Kisah sebelumnya : CUBICLE #8
* * *
Sembilan
Malam
harinya, begitu sampai di apartemen, aku menelepon Driya. Tapi setelah usaha
keempat sia-sia, aku pun meletakkan ponselku di pantry. Baru saja aku membuka kulkas, ponselku berbunyi. Ketika
kulihat, panggilan itu dari Driya.
“Halo,
Men,” sapaku.
“Lu
barusan nelpon gue,” terdengar sahutan dari seberang sana, “ada apa, Yik?”
“Oh...
ini, soal job yang kami dapet dari
lu. Boss nyuruh gue ngomongin langsung sama lu konsepnya. Kira-kira kapan ya,
lu ada waktu?”
“Hm...
Kebeneran gue masih di jalan ini. Masih deket-deket apartemen lu. Lu lagi di
mana?”
“Gue
udah di apartemen.”
“Ya
udah, gue ke apartemen lu aja sekarang. Lu punya makanan apa?”
“Astagaaa...
Yang ditanyain langsung makanan...”
“Hahaha...
Laper gila, Yik!”
“Di
kulkas gue cuma ada es batu, telur, roti tawar, sama selai doang. Gampanglah,
tar kita ke chinese food di bawah
aja.”
“Oke
deh, kalo gitu. Eh, gue boleh numpang mandi nggak? Gerah banget. Lengket semua
badan gue.”
“Boleeeh...
Ya udah, lu langsung ke sini aja.”
“Sip!
Setengah jam lagilah gue nyampe tempat lu.”
“Oke!”
Kututup
pintu kulkas dan pembicaraan itu sekaligus. Baru saja mau masuk ke kamar mandi,
bel pintu berbunyi. Sempat kaget juga. Bukannya Driya bilang setengah jam lagi
baru nyampe? Tapi kubuka juga pintu.
“Hai!”
Aku
terbengong sejenak. Orang yang memamerkan senyumnya di depan pintu apartemenku
kali ini benar-benar orang yang tak kusangka kedatangannya.
Bara?
“Boleh
masuk?”
Tanpa
kata, aku pun melebarkan pintu.
“Lu
baru nyampe?”
Aku
mengangguk. “Tumben lu main ke sini?”
“Kangen
aja sama elu,” dia meringis. “Seharian tadi kita nggak ketemu.”
“Iya,
lu ke mana aja?”
“Biasa...,
kelilingan. Menggelandang.”
“Haish!”
aku mengibaskan tangan.
Dia
terkekeh.
“Eh,
gue mandi dulu ya, Bar. Lu kalo mo minum ambil sendiri di kulkas. Atau kalo mau
kopi, teh, sirup, susu, coklat, ada semuanya di pantry.”
Dia
mengangguk.
“Oh
iya, tar kali ada yang ngebel, suruh masuk aja. Driya mau ke sini.”
Sempat
kulihat wajah berseri Bara sedikit berubah. Tapi aku harus segera mandi karena
kurasa badanku mulai lengket dan tidak nyaman.
* * *
Ternyata
Driya sudah datang ketika aku keluar dari kamar dalam kondisi sudah rapi dan
wangi. Kukenakan celana panjang batik dan T-shirt kuning muda berlengan pendek.
Driya kutemukan sedang asyik mengobrol dengan Bara. Entah tentang apa. Mungkin
juga pembicaraan antar laki-laki. Dengan ringan kujatuhkan tubuhku di sebelah
Driya, di seberang Bara.
“Sono
gih, kalo mo mandi,” lenganku kusenggolkan ke lengan Driya.
“Masiiih
aja hobi pake kaos kuning,” Driya tergelak menatapku.
Ketika
kulihat ke arah T-shirt yang kupakai, aku terpaksa nyengir karena menyadari apa
warnanya.
“Lu
udah pesen makanan?” Driya berdiri.
“Belum.”
“Pesen
gih! Tar gue yang bayar. Yang banyak, biar nggak kurang. Sumpah, laper banget
gue,” ucap Driya sambil meraih tasnya dan berlalu.
Aku
meraih ponsel dan mulai menghubungi depot chinese
food di bawah. Sambil menunggu telepon di seberang sana diangkat, aku
menunjuk sepiring lapis talas di atas meja.
“Lu
yang bawa?” kutatap Bara.
Dia
mengangguk sambil menyeruput tehnya. Tepat saat itu hubungan dengan depot chinese food tersambung. Segera saja
kusebutkan segala macam nama makanan favoritku yang bisa kuingat.
“Oke,
sejam lagi ya, Mbak? Banyak macemnya ini soalnya...”
“Siap!
Tenang aja...,” aku pun menutup pembicaraan.
Sambil
menunggu Driya keluar dari kamar mandi, aku pun mengobrol dengan Bara. Ternyata
dia tadi seharian ke Bogor. Meninjau lokasi setting
iklan yang diminta kliennya. Pantas dia bawakan lapis talas untukku.
“Masih
ada satu utuh di kulkas,” ucap Bara sambil mencomot sepotong lapis talas.
“Ya
udah, besok gue bawa aja buat geng.”
“Besok?”
Bara melebarkan matanya. “Nggak salah? Ini hari apa, Neng?”
Astaga...
Kutepuk keningku. Iya, sekarang sudah Jumat sore. Besok libur.
“Hehehe...,”
Bara terkekeh. “Eh, tar gue boleh numpang mandi sekalian?”
Aku
mengangguk. Bara pun pamitan untuk ambil perlengkapannya di mobil. Driya
mengerutkan kening ketika mendapati aku sendirian seusai dia mandi. Mandi
bebek. Kilat banget!
“Lho,
Bara ke mana?” dia menjatuhkan badan di sofa panjang.
“Lagi
ambil perabotnya di mobil, mau numpang mandi juga,” kutatap dia sejenak.
Driya
tampak nyaman dalam celana pendek kotak-kotak hitam-merah dan T-shirt merahnya.
Rambutnya kelihatan segar dan basah dengan wangi maskulin samar-samar mengelus
hidungku. Hm... Tapi aku segera ngakak ketika menyadari ada gambar apa di
T-shirt Driya. Kening Driya berkerut ketika menatapku.
“Kenapa?”
“Hahaha...
Kaos lu masih gambar lambang Batman aja? Hahaha...”
“Hehehe...,”
Driya ikut terkekeh. “Iya, ya... Eh, lu udah pesen makanannya, Yik?”
Aku
mengangguk.
“Gue
rebahan bentar di sini ya? Capek banget gue.”
Aku
mengangguk lagi. Kusodorkan piring berisi lapis talas padanya. Sambil
menggumamkan terima kasih singkat, dia langsung mencomot tiga potong sekaligus.
“Lu
mau minum apa, Men?”
“Air
putih aja. Tar gue ambil sendirilah. Lu nggak usah repot-repot.”
Aku mengangkat bahu. Kunyalakan televisi untuk memberi suasana lebih ramai. Aku pun duduk santai sambil menyelonjorkan kakiku pada ottoman.
“Lu
dari mana aja tadi?”
“Wuh!
Ngelayap sampai Tangerang segala gue, Yik. Tadi pagi gue langsung ke Cikarang
dari rumah. Terus mampir kantor bentaran doang. Terus jalan lagi ke Tangerang.”
“Oh...”
Dalam
suasana santai seperti itu, aku dan Driya mulai membicarakan konsep iklan yang
dia mau. Keinginannya tak aneh-aneh. Hanya menghendaki sesuatu yang unik.
Kalau masalah unik, tampaknya Fajar lebih tepat untuk menanganinya. Kutawarkan
pada Driya untuk sekalian saja mengundang Fajar karena blok apartemen Fajar
cuma sepelemparan apem dari blok apartemenku, alias bersebelahan. Dia segera
menyetujuinya.
“Oke,
gue ke situ. Kebeneran lagi nganggur,” ucap Fajar antusias dari seberang sana.
“Lu
udah makan?”
“Lagi
jalan mau beli nasgor di depot chinese
food di blok lu.”
“Udah,
lu langsung naik ke apartemen gue. Gue pesenin nasgor dari sini. Seafood kan?”
“Yup!
Trims!”
Aku
menutup teleponku pada Fajar tepat ketika Bara datang kembali. Ditentengnya
sebuah travel bag kecil berwarna biru
muda. Aku menunjuk ke kamar mandi dan dia mengangguk sambil terus melangkah ke
sana. Kulanjutkan menelepon depot untuk menambah pesanan.
“Lu
pesen banyak kan?” Driya bangun dan melangkah ke pantry.
“Iyaaa...
Jangan khawatir... Kalo sisa kan bisa lu bawa pulang buat sarapan besok.”
Driya
terkekeh. “Udah... buat lu ajalah...”
* * *
Bara
tampak surprised ketika keluar dari
kamar mandi dan mendapati Fajar sudah ada bersamaku dan Driya. Fajar menyapa
Bara dengan meriah. Rada lebay juga sih, hehehe... Baru juga nggak ketemu
sehari.
“Wah,
sayang kostnya Yussi jauh ya?” celetuk Fajar. “Kalo nggak kan bisa sekalian
kita tarik ke sini. Weekend-an para
jomblo.”
Kami
ngakak bersama. Hampir bersamaan dengan itu, pesanan makanan kami datang. Fajar langsung melongo melihat
banyaknya kotak makanan yang akhirnya tersebar di atas meja.
“Busseeet...,”
gumamnya sambil menggeleng-gelengkan kepala.
“Hehehe...
Lu belum tau gimana kalapnya Driya sama Bara kalo udah makan bareng di sini.”
“Udah
pernah?”
Aku
mengangguk.
Sambil
menikmati traktiran Driya yang sudah lunas dibayarnya, kami pun kembali berdiskusi
tentang konsep iklan yang diinginkan Driya.
Benar
saja! Fajar punya beberapa ide yang memenuhi syarat unik seperti yang
diinginkan Driya. Hingga pada akhirnya kami sepakat bahwa iklan itu akan
ditangani Fajar dan Bara. Mungkin akan melibatkan Yussi juga, yang saat ini job-nya tinggal menunggu finishing. Sedangkan Gerdy, Nina, dan
aku masing-masing masih memiliki beberapa job
yang masih jauh dari proses finishing.
* * *
Mau ke situ juga ah.....semoga masih kebagian nasgornya
BalasHapusgood post mbak
BalasHapusHahaha bisa samaan gitu datangnya ya
BalasHapus