajari. Aku sendiri yakin bahwa Cempluk punya kemampuan untuk memimpin. Asal diberi kesempatan. Diberi kepercayaan.”

“Hm...,” Om Nor manggut-manggut. “Jadi oke, ya, kalian mulai ngantor di Rubberplast mulai Senin depan. Masih di bawahku, karena kalian masih harus belajar lebih banyak lagi. Dan sekarang, sebaiknya kita makan dulu.”

Senyum Om Nor mengiringi datangnya pramusaji yang membawa pesanan makanan kami. Selanjutnya, kami mengobrol dengan lebih santai sambil makan. Pembicaraan jadi melebar ke mana-mana. Tapi...

“Pluk, aku dengar kamu dapat SP hari ini?” suara Om Nor terdengar lembut dan wajahnya tetap terlihat sabar. “Kenapa bisa begitu?”

“Hm... Itu...”

Lalu aku menceritakan semuanya. Tentang kerinduanku pada Papa dan Mama. Pada kebersamaan keluarga kami. Tentang chatting-ku dengan Papa yang berlangsung hingga dini hari. Yang berimbas pada keterlambatanku untuk bangun pagi.

“Ya, bagaimanapun aku tetap salah, Om. Justru sebagai cucu Kakung dan keponakan Om, harusnya aku memberi contoh yang baik,” pungkasku.

“Seharusnya nggak perlulah sampai dapat SP,” gerutu Mas Hasto. “Lagipula, kan, kamu juga sering lembur sampai malam, Pluk. Harusnya itu juga dilihat sebagai kompensasi, dong. Apalagi lembur nggak lembur juga gajimu tetap sama.”

“Ya, itu caramu, Tok,” senyum Om Nor. “Mbakmu punya kebijakan lain. Oh ya,” tatapan Om Nor beralih padaku, “Aku sedang mempertimbangkan untuk memberimu cuti di luar tanggungan perusahaan, Pluk. Artinya kamu boleh cuti tapi nggak berhak terima gaji. Kamu kelihatannya butuh untuk bertemu papa-mamamu.”

Aku menatap Om Nor. Lama.

* * *

Kening Mbak Jani berkerut dalam ketika menatapku. Baru saja aku melaporkan hasil pertemuanku dengan Om Nor. Hasilnya? Ia benar-benar menatapku dengan pandangan skeptis.

“Kamu itu belum banyak belajar,” gumam Mbak Jani sambil menggelengkan kepala.

“Tapi Om Nor bersedia mempercayaiku, Mbak,” kali ini aku memberanikan diri untuk mencoba menjawabnya. “Dan beliau bisa melihat bahwa aku bisa lebih baik bekerja sama dengan Mas Hasto.”

Mbak Jani mengangkat bahu. Wajahnya terlihat masih tak puas. Tapi mau bagaimana lagi? Om Nor sebagai atasan tertinggi di Eternal Corp. sudah memutuskan penempatanku berikutnya. Dan sejujurnya, aku senang sekali bisa lepas dari Mbak Jani yang mulai terasa membelengguku.

Tapi tetap saja harus ada harga yang kubayar. Aku wajib menyelesaikan pekerjaanku di Beverages sebelum pindah ke Rubberplast. Mbak Jani tak mau tahu. Pekerjaan dua minggu terhitung hingga akhir bulan ini harus aku kebut dalam waktu tiga hari. Aku sakti, bukan?

Aku tahu Kakung dan Uti menatapku khawatir karena aku belum akan sampai di rumah kalau belum jam sepuluh malam. Uti sudah akan menelepon Mbak Jani untuk mengajukan protes, tapi aku berhasil mencegahnya.

“Cuma tiga hari ini, Ti,” bujukku. “Sabar...”

Sorot mata tak puas langsung terpancar dari mata Uti. Aku menanggapinya dengan nyengir sesaat. Menunjukkan bahwa aku baik-baik saja. Kakung menggelengkan kepala.

Dan ketika Sabtu malam tiba, aku seolah mendapatkan kemerdekaanku kembali. Pekerjaanku sudah selesai dengan sempurna. Arlojiku menunjukkan pukul tujuh petang. Sebelum pulang, aku bermaksud untuk mampir ke Godhong Gedhang. Diam-diam ada kerinduan di hatiku pada tempat itu.

* * *

Dari luar, kulihat Godhong Gedhang sudah lengang. Bisa jadi akan tutup lebih cepat karena banyaknya pelanggan sepanjang hari tadi. Sudah pernah beberapa kali terjadi seperti itu. Lampu teras sudah dimatikan, tapi di dalam masih menyala. Setelah menekan tombol alarm mobil, aku pun bergegas menyeberangi tempat parkir.

“Maaf, sudah tutup, Mbak...”

Seorang pramusaji menatapku yang menyelonong masuk begitu saja. Sepertinya ia anak baru. Tapi pramusaji yang lain segera menyerukan namaku.

“Mbak Riri! Cari Mas Irvan, ya? Ada di kantor.”

Aku sempat terkejut. Kutatap Adi, pramusaji itu.

“Mas Irvan sudah masuk kerja? Sejak kapan?”

Adi terlihat ragu-ragu. Ia menggeleng pelan.

“Belum kerja, sih, Mbak. Baru siang tadi kelihatan lagi. Itu pun langsung masuk kantor dan nggak keluar-keluar lagi. Sebetulnya kami agak khawatir. Mas Irvan kelihatannya belum pulih betul.”

Hm... Aku segera melangkah ke arah kantor Irvan setelah mengucapkan terima kasih pada Adi. Setelah tiga kali mengetuk pelan pintu kantor Irvan dan tidak mendapat jawaban apa pun, aku pun menyelinap.

Ia mengangkat wajahnya dari layar laptop ketika aku masuk. Aku tersenyum, tapi ia tidak. Senyumku pun langsung lenyap. Apalagi ketika suara dinginnya menyapu telingaku.

“Kenapa kamu bohong padaku?”

Aku tertegun. Pelan-pelan, tulang punggungku bagai ditempeli balok es ukuran raksasa. Terasa dingin.

Beku.

Ngilu.

* * *




Cerpen selingan sebelum tayangan ini :



8 komentar:

  1. Haduuu ......
    Endinge part iki lhoh garai gaisok turu !
    Mb Lis rek ......
    Kambek dicut barangi lhoh !

    # nyokot lengene papae arek" meneh #

    BalasHapus
    Balasan
    1. Ati-ati mbokcokoti terus suwe-suwe diulihno ng Suroboyo lho dirimu 😚

      Hapus
  2. ada apa ini ada apa ini ada apa iniiiiiii....

    #nyerbumasuk
    #ngajaksatpam

    BalasHapus
    Balasan
    1. Sing katut malah hantu Dunkirk, hihihi...

      *iki ngomong opo seh???* 😱

      Hapus
  3. Balasan
    1. Lanjutannya udah tayang ya, Mas Pical... 😉

      Hapus