Senin, 03 Agustus 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #27





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #26



* * *


Dering pelan ponsel membuat Rafael terjaga. Ternyata dia sempat terlelap setelah Santosa, om sekaligus dokter yang memeriksanya, pulang. Tanpa melihat nama yang berkedip di layar ponselnya, Rafael pun menjawab pendek, “Halo...”

“Mas...”

“Dita?” Rafael mengerjapkan matanya.

“Mas sakit? Kenapa?”

Rafael kini terjaga sepenuhnya. “Siapa yang kasih tahu kamu?”

“Ini aku dijemput Pak Mun. Mas Rafa kenapa?”

Sungguh, Rafael sepenuhnya menangkap ada nada khawatir dari suara yang berasal dari seberang sana. Ada sesuatu yang bergetar hebat di sudut hatinya.

“Aku nggak apa-apa,” jawab Rafael, berusaha tenang dan mengalahkan getar itu. “Cuma kalau sampai besok demamku nggak turun, aku harus cek darah. Takutnya kena DB. Kan lagi musimnya.”

“Oh...  Ya udah, bentar lagi aku sampai. Eh, mau dibeliin apa? Pengen makan apa?”

“Nggak usah repot, Dit,” mau tak mau Rafael mengulum senyum.

“Aku beliin jus jambu mau ya?”

Dan Rafael pun menyerah mendengar nada mendesak dalam suara Adita. Maka dia pun menyetujuinya.

Muntadi membelokkan mobil, masuk ke halaman rumah, tepat ketika Steve mematikan mesin mobilnya. Sebelum dia membukakan pintu untuk Anna, dia menoleh sekilas. Dan matanya langsung menangkap sosok Adita yang baru keluar dari dalam mobil. Sedetik dia mengerutkan kening. Mau apa dia ke sini? Sekarang? Dalam kondisi genting begini? Lalu dia menyadari bahwa Adita turun dari mobil mamanya, bukan dari mobil yang boleh dipakainya.

“Sore...,” sapa Adita.

“Halo, Dita,” Steve balik menyapa, bersamaan dengan Anna yang keluar dari dalam mobil.

“Mbak Anna...,” senyum Adita mengembang dan mereka berpelukan sejenak.

Ketika Lea mengetahui kedatangan Adita, dia segera menggandeng tangan gadis itu, kemudian membawanya ke kamar Rafael.

“Tolong temani Rafa dulu ya, Dit,” ucap Lea halus, sambil membuka pintu kamar Rafael.

Adita mengangguk. Lea membiarkan Adita masuk sendirian. Dan dia segera berlalu.

Kamar itu kosong. Hanya terdengar gemericik air dari dalam kamar mandi di sudut. Pelan Adita mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar itu. Terlihat sangat maskulin. Dengan samar-samar tercium wangi parfum yang biasa dipakai Rafael.

Ragu-ragu dia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang menghadap ke tempat tidur Rafael. Tak lama kemudian bunyi aliran air terhenti. Hanya tersisa dengung halus suara pendingin udara. Lalu pintu kamar mandi terbuka, dan Rafael terkejut ketika mendapati Adita sudah datang dan tengah duduk diam di sofa.

“Dit? Cepat banget sampainya?”

Adita buru-buru berdiri ketika dilihatnya langkah Rafael agak goyah. Dihampirinya Rafael.

“Kenapa nggak bilang kalau sakit begini sih, Mas?” gerutu Adita sambil menggandeng lengan Rafael.

“Ya mana aku tahu kalau kondisiku bisa drop secepat ini.”

“Panas begini,” ucap Adita setelah meraba kening Rafael. “Ngerasain apa?”

“Pusing banget,” gumam Rafael. “Mual.”

“Ya sudah, buruan rebahan.”

Lea datang ketika Adita tengah menyelimuti Rafael. Segera ditariknya dengan lembut tangan Adita, hingga Adita terduduk di atas kasur.

“Mama mau bicara,” ucap Lea pelan, “sama kalian.”

Rafael dan Adita diam memperhatikan, menunggu Lea melanjutkan bicaranya.

“Tapi Mama nggak tahu harus mulai dari mana,” Lea setengah mendesah, kemudian menatap Rafael.

“Dit,” ucap Rafael, “Steve menghamili Anna.”

Adita tidak kelihatan terlalu terkejut. Ditatapnya Rafael dan Lea bergantian, kemudian dia mengangguk, “Ya, saya sudah tahu.”

Lea mengangkat alisnya. Adita mengerti arti tatapan Lea.

“Mbak Anna datang pada saya sekitar dua hari yang lalu,” Adita menjelaskan. “Ya pada intinya saya bilang, sudah terlanjur salah, mending segera diperbaiki dengan ngomong terus terang pada Tante dan Mas Jemmy.”

Lea mengangguk-angguk, setengah bergumam, “Ya, kamu benar, Dit. Tadi menjelang siang Steve mengaku pada Mama. Makanya Mama suruh dia jemput Anna sepulang kerja. Sekalian Mama panggil Rafael pulang. Ya sudah, sekalian saja kamu Mama panggil. Biar kita bisa ngobrol berlima.”

“Saya jadi nggak enak, Tante. Saya kan nggak ada kaitannya,” Adita meringis sedikit.

Lea menepuk punggung tangan Adita. “Mama percaya kamu dan Rafael nggak akan mengulangi kesalahan Steve dan Anna. Mama cuma ingin saja kita bicara berlima,” Lea mengalihkan tatapannya pada Rafael, “Raf, Mama panggil Steve dan Anna ke sini, kamu nggak apa-apa? Kita ngobrol saja di sini. Daripada kamu harus keluar.”

“Iya, Ma, nggak apa-apa.”

“Ya sudah,” Lea berdiri dan melangkah ke pintu. “Tunggu sebentar ya?”

Begitu sosok Lea menghilang di balik pintu, Adita memutar lehernya, menatap Rafael.

“Aku bener-bener merasa nggak enak, Mas,” ucapnya.

“Sudahlah, nggak apa-apa,” Rafael berusaha menenangkan Adita.

* * *

Entah kenapa Steve bisa bangun kesiangan. Dan dia terpaksa secepatnya meluncur ke Bogor untuk menemui auditor. Tanpa sempat sarapan. Rafael benar-benar tumbang. Harus dirawat di rumah sakit karena positif kena DB. Sebenarnya dia yakin Hartono dapat menyelesaikan tugas Rafael dengan baik. Tapi apa salahnya sesekali muncul di kantor Bogor?

Lima menit sebelum pukul delapan, Steve sudah duduk di kursi Rafael. Hartono sudah siap dengan beberapa berkas yang harus diperiksanya sebelum auditor datang pada pukul sepuluh.

Tengah asyik mempelajari beberapa berkas, ada rasa perih yang muncul di ulu hati. Steve langsung ingat, dia belum sarapan. Tanpa menunggu lama dia langsung menggeratak laci meja Rafael, mencari obat maag yang dia tahu biasa disimpan Rafael. Obat itu ditemukannya di laci ketiga. Setelah minum obat dan hendak menutup kembali laci itu, matanya tertuju pada sesuatu di balik sampul sebuah map bening, tegeletak diam dalam laci.

Surat Perjanjian?

Pelan Steve menariknya. Hati-hati dibukanya sampul map itu. Sebuah surat perjanjian. Antara Rafael dan Adita. Tentang sesuatu. Senilai tiga puluh juta rupiah tunai. Sesuatu yang membuatnya mendadak seperti disengat kalajengking berbisa setelah selesai membacanya.

Wajahnya memias. Kekasih sewaan? Steve terhenyak di kursinya. Untuk apa? Dan ketika benaknya berhasil merangkai sesuatu, aliran darah dalam tubuhnya serasa berhenti.

Tentang Annakah?

Steve menggigil. Makin menggigil ketika dia teringat kemarahan Rafael beberapa hari yang lalu. Suara Rafael yang menggelegar. Gebrakan meja yang mungkin suaranya bisa terdengar sampai ke Kutub Utara. Hal-hal yang belum pernah dilakukan Rafael karena sifat penyabarnya.

Selama ini Rafael tak pernah peduli Steve melakukan apa dengan siapa. Mereka seolah hidup dalam dunia masing-masing yang tak terhubung. Bahkan nyaris tanpa sambungan emosi. Tapi tentang hubungan dengan Anna? Steve tak pernah membayangkan. Lebih tepatnya, tak pernah mau membayangkan.

Dan ternyata selama ini kecurigaannya benar. Betapa pun jauhnya lingkaran hidupnya dengan Rafael hingga nyaris tak bersinggungan, seutuhnya dia masih mengenal Rafael dengan baik. Mimpinya, seleranya, segala pilihan hidupnya. Dan sosok Adita bukanlah sesuatu yang termasuk ke dalam pilihan itu. Semesra apapun sandiwara yang mereka tunjukkan. Sandiwara yang nyaris tak tercium bau skenarionya.

Pelan dia membereskan dokumen pribadi Rafael itu. Lalu dimasukkannya ke dalam tas. Bukan ke dalam laci Rafael. Ditatapnya berkas-berkas di atas meja. Segera diselesaikannya perkerjaannya. Begitu semuanya beres, dia menyuruh Tia, sekretaris Rafael, untuk memanggil kembali Hartono.

“Pak Har,” ucapnya begitu Hartono muncul. “Semua berkas ini udah beres. Aku mau kembali ke Jakarta.”

“Nggak jadi ketemu auditor, Mas?” Hartono mengangkat alisnya.

Steve menggeleng. “Aku yakin Pak Har bisa menangani semuanya.”

“Oh... Baiklah kalau begitu, Mas. Titip salam buat Mas Rafael ya, Mas. Kami semua menunggu di sini,” senyum Hartono.

“Ya, Pak, nanti kusampaikan,” Steve mengangguk dan segera berlalu.

Hanya satu keinginannya saat ini. Bertemu dengan salah seorang yang namanya tercantum dalam surat perjanjian di dalam tasnya. Secepatnya.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #28

4 komentar: