* * *
Lima Belas
Profesional, Riri! Profesional!
Setengah mati aku berusaha memusatkan pikiran pada sisa pekerjaan di Surabaya. Tidak ada tempat untuk keseleo sedikit pun. Justru karena aku keponakan dari Big Boss, maka aku tak ingin sedikit pun merusak reputasi Big Boss dan nama baikku sendiri.
Jujur, aku ingin menghubungi Bu Mawarni. Tapi rasa ragu-ragu dalam hatiku lebih mendominasi. Sehingga pada akhirnya aku berhasil menunggu hingga hari Selasa tiba. Aku tidak menghubunginya melalui SMS setelah aku mendarat di Tangerang, tapi sebelum aku terbang. Balasannya aku tak tahu. Karena setelah SMS itu terkirim, aku segera alihkan ponselku ke mode pesawat.
Sepanjang penerbangan Juanda – Sukarno-Hatta, hatiku diliputi resah yang luar biasa. Kekhawatiranku cukup beralasan. Ada kemungkinan kasak-kusuk antara Bu Mawarni, Eyang, dan aku soal pengambilalihan hutang Irvan mulai tercium. Irvan pasti marah. Tak mungkin marah hebat pada Eyang. Dia pasti segan. Kemungkinan besar marahnya akan tertumpah pada mamanya dan aku. Membayangkannya saja aku jadi ngeri sendiri.
“Sebenarnya ada apa, Pluk?”
Aku tersentak ketika mendengar suara rendah Om Nor. Aku menoleh sekilas, kemudian menggeleng.
“Sepulang kita dari Taman Safari, kulihat kamu nggak lepas seperti biasanya,” usik Om Nor lagi.
Aku tetap menggeleng.
“Kalau ada apa-apa, sebaiknya kamu ungkapkan, Pluk,” ada nada menegur yang begitu halus dalam suara Om Nor. “Kamu punya banyak ganti papa-mamamu di sini.”
“Iya, Om,” desahku. “Aku coba hadapi dulu apa yang harus kuhadapi.”
“Bukan masalah kerjaan, kan?”
“Bukan, Om,” tegasku.
“Jangan sungkan untuk curhat, ya? Benar, lho!”
“Iya, Om. Terima kasih banyak.”
Lalu aku kembali tenggelam dalam resahku sendiri. Resah dalam hening. Diam-diam kurasakan penerbangan sekitar dua jam ini adalah penerbangan terlama yang pernah kualami.
Dan akhirnya kami mendarat juga. Sambil berjalan keluar, Om Nor menoleh ke arahku.
“Hari ini kamu nggak usah ngantor, Pluk,” ucap Om Nor. “Kamu langsung pulang saja. Tadi di Juanda aku sudah hubungi Kakung, supaya mengirim Wahid untuk menjemputmu.”
“Lha, Om sendiri?” aku mengerutkan kening.
“Aku sudah ada yang menjemput. Nanti aku mau mampir ke kantor dulu sebentar.”
“Wah, Om! Mosok boss-nya ngantor, anak buahnya malah pulang?”
“Ya, nggak apa-apa, to? Kan, anak buah harus pulang itu perintah boss juga,” Om Nor mengakhiri ucapannya dengan gelak ringan, membuatku ikut terkekeh.
Beberapa belas menit kemudian aku sudah duduk manis di jok belakang sedan Kakung yang dikemudikan Pak Wahid. Ketika kami meluncur pelan meninggalkan area bandara, tiba-tiba saja aku teringat nasib ponselku. Buru-buru kucari benda itu di dalam tas. Begitu ketemu, aku segera mengembalikannya ke mode normal.
Jantungku berdebar cukup kencang ketika ada SMS masuk. Jemariku agak gemetaran ketika membuka SMS itu.
Kira-kira Riri mendarat jam berapa? Nanti Ibu kirim jemputan di bandara.
Waduh, gawat! Jangan-jangan jemputan dari Bu Mawarni justru ketinggalan di bandara? Secepatnya kuhubungi Bu Mawarni. Sebelum nada sambung kedua, beliau sudah menjawab telepon dariku.
“Riri?”
“Ya, Bu. Selamat pagi...”
“Pagi, Ri. Kamu ada di mana sekarang? Sudah mendarat?”
“Maaf, Bu, saya baru saja tahu ada SMS balasan dari Ibu. Saya sudah mendarat, bahkan sudah jalan mau pulang. Dijemput Pak Wahid, sopir Eyang.”
“Oh..."
“Ibu di mana? Nggak di bandara, kan?”
“Enggak, enggak, Ri. Hm... Ibu sedang di Eternal Husada. Riri bisa ke sini?”
“Hah?” aku sedikit terlonjak. “Ibu sakit?”
Jangan-jangan gara-gara Irvan marah, Bu Mawarni jadi sakit? Aduuuh... Dobel ruwet, maaak!
“Riri ke sini sebentar, ya? Bisa?”
“Bisa, Bu, bisa. Saya segera ke sana.”
“Terima kasih, Riri.”
“Sama-sama, Ibu.”
Begitu hubungan itu terputus, aku mencoba untuk memencet angka sembilan. Nihil. Ponsel Irvan mati. Ketika kuhubungi Godhong Gedhang, jawaban yang kuterima pun tak memuaskan. Irvan tidak ada di sana. Oh my...
“Mbak, maaf, Mbak... Mbak Riri mau langsung pulang?” Pada sebuah perhentian lampu merah, Pak Wahid menatapku melalui spion tengah.
“Oh, eh, hm...,” sejenak aku tergeragap. “Ini, Pak Wahid, tolong, antar aku ke Eternal Husada.”
Pak Wahid mengangguk.
Setengah jam kemudian aku sudah memasuki lobi Rumah Sakit Eternal Husada dengan langkah lebar. Langsung kutuju meja resepsionis. Tadi ketika sedang meluncur ke sini, aku sempat mengirim SMS pada Bu Mawarni, menanyakan di kamar berapa beliau dirawat. Tapi SMS-ku tak berbalas, sampai sekarang. Kemudian kusempatkan menelepon beliau. Tapi ponselnya mati.
“Selamat pagi, Bu,” sambut resepsionis dengan senyum ramahnya. “Ada yang bisa kami bantu?”
“Selamat pagi. Iya, Mbak,” anggukku. “Saya mencari kamar rawat Ibu Mawarni Wibowo. Kemungkinan di kelas-kelas utama. Bisa minta tolong dicarikan infonya?”
“Oh, ya, tunggu sebentar, ya, Bu?”
Resepsionis manis dengan name tag Linda R. itu segera mengetikkan sesuatu pada keyboard di hadapannya. Kulihat ia mengerutkan kening sebelum mengetik lagi. Sejenak kemudian ia mengangkat wajahnya. Menatapku.
“Mohon maaf, Bu,” ucapnya halus. “Di ruang kelas 1 tidak tercatat ada pasien atas nama Ibu Mawarni Wibowo. Di kelas VIP ada Wibowo, tapi laki-laki. Bapak Sunarto Harjo Wibowo...”
Aku menggeleng dan menggumam, “Bukan...”
“... Di Pavilyun Silvera nihil. Di Pavilyun Kencana ada satu lagi Wibowo. Laki-laki juga. Bapak Irvan Wibowo.”
“Oh...,” aku menggeleng lagi. Tapi aku segera tersentak. “Eh, siapa? Irvan Wibowo? Ir-van Wi-bo-wo?”
“Betul, Bu,” angguk resepsionis itu. Mantap.
Seketika jantungku serasa berhenti berdetak. Irvan Wibowo, katanya?
“Pavilyun Kencana, kamar delapan,” jelas resepsionis itu tanpa ampun.
Seluruh isi kepalaku seolah menguap. Jangan Irvan Wibowo-ku... Jangan!
“Ri...”
Aku menoleh. Seseorang mendatangiku dengan langkah tergesa. Ibu Mawarni Wibowo. Harapanku pupus seketika.
* * *
Airmataku meleleh ketika melihatnya terbaring dalam diam. Demam berdarah yang hampir terlambat untuk ditangani karena Irvan sengaja mengabaikan gejalanya karena banyak pekerjaan yang harus diselesaikan. Tangan Bu Mawarni mengelus bahuku.
