Minggu, 13 September 2015

[Cerpen Stripping] Cinta Dua Masa #3





Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #2


* * *



“Aku belum lupa ya, kamu nangis-nangis waktu dia pamitan,” Day menatap Madri, tajam. “Dan setelahnya dia nggak pernah kasih kontribusi apa-apa terhadap hidupmu. Bahkan mungkin mikirin kamu saja enggak.”

“Ya tapi kan dia harus konsen sama kuliah S2-nya di Jerman, Day,” ada nada pembelaan yang kental dalam suara Chika.

“Astaga...,” Day memutar bola matanya. “Ini jaman udah canggih banget, sekadar say hello aja apa susahnya sih?”

Chika menggaruk telinganya. Kehilangan kata-kata. Tapi sedetik kemudian dia menemukan celah.

“Tapi sekarang kayaknya dia suka juga sama Madri,” ucap Chika dengan mata berbinar. “Aku bisa lihat tatapan matanya yang... ah! Gitu deh!”

“Kamu kebanyakan nonton sinetron,” ucap Day tandas. “Lagian umurnya, Chik, umurnya... Jauh bener!”

“Yeee... Cinta nggak lihat perbedaan umur ‘kaleee...,” Chika langsung cemberut.

“Kami ini bukannya bantuin teman, ngarahin ke hal yang bener, malah gosokin yang enggak-enggak,” Day melanjutkan gerutuannya.

Hening sejenak. Tak lama kemudian Day bangkit dari duduknya.

“Udah ah, aku mau pulang dulu. Besok aku ada ulangan Kimia,” ucap Day.

Chika juga ikut-ikutan berdiri. “Aku ada PR Inggris.”

“Enak ya, yang udah jadi mahasiswi,” Day menyenggol lengan Madri. “Nggak ada PR.”

“Enak gimana?” gerutu Madri. “Sekalinya dapat tugas langsung bikin paper ini-itu.”

Day dan Chika beriringan ke teras belakang. Swandini dan Jatmiko tengah duduk berdua menikmati teh dan aneka cemilan. Madri mengiringi langkah keduanya.

“Ma, Pa,” panggil Madri. “Day sama Chika mau pamitan.”

Swandini dan Jatmiko menoleh.

“Lho, nggak makan dulu?” Swandini mengangkat alisnya. “Itu, lagi disiapin sama Bik Tunik.”

Day dan Chika sama-sama menggeleng. Dengan alasan sudah menjelang malam, maka keduanya pun berpamitan.

* * *

Madri merebahkan badannya yang terasa letih di atas ranjang. Kegiatannya di kampus hari ini sebenarnya tak terlalu banyak. Hanya saja sebuah BBM yang masuk siang tadi mendadak terasa mengacaukan hidupnya yang tenang.

Hai, Dri... Sudah ada acara buat malem Minggu? Aku ada free pass Inside Out nih! Nonton yuk...

BBM dari Reddy.

Dan ia belum menjawabnya. Karena memang tak tahu harus menjawab bagaimana. Ketika curhat dengan Day dan Chika, justru kedua sahabatnya itu berdebat sendiri Berada pada dua sisi yang berlawanan. Tanpa ada kesimpulan yang bisa membantunya mengambil sikap.

Bertanya pada Mas Kresna?

Madri menghela napas panjang. Bisa-bisa masalahnya makin ruwet karena sudah jelas Kresna akan berpihak pada siapa. Sementara ia sendiri belum punya rencana apa-apa dengan Galang untuk akhir minggu nanti.

Galang memang tak pernah merencanakan sesuatu yang pasti untuknya. Semuanya serba spontan. Tapi sesungguhnya ia selalu menikmatinya. Walau hanya makan es krim berdua di taman kota. Atau berburu aneka buku. Atau menjadi penggembira Kresna saat timnya bertanding futsal. Atau hanya sekadar berboncengan motor menikmati sore yang cerah. Atau sesekali nonton. Atau hanya duduk berdua di bawah payung di sudut area belakang Cygnus Dimsum. Mengobrol tentang banyak hal. Bercanda tentang hal-hal yang tak penting.

Bersama Galang, ia tak perlu menjadi orang lain. Hanya perlu menjadi dirinya sendiri. Dengan segala sifatnya yang kadang-kadang semanja anak TK. Atau saat ia harus bertukar pikiran dengan Galang secara dewasa. Semuanya diterima Galang tanpa syarat.

Dan di atas semua itu, ia sungguh menyukai Galang yang sangat sederhana. Sama sekali tak pernah bergaya borjuis walaupun ayahnya adalah pemilik beberapa perusahaan besar dan ibunya pemilik jaringan salon dan butik terkenal. Tetap dengan enaknya mampir makan di warung pinggir jalan, dan selalu menunggang motor matic-nya walaupun mobil paling mahal sekali pun bisa terbeli untuknya.

Semuanya itu membuatnya nyaman. Tak pernah membuatnya jadi merasa terintimidasi.

Tapi dia...

Pikiran Madri beralih pada Reddy.

Masih jelas terpatri dalam ingatan Madri. Seolah baru terjadi kemarin. Ketika dengan sabar Reddy menghentikan pekerjaannya sejenak, kemudian menjelaskan tentang PR yang sebetulnya sudah dimengertinya dengan baik. Ketika Reddy mengirimkan senyum padanya saat ia tertangkap basah sedang mencuri pandang. Sebuah senyum biasa, bukan senyum yang meremehkan. Atau ketika wajah Reddy berubah menjadi cerah saat ia membawakan segelas teh hangat dan dua klakat bambu berisi hakau dan mini pao ke dalam ruang kerja Jatmiko tempat Reddy harus menyelesaikan tugasnya.

Semuanya terasa manis di hatinya. Hanya saja rasa manis itu berubah menjadi pahit ketika Reddy sudah menyelesaikan tugasnya yang hanya beberapa bulan saja dan berpamitan untuk pulang ke Palembang, dan kemudian meneruskan studinya ke luar negeri. Sedih hatinya tak terkira. Membuatnya melampiaskan semua tangis yang seolah ingin meledak tiap hari pada tumpukan buku-buku pelajarannya.

Ia berhasil melaluinya dengan baik. Karena Galang. Yang selalu menemaninya melalui saat-saat sulit terutama di sekolah.

Mas Galang...

Madri meraih ponselnya.

* * *

Galang tercenung menatap ponselnya. BBM dari Madri.

Mas, malam Minggu besok kita ada acara nggak? Aku diajak Mas Reddy nonton Inside Out. Boleh?

Galang mengusap wajahnya dengan kedua telapak tangan.

Jadi kamu lupa ya, Dri? batinnya resah.

Padahal sudah dari sebulan lalu ia mengatakan pada Madri, akan mengajaknya menghadiri resepsi pernikahan sepupunya itu. Dimainkan jemarinya di atas layar ponsel.

Dri, bukannya aku sudah bilang sama kamu, ingin ajak kamu ke nikahannya Mbak Riri, sepupuku? Acaranya Sabtu sore besok. Kamu lupa ya?

Beberapa saat kemudian ada balasannya : Oh iya, aku lupa. Maaf ya, Mas...

Galang mengetik lagi : Iya, nggak apa-apa. Jadi gimana, kamu mau ikut aku atau berangkat nonton?

Dan Galang kemudian menghela napas lega ketika menerima lagi balasan dari Madri : Aku ikut ke resepsi, Mas. Kan kita sudah janjian.

Kalau kamu ingin nonton, nanti Minggu siang ya?

Inside out ya?          

Whatever you want, Princess...

Senyum terkembang di bibir Galang ketika membayangkan wajah ceria Madri saat ia menyebutnya Princess dan menjanjikan nonton film Inside Out. Tapi bibir itu kembali terkatup rapat ketika menyadari kenapa Madri bisa lupa kalau sudah punya janji dengannya.

Dia lagi..., rutuk Galang dalam hati.

* * *

Galang melongok langit senja dari balik jendela mobil yang dikemudikannya. Cerah. Bahkan masih ada sisa cahaya matahari membayang di ufuk barat. Dengan halus dihentikannya mobil itu di depan pagar rumah Madri.

Kresna yang tengah menggulung slang air bekas menyiram taman menoleh. Senyumnya terulas ketika menyadari siapa yang datang. Buru-buru dibukanya pintu pagar.

“Cwiwiiit!” Kresna bersiul. “Sudah macam ajudan gubernur saja penampilanmu, Lang!”

Galang terkekeh sambil menekan tombol alarm mobilnya. Kresna mengarahkan dagunya ke arah rumah.

“Setor muka dulu sono ke camer,” godanya.

Galang tertawa lagi sambil melangkah masuk melalui pintu garasi yang terbuka. Di selasar samping, dijumpainya Jatmiko tengah menghirup kopi sambil menatap tabletnya.

“Sore, Om,” sapa Galang sopan.

Jatmiko mengalihkan tatapannya. Senyumnya terkembang melihat kedatangan Galang. Ia menyambut jabat tangan Galang dengan hangat.

“Di mana resepsinya?” tanya Jatmiko.

“Di TMII, Om.”

“Hm... Madri lagi didandanin sama mamanya. Sabar ya?” senyum Jatmiko.

Galang mengangguk.

“Jadinya kapan kamu berangkat ke Aussie?”

Galang tercenung sejenak sebelum menjawab, “Masih tahun depan kok, Om.”

“Lho,” Jatmiko mengerutkan keningnya. “Kok ditunda?”

“Iya,” Galang mengangguk. “Saya mau cari pengalaman dulu di perusahaan. Mulai Senin besok saya masuk kerja, Om.”

“Oh... jadi wakil ayahmu?” Jatmiko tersenyum lagi.

Galang menggeleng. Sedikit tersipu. “Jadi staf finance biasa kok. Kata Ayah, saya harus mulai dari bawah.”

“Ayahmu betul,” Jatmiko meletakkan tabletnya di atas meja. “Supaya kelak kamu bisa menghargai semua SDM yang harus kamu kendalikan. Dari dasar, sampai ke puncak.”

Galang manggut-manggut. Tepat saat itu Madri muncul dari dalam, diiringi Swandini. Seketika Galang ternganga menatapnya.

Madri tampak sangat cantik dengan gaun batik selutut berwarna dasar merah cerah yang dikenakannya. Ada aksen obi melingkari pinggangnya. Lengan pendek gaunnya serupa dengan bagian gaun dari pinggang ke bawah, melebar layaknya lonceng. Riasan wajahnya tak hanya sekadar bedak dan sheer colored lip-balm seperti biasanya. Kali ini lebih lengkap, tapi tak menimbulkan kesan berlebihan. Rambut sepunggungnya hanya dikepang tempel dari puncak kepala hingga ke ujung. Clucth yang dipegangnya sewarna dengan sepatu satin hitam beraksen bordir warna merah berhak 3 cm yang dikenakannya. Semua yang melekat pada diri Madri memberi kesan segar dan tetap meremaja. Cocok dengan usianya yang masih belum genap 17 tahun.

Jatmiko berdehem, membuat Galang tercabut seketika dari perasaan terkesimanya.

“Ini janjian, ya? Kok sama-sama pakai baju merah?” Jatmiko tertawa ringan.

Galang menunduk, menatap kemeja batik dan celana panjang hitam yang dikenakannya. Walaupun coraknya lain dari gaun batik yang dipakai Madri, tapi warna dasarnya sekilas terlihat sama.

“Oh... Hehehe...,” Galang terkekeh ketika menyadarinya.

“Mau berangkat sekarang?” Swandini tersenyum sambil mengelus kepala Madri.

“Yuk!” Galang menatap Madri.

Madri mengangguk.

“Motormu ditinggal di sini saja, Lang,” ucap Jatmiko. “Pakai mobil Om atau Tante. Kan lumayan jauh perginya.”

“Saya bawa mobil kok, Om,” tak ada sedikit pun nada pamer dalam suara Galang.

“Oh... Ya, sudah. Hati-hati di jalan ya? Nitip Madri.”

Galang kemudian berpamitan tanpa lupa salim pada Jatmiko dan Swandini. Kresna yang muncul kemudian dari arah garasi langsung mengulurkan tangannya.

“Salim sekalian sama Mas Kresna,” ucap Kresna, menggoda Galang.

Galang terbahak karenanya. Tapi masih sempat didengarnya ucapan Kresna, yang membuatnya makin erat menggenggam tangan Madri.

“Pa, ada Mas Reddy tuh! Sudah aku suruh masuk ke sini.”

Dan kemudian mereka saling bertatapan sejenak ketika berpapasan di dalam garasi. Reddy tersenyum tipis. Galang hanya mengangguk sekadarnya. Madri sendiri hanya tertunduk sambil mengikuti langkah Galang.

* * *

“Kamu cantik deh, Dri!” ucap Galang sambil mengemudikan mobilnya.

Pujian yang tulus. Tanpa nada merayu. Tapi cukup membuat Madri tersipu sejenak.

“Apa sih?” gumam Madri dengan pipi terasa menghangat.

“Saking cantiknya sampai kadang-kadang aku takut kehilangan kamu.”

Madri tertunduk seketika. Ada yang terasa menohok hatinya.

“Dri, aku tahu kok, dia ada di hatimu sebelum aku,” ucap Galang lirih, menghela napas panjang setelahnya.

Madri terdiam. Merasa tertohok lagi.

“Oh ya, mulai Senin depan aku masuk kerja,” ucap Galang, berusaha mengubah topik pembicaraan. “Kalau kamu ada kuliah pagi, aku masih bisa mengantarmu. Tapi aku nggak bisa lagi menjemputmu pulang. Biarpun kerja di tempat Ayah, aku nggak bisa seenaknya keluar-masuk kantor begitu saja.”

“Oh...,” Madri mengangguk. “Kalau lagi nggak bisa pulang bareng Mas Kresna, aku bisa naik angkot kok. Atau bisa juga minta dijemput Pak Pono.”

“Nanti kalau sudah punya SIM C kan enak,” senyum Galang. “Bisa bawa motor sendiri.”

“He eh,” Madri kembali mengangguk. “Nggak lama lagi ini...”

Nggak lama lagi... Mata Galang mengerjap. Ulang tahun ke-17 Madri. Untung aku menunda keberangkatanku ke Australia...

* * *
Bersambung ke : Cinta Dua Masa #4

4 komentar: