Kamis, 14 Juli 2016

[Cerbung] Miss Cempluk #14-1






* * *


Empat Belas


Ada beban dalam setiap langkah Irvan menuju ke bagian depan Godhong Gedhang. Tangan kanannya menggenggam erat tangan kiriku. Sebenarnya aku agak enggan menemaninya ke depan. Bukan karena aku tak mau ‘ikut susah’ bersamanya, tapi karena sebetulnya aku belum siap untuk bertemu muka dengan orang tua Irvan, terutama Pak Banyu Wibowo itu. Tapi mengingat kemungkinan kehadiranku dapat mengurangi ketegangan yang bisa jadi timbul antara Irvan dan ayahnya, maka aku pun mengangguk ketika Irvan memintaku untuk ikut menemui orang tuanya.

Aku sempat menahan napas ketika melihat Irvan menghela napas panjang sebelum memantapkan langkah mendekati tempat Pak Banyu dan Bu Mawarni duduk menunggu. Tatapanku bersirobok dengan tatapan Bu Mawarni. Secara tersamar ia beberapa kali mengetukkan jari telunjuk kanannya di depan bibir. Aku mengangguk tak kentara, mengerti kodenya.

Dalam hitungan detik, kami sudah sampai di depan mereka. Dengan nada datar Irvan memperkenalkan aku pada kedua orang tuanya. Pak Banyu menyambut uluran tanganku dengan sikap agak dingin, sementara Bu Mawarni tetap dengan sikap hangatnya walaupun berpura-pura tak mengenalku. Irvan segera menarik kursi tepat di seberang Bu Mawarni untukku.

Baru kali ini aku melihat dengan mata kepalaku sendiri bagaimana sosok laki-laki bernama Banyu Wibowo ini. Ia tinggi besar, sama persis dengan perawakan Irvan. Terlihat berwibawa, sesuai namanya. Tak seganteng anak bungsunya, karena kelihatannya garis wajah Irvan lebih banyak menurun dari Bu Mawarni. Tapi auranya sungguh berlawanan dengan si anak bungsu. Kalau keseluruhan diri Irvan menyiratkan keteduhan, sama dengan ibunya, maka ayahnya terlihat agak ‘menyeramkan’.

Diam-diam aku membandingkannya dengan sosok Kakung dan Om Nor. Alangkah berbedanya! Kuperkirakan Banyu Wibowo ini tidaklah lebih kaya daripada Kakung. Tapi penampilannya sungguh bertolak belakang. Ada kesan mewah dalam dirinya. Tidak sesederhana penampilan Kakung ataupun Om Nor. Pelan, kuhela napas panjang.

“Sebenarnya ini masalah pribadi,” ucap Pak Banyu begitu saja. Sama sekali tanpa pendahuluan. Sambil tatapannya sekilas menyapuku. “Belum perlu ada orang luar yang...”

“Riri bukan orang luar, Pa,” sergah Irvan. Lugas. “Aku adalah Godhong Gedhang. Sedangkan Riri ada andil di Godhong Gedhang ini.”

Pak Banyu mengedikkan bahu dengan sikap meremehkan. Ia kemudian menatapku.

“Jadi kamu berhasil membelinya seharga tiga milyar?” Pak Banyu menyipitkan sebelah mata.

Bu Mawarni langsung meremas lembut lengan Pak Banyu. Tapi kelihatannya laki-laki keras kepala itu tak terlalu terpengaruh.

“Itu pinjaman, Pak,” aku menentang tatapan mata Pak Banyu. “Sama sekali bukan pemberian dan pembelian. Lagipula itu bukan uang saya. Itu uang kakek saya.”

“Hm...,” Pak Banyu menyandarkan punggungnya. Tatapannya tajam menyambar Irvan. “Jadi sekarang kamu berlindung di balik ketiak seorang perempuan, Van?”

