Selasa, 22 September 2015

[Cerpen Stripping] Cinta Dua Masa #8





Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #7



* * *



“Aku harus gimana dong, Mas?”

Kresna bertopang dagu sambil menatap Madri. Yang ditatap balas menatap, menunggu jawaban. Sejenak kemudian tatapan Kresna berubah jadi jahil.

“Kamu nggak salah, tanya soal itu ke jomblo kronis kayak aku?”

Seketika Madri tertawa. Tapi berubah jadi serius kembali ketika akhirnya Kresna menjawab dengan nada serius pula.

“Semuanya kembali sama kamu, Dri. Kamu nyaman enggak, jalan sama Mas Reddy? Kalau kamu nyaman, kamu suka, ya sudah terusin. Tapi kalau sebaliknya, ya...”

“Itu masalahnya,” gumam Madri. “Aku nggak nyaman jalan bareng dia. Iya sih, aku suka. Tapi nyatanya nggak seindah yang aku bayangin.”

Madri menyandarkan punggungnya. Masih terbayang kejadian menjelang sore tadi, saat mereka makan sehabis nonton. Reddy menyatakan I love you meskipun tidak secara eksplisit. Mungkin karena usianya yang sudah dewasa, jadi pernyataannya lebih berbelit walaupun Madri memahami sepenuhnya.

Alih-alih merasa melambung, senang, riang gembira, Madri malah merasa terbeban. Ia merasa sudah tak asyik lagi bersama Reddy. Rasa tak nyaman itu tak bisa dijelaskan. Hanya saja sudah berhasil mengalahkan rasa suka yang sekian lama ini ia simpan untuk Reddy.

Ia belum memberi jawaban apa-apa. Hanya mengatakan minta waktu beberapa hari untuk berpikir dulu. Sesuatu yang bahkan tak dilakukannya saat Galang dulu menyatakan hal yang sama.

“Rasa nyaman itu nggak bisa dipaksa, Dri,” celetuk Kresna, seolah mengerti apa isi kepala adik kesayangannya. “Aku ngomong gini bukan karena Galang sohibku, tapi karena aku nggak ingin kamu salah jalan.”

Madri menghembuskan napas panjang.

Masalahnya sekarang, Mas Galang itu sudah punya cewek!

Madri mengerjapkan matanya.

Dan kalau aku gagal dengan Mas Reddy, itu artinya statusku jadi jomblo.

Madri menatap Kresna. Abangnya itu tengah duduk berselonjor di atas sofa. Asyik dengan ponselnya. Sesekali Kresna tersenyum. Mungkin ada yang lucu di layar ponselnya. Tiba-tiba Kresna mengangkat wajanya, kembali menatap Madri.

“Kamu tinggal hubungin saja Galang kalau kamu sudah nggak sama Reddy lagi.”

Madri mendengus seketika.

“Lalu ceweknya Mas Galang itu harus dikarungin dan dibuang ke mana?”

Kresna ternganga. “Cewek?”

“Memangnya Mas Kresna nggak tahu dia punya cewek lagi?” Madri cemberut. “Makanya gampang banget dia mutusin aku.”

“Masak sih?”

Madri hanya melirik sekilas. Kresna mengerutkan keningnya.

Memang sudah beberapa minggu ini Kresna tak pernah bertemu Galang. Sejak Galang lulus kuliah dan bekerja, komunikasi mereka juga makin jarang. Apalagi bersamaan dengan itu Madri dan Galang bubaran begitu saja.

Hm...

Kresna kemudian kembali sibuk dengan ponselnya.

* * *

Lang, kamu masih hidup?

Galang tersenyum lebar membaca BBM dari Kresna. Dengan cepat ia mengetikkan balasannya.

Hampir mati. Kurus kering karena kangen sama adikmu.

Kresna : Hahaha... Lebay! Kamu sibuk banget sekarang? Sibuk pacaran sama cewek baru?

Galang : Hahaha... Bisa aja! Tapi iya, aku memang sibuk. Biar nggak mikirin adikmu terus.

Kresna : Dia lagi bingung. Mulai nggak nyaman sama om-om itu. Lagian sama Mama, dia nggak boleh pulang lebih dari jam sembilan kalau diajak keluar sama om-om itu. Biarpun malam libur.

