Sabtu, 19 September 2015

[Cerpen Stripping] Cinta Dua Masa #6





Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #5



* * *



Sambil berjalan ke arah parkiran motor, Galang membuka BBM-nya. Ada beberapa pesan yang masuk ke ponselnya. Paling atas dari Elga.

Lang, hari Sabtu jadi nggak?

Secepatnya Galang menuliskan balasan : Sabtu ini nggak bisa, El. Aku harus masuk kerja. Minggu gimana?

Lama tak ada balasan dari Elga. Galang membaca sekilas semua pesan yang masuk sebelum pesan Elga sambil duduk di atas jok motornya. Sambil tetap menunggu balasan dari Elga, Galang mencari nama Madri dalam kontaknya. Seketika rasa sesak memenuhi dadanya ketika tak mendapati lagi nama Madri.

Dia menghapusku?

Galang kembali menelusuri list dalam BBM-nya. Sama. Nihil. Dan kini rasa sesak itu bertambah dengan rasa nyeri. Diusapnya wajah dengan tangan kirinya sambil menarik napas berkali-kali.

Ia tak lagi menunggu balasan dari Elga. Dengan cepat dikenakannya helm dan jaket. Sejenak kemudian ia sudah menarik gas motornya. Pulang. Dengan pikiran entah melayang ke mana.

* * *

Madri mematut dirinya agak lama di depan cermin. Sesuatu yang tak pernah dilakukannya saat hendak berkencan dengan Galang. Kencan yang pertama sekali pun. Tapi kali ini lain. Karena yang mengajaknya nonton bukan Galang, melainkan Reddy.

Ditatapnya bayangan dirinya yang tengah berkacak pinggang. Celana panjang jeans dan polo-shirt adalah busana yang sangat disukainya. Nyaman, pantas, dan membuatnya leluasa bergerak. Apalagi bila harus berboncengan motor.

Tapi...

Madri menghembuskan napasnya keras-keras melalui mulut. Entah kenapa ia ingin tampil manis sore ini. Supaya terlihat pantas berada di samping Reddy yang jauh lebih dewasa darinya.

Hm...

Pada akhirnya pilihannya jatuh pada sebuah blus katun berwarna biru muda dengan krah lebar dari renda putih yang cukup manis. Menggantikan polo-shirt berwarna merah yang tadi dikenakannya. Sekali lagi ia mematut dirinya di depan cermin.

Lumayan... Tapi...

Ia masih belum puas. Digantinya celana jeans-nya dengan rok jeans selutut. Kurang nyaman dibandingkan dengan celana panjang, sebetulnya. Tapi ia tak punya pilihan lain demi terlihat lebih menarik. Ketika hendak meraih sepatu flat berbahan jeans yang biasa dipakainya, mendadak gerakannya terhenti.

Yang benar saja?!

Maka ia ganti meraih sepasang loafers yang terbuat dari kulit berwarna hitam. Terakhir, ia memasukkan dompet, ponsel, sheer-colored lip balm, dan sebuah tali rambut berwarna hitam ke dalam sebuah tas hitam kecil bertali panjang yang diselempangkannya menyilang dari bahu kanan ke pinggul kiri. Keseluruhan penampilannya terlihat segar dan cantik dengan rambut yang dibiarkannya terurai.

Maka yang bisa ia lakukan sekarang adalah menunggu kedatangan Reddy.

Huuuf...

Madri tersenyum simpul ketika menyadari betapa ribetnya ia mempersiapkan diri untuk kencan pertamanya ini. Semuanya itu menimbulkan sensasi lain di hatinya. Geli yang menggelitik berbaur dengan perasaan senang tak terhingga.

* * *

Pelan-pelan Reddy menepikan mobilnya. Sekilas dilihatnya Jatmiko sedang ada di halaman depan rumah. Sedang menyiram taman, dengan Swandini tengah berjongkok merapikan beberapa perdu pendek di dekat Jatmiko. Setelah menekan tombol alarm, Reddy pun melangkah mendekati pintu pagar.

“Selamat sore, Pak, Bu,” sapanya sopan.

Jatmiko dan Swandini sama-sama menoleh.

“Hei, Dy! Masuk!” senyum Jatmiko.

Reddy pun membuka pintu pagar yang tak terkunci itu.

“Kamu mau lembur?” tanya Jatmiko langsung.

Reddy menggeleng. “Maaf, Pak, Bu, saya mau minta ijin untuk mengajak Madri keluar. Nonton.”

“Oh...,” wajah Jatmiko terlihat ragu-ragu.

Ditolehnya Swandini. Sorot matanya memancarkan tanya. Sedetik Swandini melebarkan matanya.

“Tunggu sebentar ya, Dy, Ibu panggil Madri dulu,” ucap Swandini sebelum berlalu, masuk ke dalam rumah.

“Ya, Bu, makasih,” Reddy mengangguk.

Swandini melangkah cepat menuju ke kamar Madri. Pintu kamar itu tertutup rapat, dan ia mengetuknya pelan.

“Dri...,” panggilnya lembut.

Pintu itu segera terbuka. Swandini terbengong sejenak ketika melihat dandanan Madri tak seperti biasanya.

“Kamu mau ke mana?”

“Nonton,” jawab Madri, terlihat malu-malu.

“Sama siapa?” Swandini mengerutkan keningnya sedikit.

“Mas Reddy,” suara Madri melirih.

“Hm...,” Swandini mengangguk-angguk. “Galang?”

“Dia mutusin aku,” mendadak bibir Madri mengerucut.

“Kapan?”

“Abis aku ultah itu.”

“Kenapa?”

“Katanya aku lebih cocok sama Mas Reddy.”

“Hm...”

Swandini terlihat serba salah. Tapi ia berusaha untuk menutupi perasaannya.

“Tuh, Mas Reddy-nya sudah datang,” ucap Swandini kemudian. “Jangan pulang terlalu malam ya? Jam sembilan sudah harus di rumah.”

“Ma...,” Madri merajuk seketika. “Biasanya kalau malam Minggu boleh sampai jam sebelas kenapa sekarang cuma dikasih ijin sampai jam sembilan doang sih?”

“Dri,” ucap Swandini sabar, tapi tegas. “Mama selama ini mempercayai Galang untuk menjagamu. Dan sekarang kamu pergi bukan dengan Galang. Jadi... Pulang jam sembilan. Nggak boleh lebih.”

Madri tak berkutik mendengar nada tak terbantah yang dikumandangkan Swandini. Dihelanya napas panjang sebelum menyetujui syarat dari mamanya.

* * *

Jatmiko sudah sekian menit menahan diri untuk tidak bertanya soal Galang dan Madri. Begitu mobil Reddy menghilang dari pandangan, ditatapnya Swandini.

“Sebetulnya ceritanya itu bagaimana, Ma?”

“Madri bilangnya diputusin Galang setelah ulang tahunan itu,” Swandini mengangkat bahu. “Tapi kejadian sebenarnya aku belum tahu, Pa.”

“Hm...”

Jatmiko menggulung selang yang dipegangnya sambil berpikir-pikir. Beberapa saat kemudian, sambil menunggu Swandini mengambil minuman, dengan santai ia duduk berselonjor di lantai teras depan. Sejenak ia menatap ponsel yang sudah berada di tangannya. Menimbang-nimbang sesuatu. Akhirnya ia memutuskan untuk menghidupkan layar ponselnya.

Tak ada tanggapan dari seberang sana. Dari orang yang diteleponnya. Hingga tiga kali ia menelepon. Hasilnya tetap nihil. Tapi tepat ketika ia meletakkan ponselnya di sisi tubuh, benda itu berbunyi. Jatmiko meraihnya.

“Halo, sore...”

“Met sore, Om. Maaf saya terlambat angkat telepon dari Om.”

“Iya, nggak apa-apa. Kamu lagi di mana?”

“Masih di jalan, Om. Mau pulang.”

“Dari mana memangnya?”

Saya masuk kerja, Om.”

“Oh...,” Jatmiko sekilas menatap Swandini yang datang membawa nampan berisi minuman dan cemilan. “Kamu bisa mampir ke sini sebentar?”

“Ng...”

“Sebentar saja, Lang,” ada sedikit nada mendesak dalam suara Jatmiko.

“Ya sudah, saya mampir.”

“Makasih ya, Lang. Om tunggu.”

“Iya, Om, iya. Sama-sama.”

Jatmiko pindah duduk ke kursi panjang dan meletakkan ponselnya ke atas meja. Swandini duduk di sebelahnya sambil menyodorkan segelas teh hangat.

“Galang?”

Jatmiko mengangguk. “Kusuruh ke sini.”

“Anak-anak...,” gumam Swandini, tersenyum.

Jatmiko melingkarkan lengan kirinya di sekeliling bahu Swandini. “Kita juga pernah jadi anak-anak.”

Senyum Swandini melebar. Direbahkannya kepala di bahu Jatmiko.

* * *

Galang menatap sejenak layar ponselnya sebelum kembali mengantongi benda itu di saku kemejanya. Rasa resah seketika memenuhi hatinya. Ayah Madri sampai perlu meneleponnya.

Madri kenapa?

Dihelanya napas panjang.

Aduh... Jangan-jangan dia kenapa-kenapa lagi gara-gara aku putusin!

Galang tersentak.

Mungkin keputusanku memang salah...

Ia cepat-cepat mengenakan kembali helmnya, kemudian meluncur ke rumah Madri.

* * *

“Lang, sebenarnya ada apa?”

Galang tertunduk di bawah tatapan mata Jatmiko. Kelelahannya terasa makin menumpuk. Beberapa detik kemudian ia mengangkat kembali wajahnya.

“Maaf, Om,” ucapnya lirih. “Saya memang bebaskan Madri untuk memilih yang terbaik buat dirinya.”

“Oh...”

“Saya tahu Mas Reddy sudah ada di hati Madri sebelum saya lebih dekat lagi dengan Madri. Dan sekarang Mas Reddy kembali. Madri juga sudah bukan anak-anak lagi. Jadi...”

Ucapan Galang terhenti ketika Swandini muncul membawa nampan berisi tiga cangkir teh dan beberapa stoples kecil berisi aneka snack. Setelah Swandini menempatkan dirinya di sebelah Jatmiko, barulah Galang meneruskan kalimatnya.

“Jadi saya pikir biarlah Madri coba jalan dulu dengan Mas Reddy. Kalau dia merasa nyaman, ya...,” Galang angkat bahu, “saya harus terima. Kalau sebaliknya yang terjadi, ya saya akan kembali jalan dengan Madri. Dengan sangat senang hati.”

“Hm...,” Swandini menatap Galang dengan lembut. “Sekarang Madri lagi jalan sama Reddy. Nonton. Maklumi Madri ya, Lang. Madri masih anak-anak.”

“Nggak apa-apa, Tante,” Galang tersenyum tipis.

“Ayo, diminum dulu, Lang,” Swandini membuka tutup stoples-stoples dengan cepat. “Ini dimakan juga, yuk!”

“Kerjaanmu gimana, Lang?” celetuk Jatmiko.

Galang kemudian bercerita tentang pekerjaannya dengan sedikit lebih bersemangat. Swandini melihat dengan jelas binar yang tersamar dalam mata Galang. Binar yang ada karena Galang benar-benar menikmati passion-nya di dunia kerja. Dunia baru yang kelak akan menjadi kehidupannya.
                                                    
Sesungguhnya ia sedikit menyesali Madri yang terlihat lebih antusias untuk memulai petualangan baru dengan Reddy. Selama ini ia merasa cukup nyaman melihat hubungan Galang dengan Madri. Galang di usianya yang masih sangat muda bisa memahami sekaligus bisa membantu membimbing Madri dengan baik. Apalagi Galang sudah sangat dikenalnya karena sudah bersahabat dengan Kresna sejak ketiganya, bersama Denny, duduk di bangku TK.

Ah, sudahlah..., desahnya dalam hati. Kita lihat saja nanti...

* * *

Setengah hati Galang menikmati air dingin yang memancar dari shower di atas kepalanya. Rasa penatnya berkurang sedikit. Tapi tidak dengan rasa resahnya.

Kalau tadi ia resah karena mengira Madri kenapa-kenapa setelah menerima suratnya, kali ini ia resah karena ternyata Madri sama sekali tidak apa-apa. Malah kelihatannya menikmati betul kebebasannya untuk pergi bersama Reddy.

Galang tersenyum tipis. Pahit. Menikmati sakitnya kekalahan yang ia rasakan. Sudah ngotot menunda kuliah di Australia, sekarang malah naga-naganya ia akan tetap kehilangan Madri.

Tapi sama saja. Daripada terus bersama Madri tapi pikiran dan perasaan Madri lari ke mana-mana...

Ia berusaha menghibur diri.

Setelah menyelesaikan acara mandinya, Galang segera menyusup di balik selimut di ranjangnya. Besok dia ada kegiatan yang harus dimulai pagi-pagi. Bersama Elga.

Masih terngiang di telinganya suara cempreng tapi manis milik Elga, “Pokoknya jam enam kamu udah harus sampai di sini.”

Galang pun mulai memejamkan matanya.

* * *

Bersambung ke : Cinta Dua Masa #7


4 komentar:

  1. Mau ngapain jam enam sudah harus nyampek? Car free day? Hehehe....apa disuruh kerja bakti?
    Lanjutan wis....tambah gemes

    BalasHapus
  2. nahlo... kuapokmu kapan...
    tu si galang dah mau jalan ma cewek lain...
    kuapokmu kapaaaannnn...

    #masihsebel #madrimanjabanget #bikingregeten #kuapokmukapan

    BalasHapus