Aku tak berani menoleh untuk mencari ekspresi Irvan. Tapi satu hal yang aku tahu, hatiku luar biasa sakitnya mendengar ada seorang ayah yang merendahkan darah dagingnya sendiri sedemikian rupa. Seketika itu juga aku menyadari bahwa aku ada di tempat dan waktu yang salah.

“Sebenarnya apa mau Papa?” suara Irvan terdengar datar, seolah tanpa emosi.

“Kamu menyalahi perjanjian,” tandas Pak Banyu.

“Perjanjian mana lagi?”

Bu Mawarni dan aku saling menatap. Sama-sama serba salah. Sama-sama menggelinding pelan ke arah putus asa.

“Perjanjian kita hanya aku meminjam uang Papa untuk mulai usaha,” lanjut Irvan, masih dengan nada datar, “mengembalikannya secara penuh dalam jangka waktu tiga tahun, dan bila aku gagal aku harus meninggalkan semua ini, lalu aku akan masuk ke Press Company sesuai dengan keinginan Papa. Aku menyalahi perjanjian yang mana?”

“Kamu mengikat kontrak dengan Candika!”

“Itu tidak ada dalam perjanjian yang harus kupenuhi,” sambar Irvan. “Justru Papa yang melakukan wanprestasi. Menarik pinjaman yang masih menjadi hakku. Memotong langkahku dengan cara yang tidak semestinya.”

Pak Banyu tak menimpali. Hanya mendengus keras untuk melampiaskan perasaannya.

“Irvan,” ucapan lembut Bu Mawarni seolah berusaha menurunkan suhu atmosfer di sekitar kami. “Pulanglah. Kita bicarakan semua baik-baik di rumah.”

“Apa lagi yang harus dibicarakan?” Irvan menghempaskan punggungnya ke sandaran kursi. “Sampai kapan pun Papa dan aku ada di kutub yang berbeda. Berlawanan. Soal pinjaman itu, kewajibanku sudah selesai.”

“Sebenarnya...,” mata indah Bu Mawarni mengerjap.

“Mama saja yang ngomong,” Pak Banyu berdiri dari duduknya dengan sikap tak sabar. “Sumpek aku ada di sini!” Lalu ia melangkah keluar.

Bu Mawarni mengiringi kepergian Pak Banyu dengan tatapan jengkel, gemas, sedih, dan entah apa lagi. Setelah Pak Banyu menghilang di balik pintu Godhong Gedhang, tatapan Bu Mawarni kembali pada kami.

“Maaf, ya, Nak,” arah manik mata Bu Mawarni jatuh kepadaku, “kamu harus menyaksikan ini.”

“Dia sudah tahu,” timpal Irvan. “Sudah paham.”

Pelan kuinjak salah satu kaki Irvan. Iya, aku tahu Irvan pasti jengkel pada ayahnya. Tapi seharusnya tidak begitu caranya bicara pada sang Mama.

“Perjanjiannya tadi, Mama yang ngomong,” Bu Mawarni beralih menatap Irvan. Dalam. “Tapi kamu tahulah papamu, bawaannya emosi melulu.”

Irvan mendengus pelan.

“Jadi begini, Sabtu dua minggu lagi, kan, mbakmu lamaran, Van. Jadi tolong, kamu pulang. Mama ingin kamu yang menyiapkan semua hidangan. Tidak gratis, Van. Mama bayar. Anggaplah pesanan catering dari Godhong Gedhang.”

Irvan masih diam. Tak menjawab. Tak menanggapi. Aku sendiri juga merasa tidak berkapasitas untuk ikut campur.

“Bisa, ya, Van?”

Perlu waktu beberapa menit lamanya sebelum Irvan mengangguk. Terlihat berat. Tapi gerakan kepala Irvan itu berhasil mencerahkan wajah Bu Mawarni. Digenggamnya tangan Irvan di atas meja.

“Mama sama sekali tidak memintamu memaafkan sikap Papa,” ujar Bu Mawarni, lembut. “Mama tahu selama ini kamu sudah cukup sakit hati.”

