Episode sebelumnya : Cinta Dua Masa #8
* * *
“Dri...”
Mug yang dipegang Madri hampir jatuh. Tanpa
menoleh pun ia mengenali siapa pemilik suara itu. Tapi ia harus tetap
mendongakkan kepalanya dari balik meja kasir. Seulas senyum yang dirindukannya
terpampang begitu saja di depan matanya.
“Apa kabar?” Galang menatapnya. Dengan
kerinduan yang terlihat sama.
“Eh,” Madri tergagap sejenak. “Baik.”
“Om Miko ada?”
“Ada...,” Madri mengangguk cepat. “Ada, Mas.
Masuk aja.”
“Makasih.”
Galang berbalik dan melangkah ke arah kantor
Jatmiko. Dari bayangan yang terpantul di partisi, ia bisa melihat bahwa Madri
terus menatapnya dari belakang.
Aku
juga kangen sama kamu, Dri. Tapi...
Sementara itu mata Madri tak lepas dari sosok
Galang yang kian menjauh dan akhirnya memghilang di balik pintu kantor Jatmiko.
Dihelanya napas panjang.
Hanya
segitu doang...
Ada yang terasa sesak dalam hatinya. Galang
terlihat lebih kurus daripada biasanya, walaupun masih ada semangat dan binar
yang terpancar dari dalam matanya.
Karena
gadis itukah?
Madri mengerjapkan mata.
Lalu
apa yang bisa kuharapkan? Semuanya sudah lain sekarang.
Madri tertunduk. Mengambil mugnya. Sesaat
kemudian ia mencoba menikmati coklat hangat dalam mug itu.
Sudah
terlanjur salah. Entahlah... Apa masih bisa diperbaiki lagi?
Madri kembali menghela napas panjang.
* * *
Galang menjabat tangan Jatmiko dengan wajah
cerah. Kerjasama dengan Jatmiko tampaknya akan berjalan mulus. Jatmiko
mengijinkan Galang menggunakan brand CYGNUS DIMSUM untuk food truck yang akan diusahakannya,
sekaligus menyetujui usul Galang untuk mengambil produk Cygnus dengan sistem
beli-putus. Apalagi di Food Truck
Festival belum ada dijual makanan serupa.
Jatmiko percaya Galang akan menggunakan
kesempatan itu dengan baik. Apalagi Galang bermaksud menggandeng Kresna dan
Denny untuk bersama-sama mengelola usaha itu, dengan tugas utama Kresna sebagai
pengendali mutu.
“Saya sebetulnya ingin mengajak Madri juga,
Om. Tapi...,” wajah Galang tampak ragu-ragu. “Mungkin nanti saja kalau usahanya
sudah jalan.”
“Terserah mana yang menurutmu baik, Lang,”
senyum Jatmiko. “Om percaya kamu bisa. Diakui atau tidak, ada darah pebisnis
dalam dirimu.”
Ketika Galang berpamitan dan keluar dari
kantor Jatmiko, ia tak lagi menjumpai Madri di meja kasir. Entah gadis itu ada
di mana. Padahal Galang sudah merencanakan untuk ‘mampir’ dan mengobrol sedikit
dengan Madri.
Ada perasaan kecewa. Membaur dengan rasa
rindunya pada Madri. Tapi saat ini ia sedang memiliki banyak hal untuk
dikerjakan. Terpaksa perasaan itu ia kesampingkan dulu. Agar semua yang sudah
tersusun rapi di benaknya tidak lagi berantakan.
* * *
Cygnus Dimsum On Truck akhirnya
resmi beroperasi beberapa minggu kemudian. Menempati lahan tepat di samping Van Penyet Boi sesuai arahan Elga, truk
itu hanya menyediakan sedikit meja dan kursi untuk makan di tempat. Selebihnya
mengandalkan kemasan praktis untuk take
away. Pengelolanya adalah trio Galang-Denny-Kresna, dibantu teman-teman
sesama mahasiswa-mahasiswi yang mau bergabung untuk melayani konsumen.
Nama besar Cygnus Dimsum sendiri tampaknya cukup kuat untuk mengatrol
penjualan. Apalagi banyak pelanggan setia Kedai
Cygnus yang sedang berada di Food
Truck Festival itu mengenali Kresna sebagai salah satu anak pemilik brand Cygnus. Suatu hal yang memperkuat image Cygnus Dimsum On Truck sebagai betul-betul bagian dari Kedai Cygnus.
