* * *
“Aku menganggu?” tanyaku sambil duduk di sofa.
"Enggaklah...," Irvan menggeleng sambil menghempaskan tubuh besarnya di sebelahku.
Dalam hati aku merasa lega karena ternyata sofa ini walaupun minimalis tapi cukup kokoh.
Dalam hati aku merasa lega karena ternyata sofa ini walaupun minimalis tapi cukup kokoh.
“Tadinya, setelah mandi, aku berencana untuk ke rumahmu,” Irvan melingkarkan lengan kanannya ke sekeliling bahuku. “Tapi ternyata sudah keduluan.”
Kurebahkan kepalaku ke bahu kanannya. “Maaf, beberapa minggu ini aku kurang memperhatikan Mas Irvan.”
“Nggak apa-apa, Ri,” bisiknya. “Kamu sibuk. Aku juga sibuk. Saking sibuknya sampai beberapa kali nggak sempat membuatkanmu makan siang.”
“Jangan jadi beban, Mas,” kutepuk lembut paha kanannya. “Di sebelah kantor ada warteg yang mendinganlah, walaupun lezatnya nggak ada seujung kuku masakan dari sini. Aku nggak akan kelaparan.”
Irvan tertawa ringan.
“Kakung sama Uti sehat, Ri?” tanya kemudian.
Aku mengangguk. “Sehat, Mas. Bagaimana di sini?”
“Cukup lancar, Ri,” Irvan melepaskan rengkuhannya pada bahuku. Sebagai gantinya, digenggamnya erat tangan kiriku. “Aku nggak tahu harus bagaimana berterima kasih pada Kakung dan Uti. Aku cuma bisa berusaha semampuku. Sekuat tenagaku. Masih untung Kakung bersedia memperpanjang jatuh tempo pelunasan pinjamanku.”
Aku tersenyum dalam hati. Teringat sekelumit pembicaraan yang pernah terjadi antara kami – Kakung, Uti, dan aku – dengan Ibu Mawarni.
“Sebenarnya kalau menuruti hati, saya menginginkan agar uang itu tidak perlu dikembalikan,” ucap Ibu Mawarni sambil menyusut airmatanya. “Tapi saya tahu itu tidak mendidik. Dan tentu saja akan berkesan sangat aneh karena setahu Irvan, kan, uang itu milik Bapak dan Ibu.”
“Betul, Jeng,” Uti menanggapinya dengan nada lembut. “Yang saya lihat, Irvan anaknya sangat bertanggung jawab. Sekaligus punya kemauan kuat untuk mewujudkan apa yang menjadi keinginannya. Seandainya kami tahu sejak awal,” Uti menatapku sekilas dengan sorot mata menyindir, “saya yakin Bapak akan dengan senang hati menjadi investornya.”
Ibu Mawarni tertawa ringan. Terlihat lega karena Kakung dan Uti menanggapi dengan sangat positif maksud kedatangannya.
“Saya berterima kasih sekali pada Bapak, Ibu, dan Riri,” Ibu Mawarni menatapku lekat. “Sekarang saya benar-benar memahami kenapa Irvan tak pernah bisa memindahkan hatinya dari Riri. Saya sangat bersyukur untuk itu. Apalagi ternyata Riri adalah putri sulung Wira.” Ibu Mawarni tersenyum lebar sambil menggeleng-gelengkan kepala, “Saya tak pernah membayangkan akan menjadi besan Wira. Tapi kalau itu benar-benar akan terjadi, saya senang sekali!”
“Masih jauh, Bu,” elakku dengan pipi terasa hangat.
Kakung, Uti, dan Ibu Mawarni menyambut ucapanku dengan gelak tawa. Kemudian suasana menjadi serius kembali karena Kakung mengembalikan pembicaraan itu pada jalurnya semula. Pada ujungnya, disepakati bahwa Kakung akan ‘menginvestasikan’ uang sebagai pinjaman yang harus dikembalikan Irvan dalam jangka waktu lima tahun.
“Kamu sudah lapar, Ri?”
Suara Irvan menyentakkan ingatanku kembali ke saat ini.
“Tadi siang makan apa?”
“Nasi soto ayam.”
“Enak?” Irvan melebarkan matanya.
Aku meringis tak jelas. “Daripada nggak makan siang.”
“Aduuuh... Kasihaaan...,” Irvan menarikku ke dalam pelukannya, kemudian mengecup lembut puncak kepalaku. “Sekarang mau makan apa? Aku buatkan.”
“Hm...,” aku berpikir-pikir. “Enaknya makan apa, ya? Masalahnya ketemu Mas Irvan saja sudah bikin aku kenyang banget.”
“Kenyang atau eneg?” Irvan menyambungnya dengan tawa panjang.
Aku mencubit sedikit pinggangnya. “Kok, eneg, sih?”
“Habisnya... Hehehe...”
Aku tersenyum lebar. “Kalau gitu, tawarannya apa, dong?”
“Mau sup kimlo? Kayaknya enak sore-sore begini makan sup kimlo,” Irvan menatapku.
“Boleh,” anggukku mantap. “Kedengarannya menggiurkan.”
Irvan segera menarik tanganku dengan lembut. Dibawanya aku ke dapur Godhong Gedhang yang baru kali ini kulihat. Dan baru kali ini pula aku tahu bahwa Godhong Gedhang terdiri dari dua kavling ruko yang beradu punggung. Dapur besar Godhong Gedhang menempati seluruh kavling ruko yang menghadap ke blok belakang. Di salah satu sudut dapur besar yang sangat sibuk tapi luar biasa bersih itu ada sebuah pantry dengan peralatan cukup lengkap. Irvan membawaku ke sudut itu.
“Ini sudutku,” senyum Irvan sambil menekan bahuku dengan halus, sehingga aku duduk di atas kursi di depan sebuah meja saji kecil. “Aku biasanya meramu menu baru di sini. Yang boleh memakai sudut ini cuma aku.”
“You’re the boss,” aku mengedipkan sebelah mata, membuat Irvan tergelak sejenak.
“Glen! Tolong bahan kimlo dua porsi, ya!” serunya pada salah seorang asistennya.
Sambil menunggu bahan utama datang, Irvan membuka kulkas di sudut dan menuang air putih dingin ke dalam dua gelas. Kemudian disodorkannya salah satu padaku. Ketika bahan yang dimintanya sudah sampai di atas meja, Irvan segera menjelaskannya padaku secara ringkas, lalu mulai beraksi dengan cekatan.
Dimemarkannya jahe dan bawang putih sebelum mencincang halus bawang putih itu. Kemudian ia mulai memanaskan minyak dalam wajan besar di atas kompor bertekanan tinggi. Aku sudah takut saja bahwa minyak itu akan gosong. Tapi tentu saja tidak! Irvan memasukkan jahe dan bawang putih itu pada saat yang tepat sehingga wanginya seolah bisa membuat air liurku menetes. Dengan cekatan Irvan kemudian mengecilkan tekanan gas dan memutar pepper grinder di atas wajan. Kembali ia membesarkan tekanan gas, mengaduk sebentar bumbu itu, lalu memasukkan air kaldu dan seikat kecil seledri.
Dalam waktu beberapa puluh detik saja air kaldu mendidih dan Irvan memasukkan sebagian bahan ke dalamnya. Potongan ayam, irisan bakso ikan, dan wortel. Beberapa saat kemudian ia memasukkan jamur kuping dan sedap malam. Setelah itu ia menambahkan entah kecap apa saja, garam, dan gula pasir. Dicicipnya sedikit setelah mengaduknya, dan ia pun mengangguk samar. Baunya benar-benar... Oh my...
“Sup kimlo itu memangnya masakan Indonesia?” tanyaku iseng ketika melihatnya sedikit bengong ketika menunggu bahan makanan di wajan matang.
“Aslinya enggak,” Irvan menatapku sekilas sambil bergerak menyiapkan dua buah mangkuk saji. “Ada pengaruh masakan Tionghoa.”
“Oh...”
Irvan mengecilkan api, kemudian memasukkan soun. Ditunggunya sejenak sebelum benar-benar mematikan api itu. Isi wajan segera berpindah ke dalam mangkuk saji. Selesai.
“Mau pakai garnish?” Irvan menoleh ke arahku.
Aku buru-buru menggeleng.
“Oke!” senyumnya. “Ini, Ri. Hati-hati, ya? Masih panas banget.”
Aku menghirup asap yang mengepul dari mangkuk itu sambil memejamkan mata. Aromanya sungguh-sungguh membangkitkan selera. Ketika aku membuka mata, segera tertangkap olehku Irvan sedang menatapku sambil tersenyum lebar. Membuatku tersipu seketika.
“Kamu mau wedang jahe?” tanyanya.
Aku mengangguk. Irvan meninggalkanku sejenak. Tatapanku kembali beralih pada mangkuk berisi sup kimlo di hadapanku. Kusendok sedikit kuahnya. Ketika kusesap kuah itu, rasa dan aroma yang tertinggal di lidahku sungguh-sungguh tak terdefinisi. Tapi kesimpulannya hanya satu. Enak sekali!
Irvan kembali dengan dua mug wedang jahe dan dua piring nasi di atas nampan. Hm... Benar juga dia. Rasanya tak akan kenyang kalau cuma semangkuk sup tanpa nasi. Lagipula dia, toh, sudah cukup mengenal selera makanku yang cuma segaris tipis di bawah ambang batas normal-rakus.
“Ke sinilah tiap pulang kerja, Ri,” ucapnya kemudian, sambil kami makan. “Aku masakkan apa pun yang kamu mau.”
“Nggak bisa tiap hari juga, Mas,” sergahku halus. “Yang pertama, aku segan sama Kakung dan Uti kalau tiap usai kerja nggak langsung pulang. Yang kedua, aku nggak mau ganggu Mas Irvan. Aku tahu Mas Irvan sibuk. Makin sibuk sekarang ini.”
Irvan menghela napas panjang. “Ritme kerjaku agak berantakan akhir-akhir ini, Ri.”