“Aku nggak pernah menganggap Papa salah, Ma,” desah Irvan. “Aku tahu tiap orang tua ingin yang terbaik buat anak-anaknya. Kebetulan saja yang dirasa Papa terbaik untukku itu bukanlah sesuatu yang kuyakini. Buatku, Mama selalu mendukungku, itu sudah lebih dari cukup.”

Irvan memeluk erat Bu Mawarni sebelum perempuan itu berpamitan. Sebelum melangkah pergi, ia memegang kedua bahuku. Menatapku dalam.

“Ibu titip Irvan, Ri. Terima kasih, ya?” kemudian ia mengecup lembut keningku.

* * *

Aku segera menelepon Kakung begitu Irvan pamit untuk mandi. Ditinggalkannya aku sendirian dalam ruang kerjanya. Kukatakan pada Kakung bahwa hari ini aku pulang agak malam. Secara ringkas kuceritakan semua yang kualami bersama Irvan. Kakung memahami alasanku untuk menemani Irvan lebih dulu sebelum pulang.

Tak lama setelah aku mengakhiri pembicaraan dengan Kakung, Irvan muncul dengan wajah lebih segar walaupun masih terlihat letih. Ia segera menjatuhkan dirinya di atas sofa, di sebelahku. Direbahkannya kepala pada sandaran sofa.

“Mas, boleh aku tanya?”

“Ya?” Irvan menegakkan kembali kepalanya, kemudian melingkarkan tangan kirinya ke sekeliling bahuku.

“Selama Mas Irvan nggak pulang, Mas Irvan tinggal di mana?”

“Oh... Di apartemen Mbak Erina dan Mas Kelvin. Berhubung mereka belum menikah, aku boleh nebeng di sana.”

“Yang mau lamaran itu siapa? Mbak Erina?”

“Iya. Mbak Arsita, kan, belum punya cowok."

“Oh...”

Irvan melepaskan tangannya ke sekeliling bahuku, kemudian melihat ke arah arlojinya.

“Sudah hampir jam sembilan, Ri. Eyang tahu kamu ke sini?”

Aku mengangguk. “Aku sudah pamit, kok.”

“Kuantar pulang, Ri.”

“Mas Irvan mau langsung ke apartemen?”

Irvan menggeleng. “Aku balik lagi ke sini. Evaluasi dulu. Anak-anak sudah persiapan mau tutup.”

“Ya, kalau begitu, aku pulang sendiri, Mas. Nggak praktislah kalau Mas Irvan harus bolak-balik begitu.”

“Nggak apa-apa, Ri.”

Aku menggeleng. “Mas, aku sudah gede, lho. Bisa pulang sendiri.”

Irvan tersenyum. Ditepuknya kepalaku dengan lembut.

“Ya, sudah, aku pamit dulu,” aku berdiri. “Mas Irvan jangan kurang istirahat. Jaga kesehatan. Aku nggak mau ditegur Ibu gara-gara Mas Irvan sakit karena kecapekan.”

“Iyaaa...,” Irvan menyambungnya dengan tawa ringan.

Ia mengantarku sampai ke tempat parkir. Sebelum aku masuk ke dalam mobil, ia mengecup ringan keningku.

“Terima kasih, ya, Ri,” bisiknya. “Aku nggak tahu akan jadi apa tanpa kamu.”

“Jangan menganggapku terlalu tinggi,” senyumku. “Nanti Mas Irvan bisa kecewa.”

Ia menggeleng. “Tidak akan.”

Lambaian tangannya mengiringiku berlalu dari tempat itu. Dari spion tengah, sekilas aku melihat bahwa ia masih berdiri mematung. Entah apa yang ada di dalam hatinya. Tapi aku tahu apa yang saat ini ada di dalam hatiku.

Rasa perih yang luar biasa.

* * *

10 komentar: