Episode sebelumnya : CUBICLE #2
* * *
Tiga
Meskipun
bekerja di bawah satu atap gedung yang sama, Driya dan aku jarang bertemu. Aku
sering keluar kantor untuk bertemu dengan klien atau turun langsung berburu
properti untuk produksi iklan. Driya sendiri adalah ujung tombak kantor cabang developer yang dipegangnya. Posisi itu
mengharuskannya bertatap muka dengan klien, atau terjun langsung ke lokasi
proyek.
Kalau
dia lagi ada di kantor, pukul 10 pagi selalu ada Whatsapp message masuk darinya. Mengajakku maksi bersama saat jam
istirahat. Kalau sudah begini, aku terpaksa berpisah dengan geng sarapku.
Geng
sarap juga sering tidak lengkap karena ada yang masih berkeliaran di jalanan
ataupun sedang bercengkrama dengan klien saat jam istirahat. Tapi siang ini
geng sarap bisa berkumpul lengkap. Dalam kondisi santai begini seringkali malah
ide-ide kami rebutan berloncatan keluar.
“Pusing
gue sama job yang masuk ke desk gue kemarin,” keluh Bara.
“Tumben?”
Yussi membelalakkan matanya. “Biasanya kan lu gudangnya ide, Bar?”
“Nggak
tahu deh, otak gue rasanya udah penuh banget, sampai susah mikir,” Bara
menggelengkan kepala.
“Iklannya
apaan?” tanyaku. “Yang lemparan dari gue bukan?”
Bara
menggeleng. “Bukan. Tapi sosial lagi, soal lingkungan hidup, go green. Ya sebangsanyalah…,” jawab
Bara. “Lu ada ide, Sas?”
Wah,
stuck! Otakku lagi blank saat ini. Butuh banget Chicken Cordon Bleu pesananku yang lama
nggak datang-datang. Aku pun menggeleng.
“Lu
cuti aja napa, Bar?” celetuk Nina. “Liburan bentar. Ke Puncak kek, atau ke mana
gitu… Lu sih kerja kayak mesin, kagak ada stopnya…”
“Lu
pasti kebanjiran ide abis beli oyeh-oyeh buat kita,” sambung Gerdy sok imut.
“Wooo…,”
kami langsung koor.
Bara
tertawa lebar. Ganteng banget... Ups!
Saat
itu ponsel yang tergantung di leherku bernyanyi. Driya.
“Halo…”
“Lu
lagi di mana, Yik?”
“Ini
lagi di Prima sama geng. Napa, Men?”
“Ya
udah, gue ke situ.”
Klik!
Sambungan terputus.
Nina
menatapku dengan pandangan ‘mendamba’. “Kalo aja gue belum punya Mas Tony sama Rira,
gue mo banget dikenalin lebih dalem sama Betmen lu itu, Sas….,” desahnya norak.
“Woooiii!”
Yussi menggoyangkan tangan di depan mata Nina. “Inget ASI, Maaaak… Inget ASI….”
“Jodohin
sama Yussi aja napa?” celetuk Fajar, cengengesan.
“Wah,
modusnya Yussi sih perjaka ting ting, bukan duren,” aku ngakak.
5
pasang mata menatapku kaget. Aku langsung terdiam. Ups! Aku kelepasan omong.
“Hah?
Dia duren?” tanya Yussi tak percaya.
“Ya
udah, lu embat sendiri aja, Sas!” ledek Gerdy.
“Jangan!
Sasi sama Bara aja, cucok!” usul Nina telak.
Bara
cuma mesem-mesem tak jelas. Untung Yussi tak terpengaruh.
“Divorce atau….?”
“RIP,” ucapku cepat sambil berdiri,
memotong pertanyaan Yussi.
Yang
kami gossipkan jaraknya cuma tinggal sekira 15 meter dari meja kami. Dan dia
terus mendekat.
“Hai,
guys!” sapanya akrab. “Gue gabung
boleh?”
“Silakan…
Silakan…”
Ketika
Driya hendak menarik kursi dari meja sebelah yang kosong, Gerdy berdiri sambil
menepuk bahu Driya.