Aku mendengar ada nada keluhan dalam suaranya.
“Beberapa pelanggan tetapku menganjurkan agar aku memperluas tempat ini. Aku belum sanggup. Tapi daftar reservasi tiap harinya sudah terlalu panjang sampai harus menolak. Ini tadi malah Candika sudah ancang-ancang mau memperpanjang kontrak. Rating acaraku naik terus. Hanya saja aku belum memutuskan.”
“Hm...,” aku kehilangan kata.
Yang aku tahu, acara Irvan di Candika TV memang sedang booming saat ini. Materi acaranya cukup membumi. Memberi kesan bahwa memasak menu Nusantara tidaklah serumit kelihatannya. Apalagi diselingi dengan berbagai tips seputar kuliner yang pertanyaannya dijaring melalui email dari pemirsa. Irvan pun terlihat sangat menguasai ‘medan’ dan berhasil menggawangi acaranya dengan sangat menarik.
“Sebetulnya, Mas Irvan menikmati atau tidak kehidupan Mas Irvan yang sekarang?” aku menatapnya.
Irvan menghela napas panjang sebelum menjawab dengan nada berat, “Entahlah, Ri. Aku menerima tawaran dari Candika karena tujuan awalku ingin lepas dari bayang-bayang Papa. Tapi kamu tahu akhirnya, kan? Aku sampai harus merepotkan eyangmu. Soal menikmati... Ya, aku menikmati tiap momen ketika aku berurusan dengan dunia kuliner. Sayangnya, aku kurang siap menghadapi akibatnya. Aku nggak menduga kalau nama Godhong Gedhang bisa melejit secepat ini. Tapi aku tahu bahwa banyak orang yang pada awalnya ke sini hanya karena penasaran, pada akhirnya jadi pelanggan. Itu menambah semangatku, Ri. Pada titik ini, aku merasa aku tak salah langkah. Hanya saja... Ternyata nilai tebusannya terlalu besar. Kamu terabaikan. Aku kurang punya waktu buatmu. Kamu sendiri ragu-ragu untuk mendekat karena takut menggangguku. Lama-lama aku bisa kehilangan kamu lagi, Ri... Lalu, apa artinya semua keberhasilanku kalau aku harus kehilangan kamu?” ia menatapku dengan sedih.
Aku tercekat.
“Mas Irvan nggak akan kehilangan aku,” ujarku kemudian, hampir tak terdengar. “Aku paham sepenuhnya apa saja yang Mas impikan dan sekarang lakukan untuk menggenggam mimpi itu seutuhnya. Sebagian mimpi itu ada di sini,” tangan kananku menggenggam tangan kirinya. “Mungkin pada saat tertentu aku hanya bisa melihat Mas Irvan dari jauh. Tapi hatiku sudah ada di sini,” tangan kiriku menggenggam tangan kanannya. “Tak akan menggelinding ke mana-mana. Suatu saat, pada detik yang tepat, semuanya akan terangkum jadi satu,” aku menyatukan kedua belah tangannya jadi satu dalam genggamanku. “Tidak mudah, tapi kita bisa, kalau sama-sama mau berusaha.”
“Ri...,” ada telaga bening dalam matanya. “Aku tak tahu bagaimana harus berterima kasih padamu.”
Aku menggeleng. “Tak perlu. Yang penting Mas Irvan bisa menjaga diri, bisa menjaga kesehatan, bisa menjaga semangat.”
“Ri, aku...”
“Maaf, Mas Irvan, Mbak Riri...”
Irvan dan aku sama-sama menoleh. Mata Maya tampak gelisah ketika menatap kami.
“Ya, May?” Irvan menanggapi dengan nada sabar.
“Ada tamu mencari Mas Irvan.”
“Siapa?” Irvan mengerutkan keningnya.
“Pak Banyu dan Ibu.”
Seketika Irvan dan aku saling menatap. Dan dengan jelas aku melihat, wajah Irvan pelan-pelan memias.
* * *
Aq jadi mbayangno asike punyak bojo isa masak enak qiqiqiqiqiq
BalasHapusSalah fokus iki !
Ehemmmmmmmmmm
HapusHadoooh... Arek-arek ikiii... 😝
Hapus......syeeeedaps sekali.....mBa Lizz memang jago.....
BalasHapus😳 Jago nipu pembaca? 😳
HapusHadir Mbak Lis
BalasHapusTx.
Makasih banyak, Mbak Umi... 😊
HapusAh, asik nih ada adegan masak-masaknya. Bikin laper beneran :)
BalasHapusKeren bu Lis.
Hahaha... Makasih mampirnya, Mas Pical 😊
Hapusgood post
BalasHapusMakasih singgahnya, Pak Subur... 😊
HapusAku ga bakal bisa bikin detil masak kayak gini, soalnya aku ga bisa masak wkwkwk...lanjutken, mbak! top, deh!
BalasHapusPasti bisa, Mas. Asalkan pernah lihat cara chef masak (di TV) dan googling resep yang mau diangkat ke fiksi 😉
Hapus