Kamis, 27 Agustus 2015

[Cerbung] CUBICLE #2





Kisah sebelumnya : CUBICLE #1




* * *


Dua



Day after day, I'm more confused
So I look for the light in the pourin' rain
You know that's a game that I hate to loose
I'm feelin' the strain
Ain't it a shame

Oh, give me the beat boys and free my soul
I wanna get lost in your rock ‘n roll
And drift away
Oh, give me the beat boys and free my soul
I wanna get lost in your rock ‘n roll
And drift away...

... ... ...


Aku bersenandung pelan. Suara sexy Luke Kennedy menggema lembut di seantero kabin mobilku. Membuatku bersabar untuk menembus satu persatu kemacetan yang tercecer di jalur antara Menara Daha dan apartemenku menjelang senja ini.

Tepat pukul 7 aku sudah bisa membuka pintu apartemen. Huuufftt… Kuhembuskan napas panjang sambil berselonjor di sofa. Entah mimpi apa aku semalam. Sepanjang hari ini tampaknya penuh berkat bagiku.

Sebuah konsep iklan yang seminggu ini ngebut kukerjakan diterima klien tanpa syarat di sebuah meeting pada pukul 9 pagi. Pukul 11, Boss Lenny memanggilku ke kantornya. Dengan wajah sumringah perempuan enerjik itu mengatakan bahwa aku berhak naik gaji sekian persen karena prestasiku selama ini. Dan ketika istirahat makan siang, aku bertemu lagi dengan Driya, sahabat kecilku.

Driya… Betmen…

Aku tertawa sendiri.

Driya kupanggil Betmen karena hobinya memakai segala sesuatu yang bertemakan Batman. Mulai dari kaos, buku tulis, kaos kaki, celana renang, topi, sepeda mini, bahkan mainan-mainan kecil asal ada Batman-nya pun dia koleksi.

Dan dia memanggilku Piyik. Karena aku ketika kecil sangat mungil dan hobi memakai baju berwarna kuning. Katanya aku persis seperti piyik (anak burung) kenari kuning punya neneknya di Jogja. Hadeeeh...

Betmen…

Rumahnya dulu beradu pantat dengan rumahku. Kami tidak pernah satu sekolah, tapi kami seumuran dan selalu bermain bersama.

Sayangnya hubungan kami putus begitu saja ketika kami lulus SD. Keluarganya memutuskan untuk hijrah dari Jakarta ke Semarang. Tak pernah ada kontak lagi. Bahkan sepucuk surat atau sedering telepon pun tidak. Aku tak tahu harus menghubunginya ke mana. Dia seperti hilang begitu saja bagai ditelan bumi.

Betmen…

Betapa cowok kecil cungkring itu bisa bertransformasi sedemikian rupa dalam jangka waktu 16 tahun. Tegap, tinggi besar, berwajah bersih dan cerdas, dan aku yakin tak akan bisa mengenalinya kalau saja aku tidak melihat matanya. Matanya tetap sama, seakan mengajak seluruh dunia ikut tertawa bersamanya.

Betapa pembicaraan singkat tadi siang sudah berhasil membungkus kami meretas dimensi masa lalu….


“Aduh, Men… Lu gimana kabarnya, ngilang gitu aja?” kucubit lengan Betmen, terasa keras berotot.

“Tau nggak, gue waktu liburan naik ke kelas 2 SMA ke sini sendirian. Gue nabung dari jaman SMP, pengen ketemu lagi sama lu. Bayangin, dari Semarang gue cuma bawa duit sama badan, naik kereta ke Jakarta. Tapi ganti lu yang ngilang…,” ucap Betmen berapi-api.

Aku mendesah, “Yah, Men… Gue lulus SMP, Bokap dipindah ke Bandung. Otomatis pindahlah gue ke sana. Pas kuliah gue balik lagi ke sini, ngekost deket kampus. Rumah lama udah dijual sama Bokap.”

“Gue kuliah di Surabaya, Yik, sampai dapat kerja di sana juga. Baru sebulan ini gue dipindah ke sini, efektif kerja baru seminggu ini. Gila lu ya… Masih juga sekecil piyik!” Betmen geleng-geleng kepala sambil tepuk jidat.

Saat itu kulihat sebentuk cincin belah rotan melingkari jari manis kanannya.

“Lu udah married, Men? Anak lu udah berapa? Gila lu, nyalip gue yak?” aku terkekeh.

Tapi tawaku langsung berhenti melihat dia terdiam. Wajahnya tersaput mendung tebal. Dihelanya napas panjang.

“Istri gue udah nggak ada, Yik, sekalian sama calon bayi gue. Kecelakaan mobil enam bulan lalu. Abang ipar gue sama istri dan 2 anaknya sekalian berpulang. Padahal belum ada setaun gue married.”

Aku kehilangan kata-kata. Driya juga. Dia jadi sibuk memainkan cincin kawin yang melingkar di jari manis kanannya. Dan kami terdiam, sampai waktunya aku harus naik kembali ke kantorku.


TING! TING!

Sebuah notifikasi Whatsapp message berbunyi nyaring di ponselku. Membuatku tersadar dari lamunan. Dari Bara.

‘Sas, baru aja Cik Lenny nyuruh gue ambil alih iklan sosial yang masuk kemarin ke desk lu. Tolong semua datanya lu kirim ke gue sekarang. Gue tunggu ya, makasih.’

Segera kuambil laptop dari tas dan segera kukirim semua data yang kupunya via email. Lima menit kemudian ponselku berbunyi lagi.

‘Thank you, Sas!’

Kubalas. ‘Kenapa nggak besok aja sih?’

‘Nih gue masih di kantor, nungguin finishing iklan Abalchoy.’ (merk minuman ringan baru)

‘Lu udah makan, Bar?’

‘Belum. Lagi nunggu Gito beli nasgor. Lu udah nyampe apartemen?’

‘Udah. Nih lagi mo mandi. Mo bantu mandiin gue?’ Aku ketawa sendiri.

‘Entar aja kalo lu udah jadi istri gue, hehehehe’ (icon melet)

Aku ngakak. Bara yang kelihatan pendiam itu sebenarnya kocak. Dan ngaco juga.

‘Udah ah, gue mo bugil dulu. Lu baik-baik di kantor ya?’

‘Jiaaaah bugil? Mo ngintip dunk!’

Ketawaku makin keras. Sebelum aku sempat membalas, message-nya masuk lagi.

‘Jangan telat makan, Sas. Oke, gue makan dulu ya… C U tomorrow.’
           
‘Yoi…’

* * *

Sambil berendam di dalam bathup, kubiarkan pikiranku melayang ke mana-mana. Tapi aku tak tahu kenapa saat ini semuanya tiba-tiba saja bermuara pada sepotong nama.

Bara.

Aku sungguh tak tahu seperti apa sebenarnya hubunganku dengan Bara. Selama ini kurasakan dia adalah rekan kerja yang sangat profesional. Dia juga partner yang menyenangkan. Bicara tentang pekerjaan dengannya, aku seperti menemukan ‘belahan jiwa’ dalam ladang pencarian nafkahku. Dia seolah selalu tahu apa yang kupikirkan, begitu juga sebaliknya. Membuat kami saling bekerja sama baik di depan layar maupun di belakang layar sebagai partner tak resmi.

Tapi kadang-kadang aku memang menemukannya tengah menatapku dengan sorot mata yang sukar untuk kumengerti. Radarku menangkap bahwa ada sesuatu yang ‘lebih’. Tapi aku benar-benar tak berani berharap lebih banyak. Walaupun seringkali omongannya ‘nyerempet’, toh dia tak pernah menjelaskan apa-apa karena semua itu diungkapkannya dalam atmosfer canda yang kental. Membuat aku sering terpaksa untuk berhenti memikirkannya sebelum aku makin terperosok ke dalam tiap keping pesona yang dia miliki.

Secara fisik, kalau dibandingkan dengan Gerdy dan Fajar, jelas Bara berada di tengah keduanya. Dalam skala 1-10, Bara bernilai 9, Fajar 11(!!!), dan Gerdy 7. Tapi seganteng apapun Fajar, tak ada sisi rasaku yang tersentuh. Menurutku, ia hanya sekadar ‘indah untuk dilihat’ walaupun dari sisi pekerjaan dia pun punya kemampuan lebih dan sangat bisa diandalkan. Hanya saja yang namanya chemistry itu muncul dari hati, bukan sesuatu yang dipaksakan.

Hhh...

Air hangat di dalam bathup-ku mulai mendingin. Sepertinya aku harus keluar dari dalamnya sebelum jadi kedinginan dan berbuntut meriang karena masuk angin. Pekerjaanku setumpuk. Aku bisa keteter sendiri kalau kesehatanku drop hanya gara-gara masalah sepele dan ‘nggak elit’ macam kelamaan berendam dalam bathup.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : CUBICLE #3


Catatan : mulai Senin depan dan seterusnya hingga tamat, cerbung CUBICLE akan tayang 3X SEMINGGU, dengan jadwal SENIN - RABU - JUMAT. Terima kasih atas kunjungan dan perhatiannya...


6 komentar:

  1. Huaseeeeek!! Tiga kali seminggu.....Kenapa nggak stripping aja sih?#ngelunjak
    Yowislah nunggu senin

    BalasHapus
  2. TIPS IRIT UNTUK ANAK KOS

    kalo mau irit cuci baju, mandi aja pake baju lengkap.
    sabunnya pake rinso.

    tips dari orang yg seumur hidup ga pernah ngekos.

    BalasHapus
  3. asyik..banget....ditambah backsound yang syahdu...gimana itu cara pasangnya dari youtube .....ajarin dong Mbak..

    BalasHapus
  4. Hmm sosok Bara itu mmenarik ya Mba Lis :)

    BalasHapus