Jumat, 07 Agustus 2015

[Cerpen] Seratus Satu Mawar Pelangi







“Mbak, punya bibit rainbow rose?”

Edith mengangkat wajahnya. Ia terpaksa mendongak sejadi-jadinya karena sesosok tubuh di depannya itu terlihat begitu tinggi menjulang. Sejenak kemudian ia menyadari kebodohannya. Buru-buru ia berdiri dari jongkoknya di depan sebuah pot soka mini sehingga tak perlu lagi terlalu mendongak. Tapi tetap saja tubuh itu jauh lebih tinggi dari dirinya.

Rainbow rose?” Edith mengerutkan kening.

Laki-laki itu mengangguk.

Rainbow rose itu dibuat, Mas, bukan dibibitkan.”

“Maksudnya?” ganti laki-laki itu yang mengerutkan kening.

“Maksudnya,” Edith menjelaskan dengan sabar, “rainbow rose itu dihasilkan dari mawar putih yang diwarnai secara osmosis. Tidak ada bibitnya.”

“Tapi saya lihat banyak dijual di situs-situs online,” laki-laki itu menatap Edith dengan mata yang bening, tajam, dan dinaungi oleh bulu mata yang luar biasa lentik.

“Bibitnya?”

Laki-laki itu kembali mengangguk.

“Coba saja Mas pesan, ditunggu tumbuh sampai saya jenggotan juga nggak bakalan keluar rainbow rose-nya.”

Laki-laki itu termangu sejenak. Wajahnya tampak diliputi mendung. Mendadak Edith jadi merasa iba melihatnya.

“Buat siapa sih, Mas? Pasti pacarnya ya?” Edith berusaha menyimpulkan senyum sambil melemparkan candaan ringan.

Tapi gelengan kepala laki-laki itu membuat senyum Edith lenyap. Apalagi ketika ia kemudian mendapatkan jawabannya.

“Adik saya. Dia ingin sekali menanam rainbow rose. Supaya bunganya bisa digenggamnya kalau dia kelak berpulang.”

Edith merasa tenggorokannya sakit tiba-tiba. Ia hanya bisa menatap punggung tegap laki-laki yang melangkah makin jauh meninggalkan toko tanaman hiasnya setelah berpamitan.

* * *

Edith duduk bertopang dagu di depan meja dengan tangan kanan memutar-mutar sebatang bolpen. Tatapannya tampak menerawang jauh seolah menembus segala sesuatu di luar jendela tokonya.

Mawar pelangi. Rainbow rose.

Ia merasa membencinya setengah mati. Helaian warna-warni indah itu seolah mengejek setiap sisa detik kehidupan yang dimiliki Ellian. Masih jelas tersisa dalam keping kenangan yang tersimpan di otaknya, bagaimana kerasnya Ellian berusaha untuk membuat mawar pelangi terindah untuk Dinda, kekasihnya.

Tapi ketika eksperimen itu berhasil mewujudkan dua puluh batang mawar pelangi terindah yang pernah dilihat Edith, tepat di hari ulang tahun Dinda, kenyataan pahit telak menghantam Ellian. Pesta ulang tahun Dinda bukan sekadar pesta ulang tahun biasa, tapi juga pesta pertunangannya dengan seorang ‘tak dikenal’ yang jelas jauh lebih cerah masa depannya daripada Ellian yang tengah berjuang untuk memenangkan remisinya melawan limfoma.

Dan sejak saat itu kondisi Ellian terus menurun. Hingga akhirnya menyerah pada takdir yang mengharuskannya terbang ke Surga. Setelah sebelumnya mengajari Edith dengan tekun bagaimana membuat mawar pelangi yang indah.

Edith berhasil membuatnya. Seratus batang mawar pelangi yang jadi dengan sangat sempurna pada hari kepergian Ellian. Seratus batang mawar pelangi yang menghiasi peti jenazah dan upacara pemakaman Ellian. Seratus batang mawar pelangi terakhir yang tak pernah lagi dibuat edisi berikutnya setelah Ellian pergi.

Lalu mendadak ada yang mengingatkanku pada mawar warna-warni itu...

Edith menghela napas panjang.

“Selamat sore...”

Edith tersentak. Helaan napasnya masih terembus separuh ketika suara itu menyapa telinganya. Ia menoleh.

Laki-laki itu lagi...

Dan laki-laki itu menatapnya ragu-ragu. Walau masih tersisa bening dan tajam di bawah naungan bulu mata lentiknya. Sama seperti yang ditemukan Edith siang tadi.

“Ya?” Edith mengangkat alisnya. “Silakan duduk.”

“Tadi Anda mengatakan kalau rainbow rose itu bisa dibuat,” laki-laki itu duduk di depan Edith, di seberang meja. “Anda tahu di mana saya bisa mendapatkannya?”

Edith menatap sejenak laki-laki itu. Seperti menimbang sesuatu. Pada akhirnya ia memutuskan, walau agak ragu-ragu.

“Saya bisa membuatnya.”

“Sungguh?” seketika mata laki-laki itu dipenuhi binar.

“Mas mau berapa batang?”

“Berapa harga satu batangnya?”

Edith menggeleng. “Saya tidak menjualnya.”

“Oh...," binar itu sedikit meredup.

“Tapi saya sudah lama nggak pernah membuatnya lagi. Saya nggak tahu apakah akan jadi sempurna atau enggak.”

Laki-laki itu termangu sejenak.

“Atau begini saja,” ucap Edith kemudian, “saya akan coba membuatnya dulu beberapa. Kalau berhasil, saya akan membuatnya lebih banyak. Tapi...”

Laki-laki itu menerima tatapan ragu-ragu Edith. Ia mengangkat alis tebalnya, seolah bertanya.

“Butuh waktu sekitar 4-5 hari biar hasilnya bagus.”

“Nggak apa-apa,” laki-laki itu menggeleng. “Saya harap kita masih punya banyak waktu.”

Edith meraih buku catatan di depannya. “Saya akan hubungi Mas kalau eksperimen saya berhasil. Bagaimana saya bisa menghubungi Mas?”

Laki-laki itu menyebutkan namanya dan sederet angka nomor ponselnya. Edith mencatatnya baik-baik.

“Saya akan mengganti semua biaya yang Mbak keluarkan untuk semua urusan rainbow rose ini,” ucap Arnel, laki-laki itu, tegas.

Edith tak punya pilihan lain kecuali mengangguk sambil tersenyum. Sekadar ingin melegakan Arnel.

* * *




Hari pertama. Semburat warna-warni sudah terlihat pada mawar putih setengah mekar yang diwarnai Edith. Masih terlalu samar warnanya. Membuat Edith tak sabar menunggu hingga hari esok tiba.

Pada hari kedua, warna yang terlihat pada helaian kelopak mawar terlihat makin nyata, walaupun masih terlampau muda. Edith tersenyum melihatnya.

Hari ketiga, Arnel muncul di toko Edith saat gadis itu tengah melayani beberapa pembeli dibantu oleh beberapa orang asisten. Dengan sabar, ditunggunya hingga Edith menyelesaikan semua urusan.

“Hai!” sapa Edith ceria sambil mengebaskan sisa tanah yang menempel di bagian belakang overall jeans-nya.

Arnel tersenyum menatap wajah ceria itu. Ada yang terasa hangat di hatinya.

“Mau menengok eksperimen kita?”

Arnel mengangguk.

“Yuk!”

Arnel mengikuti langkah Edith, masuk ke dalam rumah melalui pintu tembusan di belakang tokonya. Ternyata toko itu beradu punggung dengan rumah yang ditinggali Edith. Teras belakang toko itu berhadapan langsung dengan teras belakang rumah. Di sudut teras itu ada meja kerja dan kursinya. Ke sanalah Edith meneruskan langkah.

Ada empat buah gelas bening berisi cairan berwarna merah, kuning, biru, dan ungu dengan tiga batang mawar setengah mekar bertengger di bibir gelas yang diletakkan berdekatan. Warna-warni yang bersemburat di kelopak-kelopak mawar terlihat makin nyata.

“Sepertinya pewarnanya kurang pekat,” ucap Edith sambil menarik sebuah kursi lagi untuk Arnel.

“Wow...,” gumam Arnel, takjub. “Jadi begitu cara membuatnya?”

“Mas bisa kok membuatnya sendiri,” senyum Edith. “Nanti saya ajari.”

Tapi Arnel menggeleng. “Saya nggak telatenan. Malah bubar jalan nanti.”

Edith bangkit dari duduknya di kursi di belakang meja. Sejenak kemudian ia menghilang ke dalam rumah.

Arnel masih mengamati mawar-mawar itu dengan tekun. Diiringi suara denting piano dari arah dalam rumah, suasana di teras belakang itu memberinya rasa tenteram. Tak lama, Edith muncul lagi, membawa sebuah nampan berisi dua buah mug di atasnya. Dengan cekatan diletakkannya mug-mug itu di atas meja. Satu di depan Arnel.

“Silakan, Mas, mumpung masih hangat,” Edith kembali ke tempat duduknya.

“Terima kasih,” senyum Arnel melebar malu-malu. “Repot-repot saja...”

“Enggak kok,” Edith membalas senyum itu.

“Siapa yang main piano?” Arnel mulai menghirup coklat hangat dari dalam mug.

“Papa. Lagi kasih les salah satu muridnya.”

“Oh...,” Arnel meletakkan mug kembali ke atas meja. “Buka les privat piano?”

“Ya. Setelah pensiun. Cuma anak-anak di sekitar sini,” Edith menatap mawar-mawar yang masih bertengger di bibir gelas. “Jadi bagaimana? Mau diteruskan? Kalau iya, coba besok saya buat lagi dengan pewarna yang agak pekat.”

“Hm...,” Arnel turut menatap mawar pelangi setengah jadi itu. “Sudah kepalang tanggung. Lanjut saja. Kalau nggak merepotkan.”

Edith menggeleng. “Enggak kok.”

“Ngomong-ngomong, belajar dari mana bikin rainbow rose seperti ini.”

Mendung tipis langsung menggantung di wajah Edith. Seketika Arnel merasa telah salah bicara.

“Abang,” Edith tertunduk. “Almarhum Abang.”

Dan Arnel hanya sanggup menatap Edith lama dengan hati teraduk ketika cerita tentang Ellian meluncur dari bibir mungil merah mudanya.

“Baru sekarang ini aku membuatnya lagi,” Edith mengakhiri kisahnya.

Entah kenapa ‘saya’ kini berubah menjadi ‘aku’. Tapi Arnel menangkap ada keakraban di sana. Juga luka yang masih belum sembuh.

“Seharusnya nggak perlu memaksakan diri,” sesal Arnel kemudian.

Tapi Edith menggelengkan kepalanya. “Sama sekali enggak. Ellian masih sempat melihat hasil usahaku sebelum menutup mata. Aku tahu dia merasa senang karena telah berhasil mengajariku di tengah sisa waktu yang dia miliki. Aku berharap adik Mas juga senang nantinya karena bisa memperoleh mawar pelangi yang sangat dia inginkan.”

Ada yang terasa sakit di tenggorokan Arnel. Ia tahu, rainbow rose itu sangat berarti bagi Amira.

* * *

Eksperimen kedua membuahkan hasil yang lebih memuaskan dalam waktu yang lebih cepat. Hanya tiga hari. Kelopak-kelopak mawar itu sudah terlapisi warna yang cukup pekat dan kondisinya bagus karena belum terlalu mekar. Dengan penuh semangat Edith meraih ponselnya, menghubungi Arnel.

Tapi hingga usahanya yang ketiga, tak ada sambutan sama sekali dari seberang sana. Hubungan itu tersambung, tapi Arnel tak mengangkatnya. Edith pun meletakkan ponselnya kembali dengan kecewa.

Untuk meluruhkan semua kekecewaannya, Edith menyibukkan diri sepanjang hari itu. Melayani pembeli, memeriksa pot-pot berisi tanaman yang baru diturunkan dari mobil pick-up, menyortir lembaran-lembaran rumput jepang, menumpuk lembaran-lembaran rumput gajah mini, dan berbagai aktivitas lainnya. Saking sibuknya, ia sama sekali tak menyadari bahwa sudah hampir sepuluh menit Arnel berdiri, menyisih di sebuah sudut toko, menunggunya agak senggang.

Seorang asisten Edith akhirnya merasa kasihan juga pada Arnel, walaupun laki-laki itu tadi sudah meletakkan telunjuknya di depan bibir. Tanda agar Edith dibiarkan selesai dengan semua pekerjaannya. Maka ia pun mencolek bahu Edith.

“Mbak, sudah ditungguin tuh!”

“Siapa?” Edith menoleh dengan ekspresi wajah terganggu.

“Tuh!” asisten Edith mengarahkan dagunya ke arah Arnel.

Edith menoleh ke sudut dan mendapati Arnel tengah menatapnya sambil tersenyum. Edith melangkah mendekatinya.

“Sibuk banget,” celetuk Arnel. “Pantesan berkali-kali aku telepon balik nggak juga diangkat.”

Spontan Edith meraba saku celananya. Baru kemudian ia menyadari bahwa ponselnya ia tinggalkan di teras belakang.

“Ponselku ketinggalan di belakang.”

“Maaf, aku tadi nggak angkat telepon darimu. Aku sedang meeting di kantor.”

“Iya, nggak apa-apa. Maaf juga, aku mengganggu.”

Arnel menggeleng. “Enggak kok. Ada apa? Tentang rainbow rose-kah?”

Edith mengangguk. Tanpa sadar digandengnya tangan Arnel, membawa laki-laki itu ke teras belakang rumah. Dan ketika mereka sudah sampai di depan meja tempat Edith mengerjakan eksperimennya, Arnel hanya sanggup menatap mawar-mawar pelangi itu dengan takjub. Pelan, ia duduk di kursi, sambil matanya tak lepas dari mawar-mawar pelangi yang masih bertengger di bibir gelas.

“Bagaimana?” Edith mengusik Arnel dengan suara halusnya.

What can I say more?” bisik Arnel. “Sempurna, Edith... Sungguh-sungguh sempurna. Amira pasti akan senang sekali melihatnya.”

Edith tersenyum. Sebuah keharuan perlahan menyusup ke dalam hatinya. Bagaimanapun, sebuah ajaran dari Ellian di detik-detik terakhir hidupnya dulu tak harus menguap begitu saja tanpa guna.

“Mau diambil sekarang?” Edith duduk di seberang Arnel, berbatasan meja.

Arnel mengangkat tatapannya dari mawar-mawar pelangi itu, kemudian mengalihkannya pada Edith seraya mengangguk.

“Sebentar,” Edith segera menghilang ke dalam rumah. Meninggalkan Arnel yang masih terkagum-kagum menatap mawar-mawar pelangi buatan Edith.

Tak lama kemudian Edith sudah kembali dengan membawa selembar plastik kaca bening dan sebuah kantong kertas yang entah berisi apa. Sambil duduk kembali, ia mengeluarkan semua isi kantong kertas itu. Cutter, gunting, selotip, pita-pita tipis warna-warni, sebungkus kapas, kantong plastik bening, dan beberapa lembar kertas origami.

“Amira suka warna apa?”

“Biru.”

Edith mengambil sehelai kertas origami berwarna biru cerah, kemudian memasukkan yang lainnya ke dalam laci meja. Tanpa berkata apapun, Edith mengambil beberapa lembar kapas kosmetik dan membasahinya dengan air. Setelah itu ia mengangkat lima tangkai mawar pelangi dari atas bibir gelas pewarna. Diaturnya posisi mawar-mawar itu di atas meja, kemudian disatukannya batang-batang itu dengan menggunakan selotip agar posisinya tak berubah, lalu dipotongnya ujung batang mawar-mawar itu secara rata dengan menggunakan cutter. Ujung-ujung batang mawar itu dibungkusnya dengan lembar-lembar kapas basah, dan dilapisinya dengan kantong plastik yang kemudian diikatnya dengan selotip. Lalu ia menutupi ujung-ujung batang mawar yang sudah terbungkus kapas basah dan terlapis plastik itu dengan kertas origami biru muda, kemudian membungkus keseluruhan itu dengan plastik kaca bening. Terakhir, ia mengikat bagian bawah rangkaian mawar itu dengan tiga helai pita tipis berwarna putih, biru muda, dan biru tua.

“Selesai,” Edith menyodorkan rangkaian mawar-mawar pelangi itu pada Arnel.

Laki-laki itu tak sanggup berkata apa-apa. Hanya ditatapnya rangkaian mawar pelangi itu dan Edith bergantian dengan mulut terkatup. Hanya matanya yang memancarkan berbagai sorot yang Edith tak mampu mendefinisikannya. Ada kegembiraan, ada binar ceria, ada haru, ada takjub, sekaligus kesedihan yang luar biasa.