“Minggu lalu dia demam tinggi berhari-hari,” bisik Bu Mawarni. “Tapi tetap beraktivitas seperti biasa. Waktu acara lamaran kakaknya, demamnya sudah turun, tapi dia makin lemah. Dia bertahan sampai acara selesai. Sorenya dia hampir pingsan. Kami bawa ke sini. Harus dirawat karena positif DB. Memang lagi musim.”
Kuhela napas panjang setelah mendengar penuturan Bu Mawarni. Pelan, kugenggam telapak tangan kanan Irvan. Terasa agak dingin dan lembab.
“Sebetulnya dia tak ingin Riri tahu,” lanjut Bu Mawarni, tetap berbisik. “Makanya hari Minggu kemarin dia mematikan ponsel setelah Riri coba menghubungi.”
Aku termangu. Bu Mawarni kemudian pamit untuk keluar. Kelihatannya sengaja memberiku kesempatan agar berdua saja dengan Irvan dalam ruangan ini. Kutatap lagi Irvan. Wajahnya tampak pucat dan letih. Sedikit lebih tirus daripada biasanya.
Mendadak aku tersentak ketika merasa ada remasan halus pada tanganku. Pelan, mata Irvan mengerjap dan terbuka. Sayu. Sesaat kemudian, fokusnya jatuh padaku.
“Ri...,” bisiknya, nyaris tanpa suara. “Sudah pulang?”
Aku mengangguk dengan leher terasa sakit. Tangannya makin erat menggenggam tanganku.
“Sudah...,” ucapku serak.
“Kamu pergi nggak pamit,” desahnya.
“Kan, Mas Irvan sendiri yang bilang, supaya nggak menghubungi Mas sebelum acara lamaran Mbak Erina selesai,” sesalku.
Irvan tersenyum sedikit.
“Mas Irvan tidur saja,” kuelus pipinya. “Istirahat. Aku tungguin di sini. Aku nggak akan ke mana-mana.”
“Nggak kerja?”
Aku menggeleng. “Big Boss kasih aku libur sehari ini.”
Irvan kembali mengatupkan matanya. Tapi sedetik kemudian matanya terbuka lagi.
“Ri... Bisa minta tolong?”
“Apa?”
“Kalau sempat, tolong, mampirlah ke Godhong Gedhang. Cek semua yang di sana. Minta laporan dari Teddy. Bisa?”
“Bisa,” anggukku. “Tapi nanti, ya? Ayo, merem lagi.”
Irvan tersenyum sambil mengatupkan kembali matanya.
Dadaku sesak. Sangat. Dihantam perasaan khawatir walaupun aku tahu Irvan sudah mendapatkan perawatan terbaik di sini. Sedikit demi sedikit genggamannya pada telapak tanganku melonggar. Ia sudah terlelap lagi. Pelan kusandarkan punggungku. Masih menatapnya dengan berbagai perasaan campur aduk jadi satu.
“Riri...”
Aku tersentak dan seketika menegakkan punggung ketika kudengar panggilan lirih itu.
“Bisa kita bicara sebentar?”
Aku menoleh. Pak Banyu Wibowo tengah menatapku.
Resah.
Penuh harap.
* * *
Uwaaaaaa motonge !
BalasHapusGarai tamba penasaran to the max mbaaaaa
#gemes nyokot lengene papae arek"
Haikikik... Nyokot-nyokot, ati-ati dibanting yang dipertuan agung lhooo... 😆
HapusHiuh bojo ayu ngene mosok kape dibanting Nya? Kape tasayang-sayang ae wkkkkkk
Hapus#sue-sue awak benjol dibalang getuk
Lanjuttt...
BalasHapusMakasih, Mas Pical... 😊
Hapusgood post mbak
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur... 😊
HapusKeren bangets............
BalasHapusMakasih mampirnya ya, Mbak Dewi... 😊
HapusDB itu penyakit yg bikin nyesek banget...
BalasHapus#salahfokus
Opo neh nek parah...
Hapus*tak'tambahi salah fokuse* 😁
Aku curiga pak Banyu mau ngutang, soalnya lagi resah dan penuh harap wkwkwk....aku tak nang episode 15-2 yo mbak ^_^
BalasHapus