Kisah sebelumnya : CUBICLE #3
* * *
Empat
Hampir
pukul sepuluh pagi baru kuselesaikan meeting
dengan bagian produksi. Baru saja aku duduk di kursiku, notifikasi Whatsapp message terdengar lirih. Driya.
‘Yik! Maksi bareng ya? Geng
lu entar pada ngumpul nggak?’
‘Wah, belum tau gue… Emang
napa?’
‘Gue seharian ini ngantor.
Kan gue udah janji ke geng lu, mau ngenalin si Mita.’
‘Mita siapa?’
‘Arsitek gue yang kapan hari
ketemu di kantin itu…’
‘Oh... Entar deh gue hubungi
lu lagi.’
‘Lu lagi sibuk ya?’
(icon meringis)
‘Ya tiap hari juga gue
sibuk, Men… Gue dibayar buat kerja, bukan buat chatting.’
(icon melet)
‘Widiiih… Piyik galaks! Lagi
dapet lu ya?’ (icon ketawa setan)
‘Dapet temen gokil, iya!’
(icon setan marah)
‘Wakakak… Ya udah deh, entar
ketemuan di Prima yak?’
Belum
sempat kubalas message itu, Boss
Lenny menongolkan kepalanya dari balik pintu. “Sasi, kalo lu longgar, ke kantor
gue ya?”
“Sekarang,
Cik? Bisa kok, saya udah selesai meeting.”
“Ya
udah, sini…”
* * *
Ternyata
draft iklan Bara yang mau memakai
fotoku sudah sampai ke meja Boss Lenny. Bahkan Boss Lenny sudah membuat draft perjanjian kontrak ‘model’ iklan
untukku. Dia menunjukkan konsep yang sudah digarap Bara. Gambar utama adalah
wajahku, dengan tambahan tulisan di bawahnya.
Kungkungan
hutan kaca memisahkan kita dari tetes sejuk air hujan
Ke
mana hilangnya belantara hijau yang sesungguhnya?
Mari
selamatkan hutan kita!
Boss
Lenny yang perfeksionis itu bahkan sudah menyiapkan draft perjanjian yang melindungi aku dari komersialisasi tak perlu
yang mungkin dilakukan klien. Setelah tambah-kurang di sana-sini, aku pun
menyetujui wajahku dipakai oleh iklan sosial itu. Meeting dengan Boss Lenny selesai menjelang waktu makan siang.
Jadilah
aku resmi menyandang predikat baru sebagai model iklan. Model abal-abal sih...
Sama sekali belum jadi bintang. Mungkin suatu saat kelak...
Haish!
Mulai ngelantur. Efek lapar berat.
* * *
Di
luar ruangan Boss Lenny, gerombolan sarap sudah menungguku untuk makan siang.
Minus Bara. Ke mana cowok itu? Seakan mengerti apa yang kupikirkan, Nina
nyeletuk, “Bara masih di jalan, abis meeting
sama klien. Entar langsung nyusul.”
Di
belakang kami, Boss Lenny berjalan sambil menenteng tasnya. Kami sama-sama
masuk ke lift.
“Guys, terus terang gue bangga bisa
bekerja sama kalian. Gue bisa lihat kalian kerja keras dari hati buat kemajuan
perusahaan kita. So, sekarang gue mau
pulang. Kalian bebas istirahat sampai waktu pulang. Tapi pulang tetep jam 4
ya?” ucap Boss Lenny panjang lebar.
“Serius
nih, Cik?!” seru Gerdy.
“Apanya?”
Boss Lenny balik bertanya, tersenyum lebar.
“Boleh
nganggur sampai jam 4?”
“Iyaaa,
gue serius!” potong Boss Lenny. “Udah kalian nyantai aja hari ini…”
Kami
pun berebutan mengucapkan terima kasih. Di lantai 2 kami berpisah. Gerombolan
sarap keluar ke Prima, dan Boss Lenny terus meluncur ke basement.
“Eh,
kenapa kita nggak ke Cherie aja sih?”
Yussi menyebut nama cafe di sebelah Menara Daha.
Akhirnya
kami balik lagi ke lift. Nina menutup telepon yang baru saja diterimanya.
“Bara
udah di basement, gue udah suruh dia
tunggu di lobby,” ucapnya.
* * *
Di
Cafe Cherie rahasiaku terbongkar. Gara-gara Bara berterima kasih dengan manisnya
karena aku sudah mengijinkan dia memakai fotoku untuk iklan. Jadilah aku harus
mentraktir gerombolan sarap ini. Model iklan gitu loh...
Huhuhu...
Padahal aku dibayar sebagai model dengan budget
iklan sosial yang cuma sekian persen dari budget
iklan komersil. Pasti nombok nih! Mana duit honornya saja belum masuk ke
rekeningku! Huh!
Tengah
asyik berhaha-hihi sambil menunggu segambreng pesanan kami datang, ponselku
berbunyi. Driya.
“Halo,
Men…”
“Yik,
lu belum turun ya? Gue udah di Prima nih!”
Astagaaa...!
Aku benar-benar lupa!
“Eh,
sori banget, Men,” aku nyengir tanpa sadar. “Gue sama geng lagi di Cafe Cherie
nih, nggak jadi makan di Prima. Lu ke sini gih!”
“Hadeeeh...
Lu tuh ya...,” Driya mendesah di ujung sana. “Cafe Cherie yang mana?”
“Lu
keluar aja, cafenya ada di sebelah kanan Daha.”
“Cafe
yang warna krem-merah itu bukan?”
“Yak
betul! Nah itu lu tahu?”
“Ya
gue pernah ke situ. Oke deh, gue ke situ sekarang.”
“Eh,
Men! Lu jadi bawa aspri lu?”
“Iya,
jadi.”
“Oke
deh, buruan lu ke sini!”
Kututup
telepon dari Driya. “Driya mau ke sini. Mau ngenalin aspri bohaynya itu,”
ucapku.
Fajar
dan Bara langsung bersorak tertahan sambil toss. Gerdy cuma bengong. Salahnya
sendiri Jumat kemarin cabut duluan! Jadi nggak ngerti gossipan terbaru deh….
Tak
berapa lama Driya dan asprinya muncul. Siapa tadi namanya? Oh ya, Mita. Wow!
Dia layak juga jadi foto model.
Sayangnya
Mita ini cuma antusias ngomong dengan Fajar, Bara, Gerdy, dan Driya. Tidak
padaku, atau pada Emak Nina, atau pada Yussi. Tapi kulihat Gerdy nyantai saja. Tidak
terlalu menanggapi ‘kegenitan’ Mita. Sudah jadi calon bapak sih dia!
Kami
malah asyik mengobrol sendiri. Nina, Gerdy, Yussi, dan aku. Topik pembicaraan
tak jauh-jauh dari soal baby dan
kelahiran. Apalagi Mas Tony, suami Nina, adalah dokter SpOg yang selama ini
menangani kontrol Arlia, istri Gerdy. Gerdy sendiri tampak begitu antusias
kecemplung dalam sindrom calon bapak baru.
Banyak
hal ditanyakan Gerdy pada Nina, yang juga menjelaskan dengan antusias sesuai
dengan yang diketahuinya. Selebihnya Yussi dan aku berusaha menjadi penyimak
yang baik. Gadis-gadis yang diam-diam mendapat seminar gratis soal baby, kehamilan, dan kelahiran.
Entah
bagaimana awalnya hingga ‘kelompok sana’ akhirnya terlibat juga dalam obrolan
‘kelompok sini’. Sekilas kulihat wajah Driya agak tersaput mendung dan lebih
banyak diam. Tapi sepertinya dia tak ingin keluar dari obrolan yang nyata-nyata
bisa membangkitkan kesedihannya itu. Dia ikut menyimak dengan sabar.
Dan
ketika tatapan kami bertemu, dia mengulas senyum tipis yang mengisyaratkan ‘gue nggak apa-apa kok!’. Aku menjadi lebih lega karenanya. Sekaligus berharap waktu
akan menyembuhkan Driya, sahabat lama yang baru saja aku temukan kembali.
* * *
Kami
selesai makan menjelang pukul 3. Sesuai skenario, aku segera memanggil waitress untuk meminta bill.
“Bisa
pakai debit, Mbak?” tanyaku sambil mengeluarkan kartu debitku.
“Bisa,
Mbak,” jawab Mbak Waitress ramah.
Tapi
Bara dan Driya sama-sama mengulurkan kartu kreditnya. Si Mbak jadi bingung.
“Udah
gue yang bayar,” kata Bara. “Kan gue yang jadi sebab.”
“Gue
aja, kan gue yang punya hajat ngenalin Mita ke kalian,” bantah Driya.
Aku
terhenyak ketika kulihat Bara dan Driya saling menatap. Seolah mengukur
kekuatan. Halah... Kok kayak gini jadinya?
Akhirnya
dengan kukuh kusodorkan kartu debitku. “Ini, Mbak,” tegasku sekali lagi sambil
berdiri. “Mana alatnya, buruan gesek.”
Bara
menatapku dengan wajah bersalah. Driya juga kelihatan salting.
“Bayar
aja rebutan…,” ledek Gerdy.
“Lagian,
bayar pakai kartu kredit. Makannya kapan, bayarnya kapan...,” sahutku sinis.
Entah
kenapa aku jadi uring-uringan sendiri.
* * *
Mbak, Makasih buat ceritanya.... Lebih pajang, lebih lama, lebih nendang. Setiap hari, nunggu in cerita baru, obat Kangen ama indonesia.....
BalasHapusgood post mbak
BalasHapusMenyimak.........
BalasHapus