“Harus kubayar dengan apa semua ini, Edith?” ucap Arnel lirih, akhirnya.

“Mm...,” Edith berpikir sejenak. “Kalau boleh, aku ingin bertemu Amira.”

Seketika Arnel mengangguk. Edith kemudian bangkit dari duduknya dengan wajah cerah.

“Oke, aku mandi dulu. Nggak akan lama kok. Janji.”

Arnel tertawa karenanya.



* * *

Dan gadis cantik bernama Amira itu hanya bisa ternganga ketika Arnel mengulurkan rangkaian cantik mawar-mawar pelangi itu. Ia tak mengucapkan apa-apa. Tapi dari sorot matanya, Edith dapat melihat bahwa Amira senang sekali melihat mawar-mawar pelangi itu.

“Akhirnya...,” desah Amira.

Tanpa sadar Arnel menggenggam tangan Edith. Seketika ada kehangatan yang menyelinap dalam hati Edith.

“Mbak, terima kasih,” Amira menatap Edith dengan mata berbinar. “Terima kasih banyak.”

“Sama-sama,” Edith mengangguk dengan keharuan mulai menyesak di dadanya.

* * *

Selalu ada rangkaian mawar pelangi baru setiap hari Rabu dan Sabtu untuk Amira. Edith berusaha untuk menghasilkan mawar-mawar pelangi terindah walaupun selalu ada rasa sesak ketika mengingat bahwa kemungkinan waktu yang dimiliki Amira makin pendek.

“Aku ingin belajar membuat rainbow rose,” ucap Amira suatu ketika.

“Hm... Apa tidak akan membuatmu terlalu lelah?” Edith bertanya, hati-hati.

“Ah...,” Amira tercenung sejenak. “Mungkin juga nggak akan berguna.”

“Nggak ada sesuatu yang nggak berguna,” Edith menggeleng sabar. “Oke, kalau kamu mau, besok aku akan bawakan semua alat dan bahannya.”

“Ah, aku bikin Mbak Edith repot saja,” gumam Amira.

“Enggak... Tenang saja. Nggak susah kok, membuatnya. Yang penting sabar.”

Dan Amira pun mengangguk dengan antusias, kemudian memeluk Edith dengan hangat. Tanpa tahu ada yang menatap kejadian itu dari ambang pintu dengan mata mengaca.

* * *

Tiga mawar pelangi pertama berhasil dibuat Amira. Edith senang sekali melihatnya. Apalagi Amira. Sayangnya tak ada lagi mawar-mawar pelangi buatan Amira berikutnya. Ia terlalu lemah untuk bangun, bahkan harus dilarikan ke rumah sakit pada suatu siang, sehingga Edith kembali membuat mawar-mawar pelangi untuk Amira. Kali ini dikirimnya rangkaian mawar pelangi itu tiap hari.

“Mbak...”

Edith mendekat ke pembaringan Amira. Lalu gadis itu membisikkan sesuatu di telinganya. Sesuatu yang membuat Edith terpaksa mengangguk dengan mulut terkunci, mata mengaca, dan hati tercekat.

Dan Arnel melihat perubahan itu. Edith yang biasanya cukup cerewet mendadak jadi pendiam. Hening sempat melingkupi seluruh kabin mobil Arnel ketika diantarkannya Edith pulang.

“Dith, ada apa?” akhirnya Arnel tak tahan lagi.

Edith menghapus sebutir airmata yang mendadak saja meluncur di pipi halusnya.

“Amira...,” ucapnya tersendat, “... memintaku membuatkan... seratus mawar pelangi... untuknya. Aku... aku... sebetulnya nggak... sanggup... Aku...”

Arnel menepikan mobilnya. Tak mungkin nekad mengemudikan mobil dengan mata basah dan berkabut seperti ini. Tangis Edith sendiri sudah pecah. Gadis itu terisak tertahan di sebelah Arnel, membuat dada Arnel terasa sakit. Pelan diraihnya kepala Edith, kemudian dibenamkannya dengan hangat dalam pelukannya.

“Kematian Amira selalu jadi hal yang sangat cair untuk dibicarakan,” bisik Arnel. “Kami semua sudah siap, Edith. Harus siap. Amira sendiri sudah menyadari itu. Semua perawatan yang dijalaninya selama ini hanya perawatan paliatif agar dia merasa sedikit lebih nyaman. Walaupun begitu keinginannya nggak pernah macam-macam. Keinginannya yang paling besar hanyalah melihat dan menikmati keindahan rainbow rose. Dan semua rainbow rose buatanmu sangat menyenangkan Amira. Terima kasih, Edith. Terima kasih...”

Edith tergugu. Akan ada sebuah kehilangan. Ia tahu rasanya. Sangat tahu. Seratus lagi mawar pelangi, untuk peruntukan yang sama. Ellian dan Amira.

“Mungkin aku bisa menitip salamku buat Ellian pada Amira,” bisik Edith kemudian, dengan airmata masih meleleh di pipinya. “Mungkin mereka akan bertemu di Surga.”

Arnel tak mampu menjawabnya. Hanya memeluk Edith makin erat.

* * *

Sesiap apapun Arnel menghadapi kepergian adik kesayangannya, tak urung Edith bisa melihat lingkaran gelap di sekeliling mata Arnel, dan juga sisa titik airmata di ujung-ujung bulu mata lentik laki-laki itu. Dengan mata mengaca disaksikannya Arnel mengatur baik-baik seratus kuntum mawar pelangi berwarna dan berbentuk sempurna di sekeliling tubuh Amira yang sudah berjam-jam mendingin dalam peti jenazah sebelum dimakamkan.

Ketika semuanya selesai, menjelang upacara tutup peti, Edith mendekati peti jenazah Amira. Diulurkannya tangan, meletakkan sebatang mawar pelangi yang masih dipegangnya. Diletakkannya mawar itu di sisi kanan kepala Amira.

“Titip buat Ellian ya, Mir,” bisiknya dengan mata mengaca. “Semoga kamu berjumpa dengannya di Surga. Salamku untuknya...”

Pelan Arnel meremas bahu Edith.

* * *

“Kenapa kamu begitu peduli?”

Edith mengangkat tatapannya dari semangkuk es krim di depannya. Dipindahkannya tatapan itu ke arah Arnel yang tengah menatapnya.

“Kenapa Mas kembali ke tokoku sore itu?” Edith balik bertanya.

“Entahlah,” Arnel mengedikkan bahunya. “Aku hanya merasa bahwa kamu bisa membantuku memperoleh rainbow rose buat Amira.”

“Baiklah,” bibir Edith mengulas senyum. Ia mengangguk. “Karena aku merasa bahwa sudah seharusnya Amira memperoleh mawar-mawar pelangi itu. Dan...”

Arnel menunggu. Tak mengalihkan tatapannya sekejap pun dari wajah Edith.

“Supaya aku bisa menitipkan mawar ke-101 buat Ellian,” Edith tertunduk.

“Dan sekarang aku tak lagi membutuhkan rainbow rose itu,” gumam Arnel sambil mengerjapkan mata.

Wajah Edith sedikit berkabut. Berarti semuanya memang sudah harus selesai... Ia kembali menatap mangkuk es krimya.

“Aku tak lagi membutuhkan rainbow rose itu,” ulang Arnel. “Tapi aku membutuhkanmu.”

Seketika Edith mengangkat wajahnya. Ditelusurinya tiap lorong dan tikungan dalam mata Arnel, tapi tak ditemukannya sinar main-main di dalamnya.

“Kenapa?” tanyanya, terdengar bodoh.

“Apakah cinta perlu alasan, Edith?”

Edith terpaku. Ya, apakah cinta perlu alasan?

Ia tak tahu jawabannya. Hanya saja saat itu serasa ada ribuan kuntum mawar pelangi bertebaran di sekitarnya dan Arnel. Indah. Berwarna-warni.



* * * * *


6 komentar:

  1. somewhere over the rainbow... lagu kesukaanku...

    duuuhhh... nangis aku bacanyaaa...

    sekian terima kasih.
    aku mau ngelanjutin nangis dulu.

    BalasHapus
  2. somewhere over the rainbow, suka banget sama lagu itu. Cerita yang manis, khas Mbak Lis :)

    BalasHapus
  3. Kirain wis nggak sempat bikin yang lain. Ternyata.....

    Apik tenan iki Mbak.......maware...... Critane opomaneh....

    BalasHapus
  4. Aaaaaaaaa, apakah cinta perlu alasan? Huhuhu spechless tanteeee..

    BalasHapus