Galang : Oh ya? Kasihan Madri...

Kresna : Kamu sih, pakai bubaran segala!

Galang : Ya kan aku kasih kesempatan dulu buat Madri, Kres. Biar dia ada pengalaman lain. Eh, Kres, sorry ya, aku mau tidur dulu. Besok aku masuk kerja. Udah beberapa weekend ini aku sibuk, nggak ada kesempatan istirahat. Nanti kapan-kapan aku cerita ya?

Kresna : Oke deh!

Galang meletakkan ponselnya di atas meja. Sejenak kemudian ia melemparkan tubuhnya ke atas ranjang. Sambil berbaring, ditatapnya langit-langit kamar.

Maafin aku, Dri... Aku juga punya pengalaman baru beberapa minggu ini. Dan aku sedang menikmatinya bersama Elga.

* * *

Reddy menatap Madri. Berusaha untuk tetap tersenyum. Madri mengaduk minumannya dengan kepala setengah tertunduk.

Ditolak ABG?

Pelan-pelan Reddy menghela napas. Kecewa?

Ya.

Sakit hati?

Tidak. Sudah resiko.

“Iya... Aku memang suka sama Mas Reddy,” Madri mengangkat wajahnya sekilas, berusaha jujur. “Dari dulu, dari jaman aku masih kecil. Tapi ya... Kayaknya memang kita nggak cocok.”

Reddy mengangguk-angguk.

“Ya mungkin karena umur kita beda jauh,” Madri melanjutkan ucapannya, tetap dengan suara lirih. “Dan aku sudah terbiasa dengan Mas Galang. Jadi...”

“Iya, Dri, aku ngerti,” senyum Reddy. “Nggak apa-apa kok. Mendingan jujur di depan begini daripada ke belakangnya nggak enak.”

“Mm...,” Madri menatap Reddy sekarang. “Kita jadi abang-adik aja, gimana?”

“Iya...,” senyum Reddy melebar. “Kayak gitu mungkin lebih enak buat kita ya?”

Madri juga tersenyum. Terasa ada beban yang terangkat dari pundaknya. Ditatapnya Reddy.

“Mas Reddy nggak marah kan?”

Reddy langsung menggeleng. Sungguh-sungguh. Bagaimanapun juga ia menyayangi Madri.

“Ya sudah, kamu kembali saja sama Galang,” Reddy mengedipkan sebelah mata.

Wajah Madri langsung tersaput mendung. Reddy melihat perubahan itu.

“Kenapa, Dri?”

“Mas Galang sudah punya cewek lagi,” ucap Madri sedih. “Makanya gampang banget mutusin aku. Dia sendiri sudah punya inceran, rupanya.”

“Oh...”

Malam Minggu yang lalu, ketika keluar bersama teman-temannya untuk nongkrong di Food Truck Festival, Reddy memang sempat melihat Galang mondar-mandir di sekitar van makanan penyet-an. Galang kelihatan dekat dengan seorang gadis yang tampaknya berhubungan dengan van itu. Cara mereka berbicara dan bercanda menunjukkan kedekatan yang lebih. Bukan lagi sekadar teman.

Bukan itu saja. Sudah beberapa hari Minggu pagi, saat ia sedang bersepeda, ia melihat Galang dan gadis itu sedang membagikan nasi bungkus di sekitar daerah pemukiman kumuh yang dilewatinya. Kelihatannya kegiatan itu adalah kegiatan rutin yang dijalani keduanya.

Mungkin gadis itu yang dimaksud Madri...

Ditatapnya Madri, “Sementara kamu fokus sama ujian semester saja dulu, Dri. Minggu depan sudah mulai minggu tenang ya?”

Madri mengangguk.

“Jangan sampai gagal hanya karena masalah ginian. Oke?”

Madri kembali mengangguk.

* * *

Kehidupannya belakangan ini cukup melelahkan, tapi entah kenapa Galang merasa senang menjalaninya. Berhubungan lebih dekat lagi dengan Elga ternyata memberikan warna baru dalam caranya memandang apa yang ada di sekitarnya.

Elga sama seperti dirinya, anak seorang pengusaha. Usianya pun sebaya. Hanya saja selepas SMA Elga memutuskan untuk menunda dulu kuliahnya. Gadis itu mencoba untuk berwirausaha dengan membuka kedai makanan dalam bentuk food truck. Tentu saja modalnya murni dari orangtua. Tapi dengan kesungguhannya, ia berhasil mengembangkan usaha itu dari semula hanya satu van menjadi tiga van dalam jangka waktu tiga tahun.

Bukan itu saja, sebagian keuntungan yang diperoleh Elga digunakannya untuk membiayai proyek sarapan murah di beberapa kantong kemiskinan. Dari awalnya dia hanya memiliki satu mobil pick-up untuk kegiatannya itu, sekarang ia sudah memiliki empat mobil yang menyebar di empat tempat yang berbeda. Dan ia tak lagi sendirian, karena berhasil menjaring beberapa donatur keuangan dan tenaga dari antara para saudara dan teman. Meskipun proyek itu hanya beroperasi pada hari Minggu pagi, tapi setidaknya Elga sudah berhasil berbuat sesuatu.

Sarapan yang disediakannya tidaklah gratis, tapi harus ditebus dengan harga seribu rupiah per paketnya, terdiri dari sebungkus nasi lengkap dengan lauk-pauk yang cukup, dan sebuah pisang. Elga memang sengaja tidak menggratiskannya. Supaya orang tetap menghargai makanan yang sudah dibeli.

Galang melihatnya sebagai sesuatu yang mengagumkan. Dan yang bisa ia sumbangkan saat ini barulah waktu dan tenaga setiap hari Sabtu untuk membantu Elga menjalankan usahanya, dan setiap Minggu pagi untuk mendistribusikan sarapan murah itu. Cara menghabiskan waktu luang yang tepat. Supaya ia tak terlalu larut dalam kesedihan setelah melepaskan Madri.

* * *

“Papa suruh aku lanjutin kuliah,” ucap Elga. “Gimana menurutmu?”

“Turuti saja,” jawab Galang sambil terus menyetir mobil bak terbuka itu. “Kamu masih bisa terus mengendalikan usahamu sambil kuliah. Toh anak buahmu sudah oke.”

“Iya sih...,” gumam Elga. “Sebenarnya aku agak menyesal juga jadi terlambat kuliah kayak gini. Lihat kamu sudah lulus, sudah mau S2, sementara aku belum apa-apa.”

“Tapi kan kamu punya pengalaman lebih, El. Praktekmu itu juga penting. Sama kayak aku sekarang cari pengalaman kerja dulu sebelum lanjut kuliah lagi. Memadukan teori yang sudah aku dapat dengan praktek langsung di lapangan. Kadang-kadang nggak cocok juga. Ada kontra karena banyak faktor. Semuanya berharga, El.”

Elga manggut-manggut.

“Eh, Lang,” dengan wajah cerah, Elga menatap Galang yang masih menyetir dengan serius di sampingnnya. “Ngomong-ngomong, kamu nggak tertarik bikin food truck?”

“Tertarik sih...,” senyum Galang. “Ini juga lagi mikir-mikir. Cuma, kan kurang dari setahun lagi sudah harus aku tinggal. Soal investasi, mungkin memang harus kayak kamu ya, mengandalkan orangtua.”

“Hehehe...,” Elga terkekeh. “Manfaatin fasilitas kan nggak ada salahnya. Asal penggunaannya bener.”

“Iya sih...”

“Coba aja kamu gandeng temen-temenmu. Investasinya dari kamu, jalaninnya bareng. Sambil sama-sama belajar. Nanti bisa aku bantuin.”

“Hm... Gitu ya...”

“Iya, Lang,” senyum Elga. “Sambil sekalian membuktikan bahwa nggak semua anak pengusaha besar kayak kita ini cuma anak-anak manja yang bisanya cuma jadi jagoan borju.”

Makin memikirkan ucapan Elga, makin tertarik saja rasanya Galang. Menggunakan fasilitas yang ada, belajar teori, belajar mengelola usaha dari yang kecil, sambil bersiap menunggu saatnya tiba harus menerima tanggung jawab untuk mengawal perusahaan keluarga yang jauh lebih besar.

Apa salahnya?

Dan sekelebat rencana mendadak muncul dalam kepala Galang.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Cinta Dua Masa #9

3 komentar: