Episode sebelumnya : Bawakan Sepotong Mimpi #3
* * *
Wajah itu...
Keduanya sama-sama tersentak.
Itu... memang dia!
Didit dan Loli.
Keduanya saling menatap dalam diam.
Pada saat itu, keduanya larut dalam kisah lampau. Masa beberapa tahun lalu saat mereka saling menitipkan hati pada sosok yang ada di hadapannya.
”Lo...li?”
“Didit?”
Keduanya perlahan mendekat, mata mereka saling menatap. Setiap langkah membawa kenangan mereka semakin kuat. Ada asa dalam hati mereka berbaur dengan keraguan yang mendadak menyergap.
Masih adakah rasa di hatinya untukku? Perlahan mata Loli merebak, seiring dengan debar liar jantungnya yang tak lagi bisa dikendalikan.
Setelah apa yang terjadi empat tahun lalu, desah Didit. Masihkah...
* * *
Didit memarkir motornya di depan pagar rumah Loli.Meski motor tersebut sudah berusia lebih dari 10 tahun, Didit tetap bangga karena motor itu dibeli dari jerih payahnya sebagai asisten fotografer.
Setelah memastikan penampilannya, pemuda itu menekan bel. Tak menunggu lama, seorang asisten rumah tangga tergopoh-gopoh menghampirinya.
“Cari siapa, Mas?” tanyanya.
Belum sempat Didit menjawab, Loli muncul dari dalam rumah.
“Dit!” serunya seraya membuka pintu pagar, “Ayo masuk!”
Sepasang muda-mudi itu hendak masuk ke dalam rumah, namun langkah mereka tertahan oleh klakson mobil yang dibunyikan berkali-kali. Jendela mobil terbuka dan tampaklah seraut wajah tampan tapi angkuh.
“Mas, motornya tolong pinggirin dong! Saya nggak bisa masuk nih!”
Nada suara pengemudi mobil tersebut terdengar sangat tajam. Didit terperangah, ia buru-buru memindahkan motornya.
* * *
”Bagaimana kabar mamamu?” Didit mengerjapkan matanya.
Loli tertunduk mendengar pertanyaan Didit. Saat itu mereka sedang menunggu makanan pesanan mereka datang.
Masih jelas di ingatan Loli perkataan mamanya terhadap Didit sore itu.
“Maaf ya, Dit, Tante nggak bisa melepaskan anak tunggal Tante padamu. Tante tahu kamu pintar, tapi masa depan apa yang bisa kamu berikan pada Loli? Kamu cuma anak seorang penjual pecel lele. Bukan menghina ya, Dit? Tapi ya Tante tahulah hidup kalian seperti apa!”
“Mama!” seru Loli. Tak menyangka akan mendengar kalimat seperti itu meluncur dari sosok yang sangat dihormatinya.
Didit pun kelihatan terpukul mendengar perkataan itu, namun dengan tenang pemuda itu kemudian mengucap terimakasih dan berpamitan.
* * *
“Mama sudah meninggal beberapa bulan lalu,” Loli menjawab lirih.
“Oh? I’m so sorry,” balas Didit pelan.
“Maafkan Mama ya, Dit...”
“Untuk?” Didit tak mengerti.
“Untuk apa yang dia katakan waktu itu,” tukas Loli.
Didit menghela nafas. Tanpa sadar ia menggenggam jemari Loli.
“Nggak ada yang perlu dimaafkan,” ujarnya pelan, “Sekarang aku mengerti, orangtua manapun pasti mengharapkan yang terbaik untuk anaknya. Dan yah... harus kuakui jika waktu itu aku memang tidak bisa menjanjikan masa depan yang cerah buatmu.”
“Tapi...”
“Ssh... sudahlah. Aku malah ingin minta maaf ke kamu...”
“Kok malah kamu yang minta maaf?” tanya Loli.
“Aku minta maaf karena lari darimu waktu itu...,” jawab Didit.
“Sudahlah. Itu masa lalu.”
“Ya, itu masa lalu. Masa lalu yang membentuk kita menjadi seperti sekarang ini,” Didit mengangguk.
Mereka kembali saling pandang.
“Sekarang...,” ujar Didit, “Maukah kamu memberiku kesempatan kedua?”
Loli terbelalak.
“M... maksudnya?” ia tergagap.
Apa dia siap dengan statusku yang memiliki anak? Apa keluarganya setuju?
“Loli...,” panggil Didit, “Aku ingin kembali menitipkan hatiku padamu...”
* * *
Acara makan siang mereka berakhir. Didit mengantar Loli kembali ke kantor.
“Nanti sore aku jemput?” tawar Didit.
Loli – yang masih tak mempercayai kejadian saat makan siang tadi – hanya bisa mengangguk.
“Aku biasa pulang jam 6,” katanya. Kebetulan hari ini aku nggak bawa mobil, lanjutnya dalam hati.
“Oke, nanti aku jemput jam 6,” tukas Didit, “See you!”
“See you,” Loli melambaikan tangannya.
Apa aku mimpi? Loli masih menatap punggung Didit yang bergerak menjauh sebelum pintu lift tertutup. Apa yang aku lakukan tadi? Kenapa semudah itu aku kembali padanya? Tapi... jika ini memang mimpi, aku tak ingin mimpi ini cepat berakhir...
* * *
Mimpi itu seolah berlanjut ketika suara-suara itu seolah mengalun di telinga Loli. Tentang awan, tentang pesawat, tentang langit biru, tentang banyak hal. Dan pemandangan itu begitu saja menyeret keharuan masuk ke dalam hati Loli. Menimbulkan rasa sesak di dadanya. Ditatapnya Didit yang memangku Eric, duduk di kursi tepat di sisi jendela pesawat.
Keduanya saling berbicara, tersenyum, tertawa, bercerita. Didit terlihat sangat memahami ucapan Eric walaupun ucapan itu kadang belum sempurna. Membuat sesuatu yang hangat mengembang begitu saja di mata Loli.
Semuanya terjadi begitu cepat. Loli hanya bisa mengangguk ketika Didit mengatakan ingin membawanya ke Jakarta pagi ini, bertemu dengan ibu dan abangnya. Masih diingatnya betapa bulat mata Bu Dyah kemarin siang sekembalinya ia dari makan siang bersama Didit.
“Cuti? Mau ke Jakarta?”
Loli mengangguk.
“Mendadak begini? Kamu sudah memikirkannya?”
Loli kembali mengangguk. Bu Dyah pun mengangkat bahu dengan pasrah.
“Aku tahu perjuanganmu selama ini,” gumam Bu Dyah kemudian. “Sudah jadi hakmu untuk mendapatkan yang terbaik. Semoga kali ini kamu tak mengalami kekecewaan lagi, Li. Semoga laki-laki itu akan jadi ayah yang baik buat Eric.”
Loli menghela napas panjang. Dan disinilah ia sekarang berada. Bersama Eric dan Didit dalam perut pesawat yang akan membawa mereka ke Jakarta. Ia berusaha untuk tidak memikirkan akan ada apa di sana nanti. Setelah semua yang pernah mereka lewati, semoga Tuhan masih berbaik hati menunjukkan jalan yang tepat.
* * *
Bersambung ke : Bawakan Sepotong Mimpi #5
good post mbak
BalasHapusHuaaaaa.... lagunya ituuuu....
BalasHapushoooyyyy...
BalasHapusiki lha kok nggeblas ae...
wingi diceluk gak noleh, saiki bablas budhal jakarta.
LELE-NE DURUNG DIBAYAR HOOOYYY...
sambit uleg-uleg
Motornya tolong pinggirin dong :)
BalasHapus