Elga menatap food truck baru itu dengan puas. Pengalaman Galang membantunya
selama beberapa bulan di Van Penyet Boi
membuat pemuda itu tak ‘bego-bego amat’ dalam terjun langsung menjalankan usaha
food truck-nya. Apalagi tampaknya
kekompakan trio Galang-Kresna-Denny membuat pengaturan ‘piket’ ketiganya
berjalan tanpa hambatan.
Sesekali Kresna mengajak Madri untuk
membantunya di truck. Madri
sebetulnya senang dilibatkan seperti itu. Hanya saja ia jadi setengah hati
ketika suatu saat mendapati Galang mampir ke truck sepulang kerja dan kemudian mengobrol dengan asyiknya bersama
Elga di depan Van Penyet Boi.
Tak ada ‘hal aneh’ dari obrolan itu. Sesuatu
yang sempat ia curi dengar. Hanya membahas soal food truck dan strategi penjualan untuk pemula seperti Galang. Tapi
kedekatan di antara Galang dan Elga membuatnya menjauh. Dan ia menyibukkan
diri, ikut membantu menyiapkan deretan pesanan yang masuk ke truck.
Yang ia tak tahu, sebetulnya Galang setengah
mati menahan diri untuk tidak mendekatinya. Waktunya belum tepat, itu yang ada
dalam pikiran Galang. Sehingga ia hanya bisa memuaskan diri untuk sesekali
menatap Madri dari kejauhan.
* * *
“Kamu menyiksa diri, Lang,” ucap Elga halus.
Galang menghela napas panjang.
“Aku tahu sebenarnya usahamu ini cuma
pelarianmu,” lanjut Elga, tanpa bisa dibantah Galang. “Sebetulnya bagus karena
arah larimu itu ke hal yang positif. Tapi lama-lama juga nggak baik buat
kesehatan perasaanmu.”
“Berubahnya aku jadi orang kantoran saja
sudah menyita sebagian besar waktuku buat Madri,” desah Galang. “Apalagi sekarang,
saat aku sedang merintis usaha baru seperti ini. Banyak yang kupertaruhkan,
El.”
“Iya, aku tahu,” Elga menepuk punggung tangan
Galang.
“Aku harus menjaga investasi Ayah yang
ditanamkan di sini. Harus menjaga nama besar Cygnus. Harus mengatur waktu agar usaha di sini nggak mengganggu
jam kerjaku di kantor. Harus menyinkronkan langkahku dengan Denny dan Kresna.
Aku takut mengabaikan Madri kalau aku memaksa diri.”
“Madri nggak akan terabaikan,” senyum Elga.
“Toh dia juga sering membantu di sini. Pasti kalian bakal sering ketemu.
Kualitas, Lang. Bukan kuantitas.”
Galang menatap Elga. Ada sorot meyakinkan
dalam mata Elga.
“Katakanlah saat-saat ini bisa jadi transisi
sebelum kalian terpisah kalau nanti kamu berangkat ke Aussie,” Elga melebarkan
matanya.
Galang mengangkat alisnya. Begitu ya?
Elga mengangguk, mengerti arti tatapan
Galang.
* * *
Madri hampir terlonjak girang ketika ada
notifikasi invite dari Galang di akun
BBM-nya. Tapi beberapa detik kemudian semangatnya menyurut. Rasa malu merebak
dalam hatinya. Tentu saja ia belum lupa bagaimana ia beberapa bulan lalu
menghapus begitu saja nama Galang dari list
BBM-nya.
Tapi perlahan rasa rindu itu mengalahkan rasa
malunya. Dengan cepat ia menyentuh kotak accept.
Dan setelah beberapa menit berlalu, ia memberanikan diri untuk mengirim pesan
pada Galang.
Mas
Galang, apa kabar? Baikkah?
Tak ada hitungan menit, pesan itu berbalas : Not really.
Hah?
Madri
mengerutkan kening. Secepatnya ia membalas pesan itu : Mas Galang sakit?
Galang : Enggak.
Cuma kangen banget. Kangen kamu.
Madri : Gombal.
Galang : Lho,
beneran kok dibilang gombal?
Madri : Ih!
Nyebelin!
Galang : Balikan
yuk, Dri...
Madri : Dih!
Gampang banget mutusin aku. Sekarang gampang juga minta balikan. Terus,
ceweknya mau dikemanain?
Galang : Cowokmu
sendiri, apa kabarnya?
Madri : Udah
lain dunia.
Galang : Ups!
Sereeemmm... Lain dunia gimana? Dia masih hidup kan?
Madri : Ya
masihlah...
Galang : Besok
kamu ke truck nggak?
Madri : Nggak
tahu.
Galang : Ke
truck dong... Kita ngobrol.
Madri : Lihat
besok aja deh!
Sesungguhnya Madri ingin langsung mengiyakan
ajakan Galang. Tapi ada gunungan gengsi dalam hatinya. Ia tak mau memberi
harapan pasti. Hanya saja, memang ia sudah berencana untuk membantu Kresna di truck besok sore.
Di samping itu, ia masih merasa ragu. Akan
jadi apa hubungannya dengan Galang nanti?
* * *
Madri berusaha menyembunyikan resahnya dengan
menyibukkan diri melayani pembeli yang datang ke truck. Hingga langit gelap, Galang belum muncul juga. Beberapa kali
diperiksanya ponsel. Tak ada satu pun pesan masuk dari Galang.
“Dri, makan dulu yuk!”
Madri mengangkat wajahnya. Seulas senyum Elga
menyapanya. Madri ragu-ragu sejenak. Truck
memang sedang tidak terlalu ramai saat ini.
“Sana, Dri,” Denny menepuk bahunya. “Makan
dulu.”
Madri kemudian mengangguk dan melangkah
keluar dari truck. Diikutinya Elga
hingga ke van.
“Kamu mau makan apa?” tanya Elga, ramah.
“Terserah Mbak Elga,” jawab Madri, lirih.
“Iga bakar penyet mau?”
Madri mengangguk. Iga bakar penyet memang kesukaannya. Madri pun
duduk di depan salah satu meja. Tak lama kemudian Elga kembali dengan membawa
dua gelas es teh, dan duduk di depan Madri.
“Kuliahmu gimana?” tanya Elga sambil
meletakkan salah satu gelas di depan Madri.
“Baik, Mbak,” Madri mengangguk. “Lagi libur
semester. Makasih.”
“Hm...,” bibir Elga kembali mengulas senyum.
“Aku baru mulai nanti, barengan sama Galang. Tapi nggak tahu deh! Sebenarnya aku
ingin di sini saja, tapi mama-papaku ingin aku sekalian saja ke Australia.
Mumpung ada barengannya.”
“Oh...,” hati Madri seketika ciut
mendengarnya.
Mereka
bakalan kuliah bareng di Australia?
Sebersit rasa nelangsa pelan-pelan menggayuti
hati Madri. Tiba-tiba saja ia merasa bodoh sudah memelihara rasa sukanya pada
Reddy hingga sekian lamanya. Padahal sudah ada Galang yang demikian setia
menemaninya di segala cuaca.
Mungkin memang harus seperti ini bayaran yang
ia tebus atas kebodohan itu. Pelajaran yang sangat mahal!
“Ayo, Dri, makan dulu.”
Madri tersentak. Elda menyodorkan piring
berisi nasi hangat dan iga bakar penyet
kepadanya. Dan Madri mulai menikmati makanan itu setelah mengucapkan terima
kasih. Elga meninggalkannya untuk mengerjakan hal lain. Van mulai ramai mendekati jam makan malam.
Balikan?
Madri memikirkan BBM Galang semalam.
Terus
nanti dia tetap enak-enakan di Aussie bersama Elga itu? Terus peranku apa?
Ketika makanan di hadapannya masih tersisa
separuh, Madri melihat Galang melangkah tergesa. Pemuda itu belum melihatnya. Galang
kebetulan berpapasan dengan Elga. Tampak keduanya saling bercakap sejenak.
Tertawa. Begitu akrab. Dan Madri buru-buru mengalihkan tatapannya.
* * *
Bersambung
hari Sabtu, episode terakhir
Ojok kesusu entek dhisik, durung marem moco ceritane. He he he, iki pembaca mau nya terus ajah... Salim mbak, nuku'alofa cerita apik koyo ngene....
BalasHapusIkutan makan iga bakar penyet aja sambil tunggu endingnya.... ;)
BalasHapusgood post mbak
BalasHapuswah Galang gentle deeh.. aku suka caramu Lang tundepoin :-)
BalasHapuscuit cuit yg balikan...
BalasHapus