* * *
Rutinitas yang membelitku dengan paksa hampir seminggu ini mulai terurai. Irvan sudah boleh pulang dari rumah sakit dan menjalani rawat jalan di rumahnya. Aku tak harus menghabiskan waktu seusai jam kantor untuk menengoknya. Hanya tinggal menengok kondisi Godhong Gedhang saja untuk memastikan bahwa segala sesuatu di sana berjalan dengan baik, sementara Irvan masih harus banyak istirahat.
Semua partner Irvan di sana bisa menangani semua kondisi dengan baik di bawah komando Teddy. Dari Teddy pula aku tahu bahwa bagi Irvan tidak ada istilah anak buah. Semua dianggapnya partner.
“Mas Irvan memperlakukan kami dengan sangat baik, Mbak,” senyum Teddy. “Dia membuka kesempatan seluasnya-luasnya bagi kami untuk belajar mengelola sebuah restoran dengan baik. Harapan Mas Irvan, kelak bila ada modal dan restoran ini berkembang dengan baik, akan ada cabang-cabang baru di mana kami bisa ikut mengelolanya secara mandiri.”
Satu lagi potongan puzzle diri Irvan kudapatkan. Pembicaraanku dengan Pak Banyu dua hari lalu, pada sore terakhir Irvan di rumah sakit sebelum boleh pulang kemarin siang, mau tak mau kembali berlayar dalam benakku. Pak Banyu memang baik padaku. Tapi apakah akan seperti itu juga sikapnya padaku bila aku bukan cucu seorang Haryanto Supadmo? Maka dengan memberanikan diri, aku menanyakan pada beliau.
Pak Banyu menatapku selama beberapa detik sebelum menjawab pertanyaanku. Dengan wajah sabar dan senyum dikulum.
“Harta itu cuma sarana, Ri,” jawabnya kemudian, dengan nada halus. “Cuma titipan. Kita semua lahir dalam kondisi telanjang. Tanpa terkecuali. Bagi Bapak, yang membedakan seorang itu kaya atau miskin adalah hatinya. Bukan berapa kekayaan yang dia miliki. Bapak sendiri berasal dari keluarga sederhana, lho, Ri. Kalau mama Irvan, ya, memang berasal dari kalangan berpunya. Dari mertua pula Bapak belajar lagi untuk menjadi rendah hati walaupun hidup berkelimpahan. Jadi bagi Bapak, Riri berasal dari keluarga seperti apa pun, tetap sama saja. Karena naluri Bapak mengatakan bahwa Riri perempuan yang baik.”
Seperti ada sebongkah es batu meleleh dalam hatiku. Rasa sejuknya tak terkira. Membuatku menaruh respek lebih tinggi pada Pak Banyu sekeluarga.
“Kami semua berharap Mas Irvan cepat pulih dan kembali ke sini, Mbak.”
Suara Teddy membuatku tersentak.
“Tapi Mas Irvan juga nggak perlu khawatir,” lanjut Teddy. “Kami akan berusaha sekuat tenaga mengelola tempat ini dengan sebaik-baiknya walaupun Mas Irvan belum bisa hadir.”
Aku mengangguk sambil tersenyum. “Pasti akan kusampaikan pada Mas Irvan, Ted. Selama sakit dia juga nggak terlalu kepikiran pekerjaannya di sini, karena dia yakin dengan kemampuan dan kemauan kalian.”
Tak lama kemudian aku pamit pada Teddy. Dalam bayanganku, sepertinya enak sekali sesekali menyempatkan diri berendam air hangat dalam bathup.
* * *
Malam menghening dalam kamarku. Menggelincir menuju pagi. Tapi tanganku masih aktif menari di atas keyboard, sementara mataku menatap layar laptop.
miss.cempluk : Sejujurnya Cempluk agak menyesal langsung pulang begitu semua urusan di Aussie selesai. Seharusnya Cempluk terbang dulu ke Spanyol. Cempluk benar-benar kangen, Pa. Banyak yang Cempluk ingin ungkapkan secara langsung pada Papa dan Mama. Bukan cuma sekadar chatting seperti ini.
Setetes airmata meluncur di pipi kiriku. Pelan aku menghapusnya. Tapi balasan dari Papa kembali terlihat kabur di mataku.
wirahadi.haryanto : Menyesal hanya akan membuat langkahmu makin berat, Pluk.
miss.cempluk : Cempluk tahu, Pa. Kalau sudah seperti ini selalu saja keluar kata ‘seandainya’ dalam berbagai rupa.
wirahadi.haryanto : Apa pekerjaanmu terlalu berat?
miss.cempluk : Sebetulnya enggak juga, Pa. Iya, sama sekali nggak ada pekerjaan ringan buat Cempluk di Eternal. Tapi Cempluk tahu semuanya itu penting buat Cempluk di masa datang.
wirahadi.haryanto : Kapan-kapan coba kamu bicara pada Om Nor, Pluk. Minta cuti beberapa hari saat musim panas nanti. Dipa rencananya mau terbang ke sini. Kalau kamu bisa ikut juga, sekalian ajak Rinnel.
miss.cempluk : Jujur, Cempluk segan, Pa. Apalagi atasan Cempluk, kan, Mbak Jani.
wirahadi.haryanto : Hm... Btw, sudah jam berapa di situ?
miss.cempluk : Jam 2 pagi, Pa.
wirahadi.haryanto : Chatting-nya stop dulu, ya, Pluk. Kan, masih hari kerja ini. Besok kalau weekend coba kita sambung lagi.
miss.cempluk : Oke, Pa. Cium buat Mama, ya. Love you both.
wirahadi.haryanto : Love you, too, Sweetie. Sweet dream...
Kuhela napas panjang sambil mematikan laptop. Mataku terasa panas sekaligus pedas. Kepalaku pun sedikit pening. Jadi begini ketika rasa rindu sedemikian menyiksa tanpa aku bisa beringsut. Telanjur tercebur dalam rutinitas dunia kerja yang membelitku erat.
* * *
Dengan pasrah kembali kuterima kemarahan Mbak Jani. Ini adalah keterlambatanku yang ketiga di bulan ini. Setelah insiden terlambatnya aku ketika harus ikut Mbak Jani ke Tangerang tempo hari, beberapa hari kemudian aku terlambat lagi. Gara-garanya sepele. Aku buru-buru berangkat karena kesiangan lagi. Sialnya, laptopku tertinggal di rumah. Padahal semua data yang hendak diulas dalam meeting pukul delapan paginya ada dalam laptopku itu. Jadilah di tengah perjalanan aku terpaksa berputar balik untuk mengambil laptopku. Pukul delapan lewat lima menit, barulah aku masuk ke ruang meeting dengan napas terengah-engah dan keringat membasahi pelipis dan leherku. Tak akan pernah kulupakan tatapan super tajam Mbak Jani. Seolah ingin menelanku bulat-bulat.
Dan kini...
“Kamu ini kenapa, sih?” kedua alis Mbak Jani nyaris bertemu di tengah. ”Kalau kamu susah bangun, ya, jangan tidur terlalu malam! Kamu itu bawa nama keluarga, Ri. Nggak bisa seenaknya begitu. Apa kata karyawan lain kalau melihatmu sering terlambat seperti ini?”
Tak ada yang bisa kuucapkan selain minta maaf dan berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Mbak Jani menghela napas panjang.
Tentu saja aku tak bisa meminta semua orang mengerti posisiku. Apalagi selama ini orang-orang sudah mengenalku sebagai anak yang biasa berada jauh dari orang tua. Walau sebesar apa pun rinduku pada Papa dan Mama, kelihatannya aku tak terpengaruh. Padahal...
“Jangan kaget kalau siang nanti kamu terima SP dari HRD,” tanpa ampun suara tegas Mbak Jani menghantam gendang telingaku. “Aku yang memintanya. Sebagai peringatan buat kamu. Sekarang, kenapa lagi kamu bisa terlambat?”
Aku menggeleng. Dengan sangat menyesal aku menolak untuk menjawabnya. Kali ini, aku ingin menanggungnya sendiri.
* * *
Benar. Siangnya aku menerima SP dari HRD. Manajer HRD sendiri yang menyampaikannya setelah memanggilku ke dalam kantornya. Wajahnya terlihat rikuh.
“Mohon maaf, ya, Mbak Riri,” sesalnya. “Terpaksa HRD menerbitkan SP atas perintah Bu Jani.”
“Nggak apa-apa, Bu Ria,” aku mencoba untuk tersenyum. “Toh, status saya di sini memang cuma karyawan biasa. Lagipula saya memang salah, kok.”
Bu Ria menatapku dengan prihatin.
“Mbak Riri,” ucapnya kemudian dengan sangat halus, “kalau ada apa-apa, Mbak Riri boleh, kok, ngomong sama saya. Siapa tahu, saya bisa bantu?”
Aku menggeleng sambil tersenyum. Betapapun Bu Ria bergelar master dalam bidang psikologi, rasanya aku masih belum bisa mengobrolkan perasaanku dengannya.
“Terima kasih, Bu,” ucapku tulus. “Kapan-kapan mungkin saya akan curhat sama Ibu. Tapi kalau sekarang, sepertinya belum.”
Bu Ria mengangguk penuh pengertian. Aku segera pamit.
Ketika sampai ke mejaku lagi, Mbak Pris yang mejanya bersebelahan denganku segera berbisik, “Mbak Riri dicari Bu Jani lagi, baru saja. Aku bilang Mbak Riri lagi dipanggil Bu Ria. Bu Jani pesan agar Mbak segera ke ruangannya kalau sudah selesai urusan dengan Bu Ria.”
Mau tak mau aku mengangguk, mengucapkan terima kasih, dan melanjutkan langkahku. Dan suara tegas Mbak Jani menyapa telingaku begitu aku masuk ke dalam kantornya.
“Ri, kamu dipanggil Om Nor. Sekarang.”
Itu artinya, aku harus meluncur sekarang juga ke kantor Eternal Corp. Harus melupakan jam makan siang yang akan tiba sepuluh menit lagi. Sepertinya hal yang berkenaan dengan SP yang harus kuterima sudah sampai ke telinga Om Nor. Jujur, aku tak bisa membayangkan akan diapakan aku oleh Om Nor.
Catatan :
Sudah tayang sebuah cerpen baru berjudul Dukun Cinta Madame Spectra.
Just stay tune! Thank you...
Wuiiihhhh...!!! Cerpen keren Bu Lis bejibun dong, ya? Pasti lebih seru!
BalasHapusHahaha... Bejibun iya, mungkin bener begitu. Tapi soal kerennya nggak dijamin 😁😁😁
HapusNggak dijamin mengecewakan, ya?
HapusAkhirnyaaa......datang juga, dah ditunggu dari pagi...
BalasHapusMakasih singgahnya, Mbak Dewi... 😘
HapusJempooooollll...
BalasHapusWaduuuh... Abot ikiii... 😱
Hapusdi tunggu mbak, ini sdh sabtu lho and tulisan tambah good post
BalasHapusMakasih banyak, Pak Subur... 😊
HapusMestia onok ae kejutane !
BalasHapusLangsung tancep nang cerpene aq mba .....
Hihihi... Suwun, Niiit 😘
HapusWaduh sampai dapat SP segala :)
BalasHapusMudah2an pembicaraan dengan om Nor berjalan baik-baik saja