“Pakai
kursi gue aja, Bro. Gue mo cabut duluan kok. Mo nge-date sama klien,” kata Gerdy.
“Hujan-hujan
gini?” Bara mengangkat alisnya.
“Duit
nggak kenal hujan, Bro!” Gerdy tertawa. “Yuk, ah!”
Driya
pun duduk di ex kursi Gerdy. Tak lama kemudian kami pun sudah terlibat dalam
obrolan dan canda yang asyik. Di luar sana hujan turun dengan deras. Sejak
pukul 9 tadi sedikitpun belum berkurang curahnya.
“Wah,
gue bisa nyampe Cikarang nggak ini ya?” guman Driya sambil menatap ke luar
dinding kaca Prima.
“Rumahnya
di Cikarang ya, Mas?” tanya Yussi.
“Pondok
Gede, rumah dinas. Di Cikarang cuma proyek. By
the way, jangan panggil gue mas dunk, gue kan masih seumuran Sasi, hehehe…”
Saat
itu ada gadis berambut ikal berpenampilan modis berjalan mendekat. Terasa ada
yang menyepak pelan kakiku. Sepertinya Nina.
“Permisi...
Maaf, Pak Driya, ada telepon dari Cikarang, menanyakan apakah Bapak jadi ke
sana?” suara gadis itu terdengar mendayu.
“Oh
iya, jadi, habis maksi aku ke sana. Kamu nggak usah ikut, ngantor aja. Aku
langsung pulang ya, nggak balik lagi ke sini.”
“Baik,
Pak. Permisi…”
Ketika
gadis itu masuk ke lift, Fajar langsung berkomentar nakal, “Gila lu, Bro! Sekretaris lu bohay benerrr…”
Driya
ngakak. “Bukan sekretaris itu… Dia arsitek andalan gue. Ya kadang-kadang jadi
aspri gue juga sih! Mau gue kenalin? Entar deh, kapan-kapan kalo pas kita bisa
kumpul, gue kenalin ke dia.”
* * *
Sudah
pukul 5 sore di antara jajaran cubicle.
Terus terang aku malas pulang kalau harus menembus sisa hujan seharian begini.
Beberapa ruas jalan yang harus kulalui pasti banjir. Dengan Brio kecil
mungilku, bisa-bisa aku malah mengapung di tengah banjir.
Kantor
sudah sepi sejak pukul 4 tadi. Di ruang finishing
masih ada beberapa anak yang lembur. Kupencet tombol SLP (Sambungan Langsung Pantry).
“Halo…,”
terdengar sahutan dari Gito.
“To,
tolong bikinin gue teh anget yak? Ge-pe-el. Makasi ya, To…”
“Teh
ijo ya, Mbak?”
“Sip!”
Aku
menyeberang ke arah dinding kaca. Ringan, aku bersandar pada railing. Kutatap mendung di luar sana.
Langit masih rata tersaput warna kelabu. Hujan belum berhenti. Masih menyisakan
rintik dan titik-titik tempiasnya. Pikiranku kosong, tidak fokus pada apapun
juga.
“Mbak,
ini teh angetnya…”
Suara
Gito menyentakkan kesadaranku kembali ke alam nyata. Entah sudah berapa lama
aku melamun. Kuterima mug sambil berterima kasih.
“Mbak
Sasi lembur? Mo dibeliin makanan?”
“Nggak
usah, To, gue nggak lama. Palingan sebelum jam 7 gue udah pulang.”
Sepeninggal
Gito, aku berbalik kembali ke arah dinding kaca. Sambil menikmati teh hangat di
tanganku aku kembali menatap hujan. Di kejauhan tampak sesekali kilat menyambar
membelah langit. Terlihat begitu spektakuler dari tempatku berdiri.
Saat
itu juga ide-ide berkelebat masuk ke dalam benakku. Clap! Clap! Clap! Ah,
‘begini’-lah seharusnya iklanku jadi!
* * *
Pendar
bintang masih memenuhi sebagian kuadran langit ketika kuluncurkan Brio-ku
meninggalkan basement apartemen. Jam
digital di dashboard menunjukkan
angka 05:28. Hari Senin begini biasanya jalanan relatif lebih macet. Aku tak
mau terlambat sampai ke kantor karena alasan konyol, kena macet. Apalagi hari
ini aku harus menyelesaikan konsep awal penggarapan iklan dengan bagian
produksi.
Langit
mulai terang dan matahari muncul malu-malu dari balik seleret awan jingga di
horison timur. Pukul 06.45 aku sudah parkirkan Brio-ku dengan manis di tempat
biasa. Basement Menara Daha masih lengang. Pintu lift juga
masih terbuka lebar.
Dengan
santai aku melangkah masuk ke dalamnya. Ketika pintu lift sudah tertutup
separuh, sesosok tubuh menyelinap masuk. Hei! Ini kan aspri Driya?
Kulemparkan
seulas senyum sambil sedikit mengangguk. Eh, kadal! Aku dicuekinnya. Padahal
aku yakin dia sempat menatap sekilas ke arahku ketika bertemu di kantin Prima
Jumat kemarin. Sampai aku keluar di lantai 9, aspri Driya tetap membisu.
Di
lorong kantor aku berpapasan dengan Gito yang sedang mendorong vacuum cleaner. Sebelum aku menegurnya,
dia sudah menyapaku ramah.
“Pagi,
Mbak Sasi… Mau minum apa? Sudah sarapan belum?”
Mendengar
kata ’sarapan’ yang diucapkan Gito, mendadak perutku keroncongan. Aku berhenti
melangkah. Gito juga.
“To,
bisa minta tolong beliin nasi pecel Madiun di lantai 3 nggak?” tanyaku sambil
membuka tas, mencari dompet.
“Bu
Tomo?” tanya Gito sambil menerima selembar uang dua puluh ribuan yang
kusodorkan.
Aku
mengangguk. “Kembaliannya buat lu aja. Terus entar lu buatin gue Milo anget
ya?”
“Siap!”
Aku
terus melangkah ke mejaku. Deretan meja bersekat cubicle masih kosong seluruhnya. Jelas, jam kantor saja mulainya
baru pukul 08.00 nanti! Aku saja yang kelewat rajin.
Tapi
mejaku tidak kosong seperti saat kutinggalkan Jumat menjelang malam kemarin.
Ada sehelai amplop coklat berukuran folio tergeletak di sana. Karena amplop itu
ada di areaku, maka kubuka saja.
Sebuah
foto tercetak pada kertas ukuran A4. Close
up wajah seorang gadis yang setengah menengadah menatap ke luar bentangan
kaca bening yang dihiasi titik-titik tempias air hujan di luarnya. Sedetik
kemudian aku tersadar.
Itu
wajahku!
Hah?
Siapa yang sudah berani ‘mencuri’ wajahku? Ketika akan kumasukkan kertas itu
kembali ke dalam amplop, baru aku melihat ada selembar kertas lain yang
tertinggal.
Dimensi
berputar cepat di sekelilingmu
Tapi
wajahmu membekukan waktu…
Bolehkah
profile indah ini kujadikan konsep iklanku?
(Pandu Barata)
Aku
tertegun sejenak. Ada kepakan sayap kupu-kupu muncul di hatiku. Entah kenapa
sedikit tulisan super rapi berima itu terasa indah ketika kueja lagi.
Bara
yang menuliskannya.
Tengah
aku tertegun-tegun, Gito muncul membawa nampan berisi pesananku. Sepiring nasi
pecel yang lezat dan semug besar Milo hangat tersaji di depanku. Setelah
mengucapkan terima kasih aku pun segera menyerang sepiring nasi pecel itu.
Hmmm...
Yummy sekali… Tanpa sadar aku melupakan begitu saja kepakan sayap kupu-kupu di
hatiku.
* * *
good post mbak
BalasHapusJadi ikutan kangen bersandar di jendela. Sapa tau aja ada yang motret juga buat iklan hihi......
BalasHapusLanjut mbakyu.....!!
Bara romantis :)
BalasHapus