Sabtu, 26 September 2015

[Cerpen Stripping] Cinta Dua Masa #10





Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #9



* * *



“Hai!”

Madri mengangkat wajahnya. Galang mengirimkan senyumnya yang terlihat sangat hangat. Setengah hati Madri membalasnya.

Sorry, lagi-lagi telat,” wajah Galang tampak menyesal.

Madri hanya mengangkat bahu. Galang merasa sangat bersalah. Pelan-pelan ia duduk di depan Madri.

“Enak?” tanyanya lirih.

Madri mengangguk.

“Tadi aku harus lembur, Dri,” tak ada nada membela diri dalam suara Galang. “Aku mau kirim BBM sama kamu, tapi ponselku mati. Power bank-ku ketinggalan di rumah.”

Madri tak bereaksi. Hanya berusaha menghabiskan makan malamnya yang mendadak terasa tak seenak tadi.

“Dri, kamu marah?”

Madri mengangkat wajahnya. Menggeleng. “Buat apa?”

Galang menghela napas panjang. Ditatapnya Madri. “Masihkah semuanya bisa diperbaiki, Dri?”

Madri tak menjawabnya. Karena memang tak tahu harus mengatakan apa.

Apa yang harus diperbaiki?

Mata Madri mengerjap.

“Aku kangen sama kamu, Dri,” ucap Galang, tanpa sedikit pun ada nada merayu. “Gimana kamu sama Mas Reddy?”

Madri mengangkat bahu. “Memangnya Mas Kresna nggak cerita apa-apa?”

Galang menggeleng. “Dia suruh aku tanya sendiri sama kamu.”

“Hm...,” Madri mencuci tangannya, kemudian mengelap bibirnya dengan sehelai tisu.

Galang menatapnya. Menunggu  jawaban dengan sabar. Saat itu Elga muncul dengan membawa nampan berisi piring nasi, lele bakar penyet, dan jamur goreng untuk Galang. Galang menyodorkan piring berisi jamur goreng ke depan Madri.

“Makan, Dri,” ucapnya halus setelah Elga beranjak pergi. “Terus?”

“Apanya?”            

“Kamu sama Mas Reddy,” ulang Galang, sabar.

“Memangnya penting?” Madri menghindari tatapan Galang.

“Aku cuma ingin memastikan kalau kamu baik-baik saja sama dia. Aku nggak mau kamu kenapa-napa.”

“Aku baik-baik saja,” ucap Madri, pendek.

“Iya, aku tahu,” Galang mengangguk. “Kamu nyaman jalan bareng dia?”

Madri terdiam. Otaknya sudah memiliki jawaban itu. Tapi mulutnya seolah tak mau mengatakannya. Ia balas menatap Galang.

“Mas sendiri, kelihatannya baik-baik saja.”

Galang tersenyum. “Aku banyak dapat pelajaran dari Elga. Banyak hal yang sebelumnya bahkan tak pernah terpikirkan olehku. Membantuku mengalihkan pikiranku sejenak dari kamu, Dri.”

Tak urung Madri terhenyak. Sebenarnya ia memang tak berharap terlalu banyak soal hubungannya dengan Galang. Apalagi setelah ia tahu bahwa Galang dan Elga akan menjalani kuliah bersama-sama di Australia. Harapannya terus beranjak menuju titik nol. Makin mendekati minus setelah mendengar apa yang baru saja diucapkan Galang.

“Aku makin sibuk belakangan ini, Dri,” suara Galang melirih. “Nggak lagi punya banyak waktu buat kamu. Banyak bikin kamu kecewa. Walaupun aku mulai bisa mengelola waktuku dengan lebih baik, tapi tetap saja nggak bisa seperti jaman kuliah kemarin. Sewaktu aku bisa curi-curi kesempatan ketemu kamu di kampus. Bisa menjemputmu. Bisa mengantarmu pulang. Makanya aku berpikir, mungkin Mas Reddy itu bisa menjagamu dengan lebih baik.”

“Aku nggak nyaman sama dia.”

Madri sendiri kaget ketika kalimat itu meluncur begitu saja dari sela bibirnya. Galang menatapnya. Lama.

“Bukannya kamu menyukai dia, Dri?” tanya Galang, hati-hati.

Madri menghela napas panjang. Wajahnya sedikit memerah.

“Cinta monyet,” gumamnya kemudian. “Nggak seindah yang kubayangkan.”

Mau tak mau Galang tersenyum. Tertahan. Di matanya, wajah Madri benar-benar terlihat menggemaskan. Tapi beberapa detik kemudian wajahnya kembali menjadi serius.

“Maafin aku, Dri. Sudah buat kamu harus ngalamin hal nggak enak,” ucap Galang.

“Hm... Tapi kalau nggak kayak gitu aku pasti masih juga penasaran soal Mas Reddy,” mau tak mau Madri harus mengakui hal itu.

“Hm... Jadi... gimana?”

“Apanya?” sekilas Madri menatap Galang.

“Kita.”

“Bukannya Mas Galang lagi jalan sama...,” Madri mengarahkan tatapannya pada Elga yang kebetulan sedang melintas di dekat mereka.

Galang mengikuti arah pandang Madri.

“Dan mau kuliah bareng di Aussie...,” suara Madri perlahan menghilang.

Galang mengerutkan kening. Perlu beberapa detik buatnya untuk memahami apa yang baru saja diungkapkan Madri.

“Iya, rencananya memang dia mau ambil S1 di sana,” ucap Galang. “Sekalian aja bareng sama aku. Supaya bisa saling jaga.”

Madri tertunduk.

The end...

“Cuma kayaknya kamu salah memahami hubunganku sama Elga.”

Madri seketika mengangkat wajahnya. “Salah memahami gimana? Mas Galang mutusin aku gitu aja. Alasannya supaya aku punya pengalaman baru dengan Mas Reddy. Nyatanya, Mas Galang juga cari pengalaman lain. Dan Mas Galang juga jelas-jelas bilang banyak dapat hal baru selama jalan sama Mbak Elga. Hal baru yang berharga buat Mas. Di mana letaknya salah memahami itu?”

Memangnya aku sebodoh itu? Madri meneruskannya dalam hati.

Galang ternganga menatap Madri yang berucap cepat seolah takut kehabisan napas.

... Mungkin bagimu aku masih kecil...

Madri masih melanjutkan omelan dalam hatinya. Sebutir airmata meluncur di pipi kanannya.

... Masih anak ingusan. Tapi kan aku juga punya otak dan perasaan!

Dan Galang tersadar seketika ketika melihat butiran airmata Madri.

“Dri...,” ucapnya halus.

Madri mengusap airmata di pipinya.

“Kamu cemburu?”

Pakai ditanya!

Madri menatap Galang dengan sengit. Alih-alih tampak prihatin, Galang malah menatapnya dengan sorot mata jahil. Membuat Madri makin cemberut. Galang mengulum senyum.

Tepat saat itu Elga melintas lagi di dekat mereka. Galang langsung mencekal pergelangan tangan Elga. Membuat Elga setengah terpelanting dan menghentikan langkahnya seketika.

“Astagaaa... Kamu ini kenapa sih, Lang?” Elga menatap Galang dengan jengkel.

“Bilang sama Madri, sejak kapan kita pacaran?” senyum Galang melebar.

Elga menatap Galang dan Madri, bergantian. Terlihat bingung.

“Pacaran?” tatapan Elga berhenti pada Madri. “Jadi selama ini kamu nggak pernah tahu kalau aku sama Galang itu sepupuan?”

Seketika Madri ternganga.

* * *

Reddy tersenyum simpul mendengar suara cekikikan tak jauh dari tempatnya duduk bersama Elga. Ketika ia dan Elga menoleh, suara cekikikan itu tetap ada. Hanya saja oknum pelakunya kentara sekali pura-pura tak melihat ke arah mereka.

Cinta itu seringkali datang tiba-tiba, tak terdefinisi, tak perlu alasan, dan membawa serta sebuah rasa nyaman. Itu yang terjadi pada Reddy dan Elga.

Reddy tak akan pernah melupakan suatu sore saat Jatmiko mengajaknya bersama beberapa teman sekantor untuk mengunjungi Food Truck Festival. Ia yang enggan tangannya belepotan sambal harus menyerah ketika semuanya setuju untuk makan di Van Penyet Boi. Satu lawan banyak. Ia belum lupa bahwa van itulah yang ditunjuk Madri beberapa bulan yang lalu saat mereka berdua mengunjungi Food Truck Festival untuk yang pertama kalinya.
  
“Yang punya van ini sepupunya Galang,” bisik Jatmiko yang duduk di sebelahnya.

Reddy hanya manggut-manggut sekadarnya. Ia kemudian menyimak obrolan akrab Jatmiko dengan seorang gadis pelayan saat mereka memesan makanan. Gadis yang pernah dilihatnya ngobrol akrab dengan Galang. Gadis yang pernah dilihatnya membagikan nasi bungkus tiap Minggu pagi bersama Galang.

Dari jarak sedekat ini, Reddy bisa melihat bahwa gadis itu sangat menarik. Terkesan ramah, cerdas, dan cekatan. Membuat mata Reddy enggan lepas dari sosoknya walau gadis itu sudah berlalu.

Dan ia sempat ternganga ketika Jatmiko kembali berbisik padanya, “Itu tadi yang punya van ini dan dua van lain yang sejenis. Dia juga yang mengajari Galang untuk mengelola food truck Cygnus. Selain itu, dia punya proyek sosial menjual sarapan murah untuk orang-orang kurang mampu.”

Pemilik van yang tak canggung melayani sendiri pelanggannya? Seseorang yang masih menyempatkan diri berkegiatan sosial?

Reddy langsung memberi nilai pada gadis itu.

Menarik! Plus plus plus!

Dan apa yang kemudian masuk ke perutnya melalui mulut adalah kelezatan yang membuatnya terpikat. Persetan dengan segala lepotan sambal yang melumuri jemarinya! Yang didapatnya dari ‘kekotoran’ itu adalah hal yang jauh melampaui kata ‘sepadan’.

Semua jenis penyet-an beserta sambal yang ada di van itu kemudian menjadi candu baginya. Tak dipedulikannya bully-an Madri ketika memergokinya sering datang ke Van Penyet Boi.

“Sambalnya kalau sudah belepotan di hati memang susah ilang, Mas...”

Ia hanya tertawa lebar mendengarnya. Tapi dari Madri pula ia mengenal gadis itu lebih dekat. Elga. Yang ternyata nyambung sekali dengannya, terutama dalam hal komunikasi.

“Kayaknya mereka puaaasss banget lihat kita bisa duduk berdua begini,” ucap Elga, tersenyum lebar.

Reddy tertawa mendengarnya. Madri dan Galang masih juga cekikikan di tempat mereka duduk, yang posisinya tak begitu jauh.

Digelengkannya kepala. “Aku benar-benar kurang bisa meladeni ABG seperti dia.”

“Ada masanya, Mas,” Elga masih tersenyum. “Aku juga pernah seusia dia. Kita pernah, walaupun mungkin nggak mengalami hal yang sama.”

Reddy mengangguk. Menyetujui 100%.

“Jadi keberangkatan kalian ke Australia sudah fixed?” Reddy menatap Elga.

Elga mengangguk. Reddy menghela napas panjang.

“Baru juga jadian, sudah kepentok LDR,” desah Reddy.

“Ya silakan cari yang lain kalau memang nggak kuat,” Elga mengangkat bahu.

“Bukan begitu...,” Reddy menepuk lembut punggung tangan Elga. “Aku bisa kok. Aku bukan player. Lagipula ada satpamnya,” Reddy sekilas melirik ke arah Madri.

“Satpam-menyatpami,” Elga tergelak. “Makanya aku bakal berbagi ruang apartemen sama Galang.”

Reddy pun turut tertawa.

* * *

Galang menyingkirkan helaian rambut yang jatuh di kening Madri. Mereka bertatapan.

“Kamu baik-baik di sini ya?” ucap Galang lembut. “Belajar yang baik. Berusaha untuk lebih mandiri lagi. Aku sudah minta tolong Kresna dan Mas Reddy supaya ikut menjagamu.”

Madri mengangguk. “Aku juga sudah nitip Mas Galang ke Mbak Elga.”

“Iya, saling menjaga. Kamu juga, tolong jaga Mas Reddy buat Elga.”

Madri kembali mengangguk. Beberapa saat kemudian Madri mengambil sesuatu dari dalam tasnya, kemudian menyodorkan sebuah kotak kecil berbungkus kertas kado pada Galang.

“Apa ini?” Galang mengerutkan keningnya.

“Supaya Mas Galang nggak lupa padaku,” senyum Madri.

Galang segera membuka kotak itu. Beberapa detik kemudian tangannya sudah menggenggam arloji baru yang ditariknya keluar dari kotak.

“Dri, ini kan mahal,” bisik Galang.

“Nggak apa-apa,” Madri menggeleng. “Aku nggak minta uang dari Mama atau Papa untuk itu kok.”

“Kamu ambil tabunganmu untuk ini?” Galang menggenggam tangan Madri.

“Ya... Iya, sih...”

“Aduh, Dri...,” sesal Galang.

“Pakai ya, Mas?” mata Madri sarat permintaan.

Galang segera melepaskan arloji yang dipakainya, kemudian menyodorkannya pada Madri.

“Kamu simpan ini ya, Dri. Mulai sekarang aku akan pakai arloji dari kamu. Supaya aku selalu ingat kamu. Ingat bagaimana pengorbananmu mendapatkan arloji ini untukku.”

Madri mengangguk sambil meraba lehernya. Ia juga tak akan melepaskan kalung bertuliskan namanya, hadiah dari Galang,  bahkan hingga kelak Galang akan kembali lagi.

Entah akan jadi apa nanti hubungannya dengan Galang, ia belum tahu. Apakah akan ada masa yang lain, ataukah mereka akan meneruskan masa yang sudah mulai mereka jalani bersama?

Waktu yang akan menjawabnya.

* * * * *
                                                                              
S.E.L.E.S.A.I


Muakasih buanyak buat sohibku Jeng Dani yang sudah memberi kontribusi berupa judul cerpen ini. Walaupun semula untuk judul cerpen lain, tapi akhirnya terpakai di cerpen ini. Mmmuuuaaahhh...

12 komentar:

  1. Aku nomor satu, pertama gitu. Ada hadiahnya? Makasih ya mbak, bikin aku jatuh cinta ama cerita cerita apik mbak Lizz.

    BalasHapus
    Balasan
    1. Bonusnya, nanti hari Selasa tak'kasih cerpen lepas (non stripping) sebiji yak...
      Makasih mampirnya...

      Hapus
  2. Ihik ihik ihik... :) :) :)
    Jeng dani tu aku ya ??? #GR
    Aku kok lupa ya pernah usul judul ini... #pikun

    BalasHapus
    Balasan
    1. Iyooo... Wis taun lalu, tapi kan aku nggak lupa. Truuuiiimmmsss...

      Hapus
  3. Balasan
    1. Makasih banyak atas singgahnya, Pak... Lagi di Ponorogo ya? Wuiiih! Kelilingan terusss... Hehehe...

      Hapus
  4. Yah aku kesiangan gara gara asap. Tergolek gak bisa bangun. Aku padahal mau juga kalau dikasih cerpen.... Hiks.... Ternyata endingnya beda ama judulnya... Hahahaha

    BalasHapus
    Balasan
    1. Jadi, supaya 'sesuai/sama dengan judul', endingnya harus bagaimana?
      Makasih singgahnya...

      Hapus
  5. makasih bu Lis, cerbungnya berakhir manis, terkadang cinta emang aneh. perjumpaannya tp indah dirasakan. Selamat buat Madri & Galang, akhirnya bisa jadian lg. smoga langgeng yaa.. :-* :-)

    BalasHapus
    Balasan
    1. Semoga hasil dari khayalan nggak mutu ini nggak terlalu mengecewakan ya, Mbak...
      Makasih sudah mampir...

      Hapus