Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #26
* * *
Dering
pelan ponsel membuat Rafael terjaga. Ternyata dia sempat terlelap setelah
Santosa, om sekaligus dokter yang memeriksanya, pulang. Tanpa melihat nama yang
berkedip di layar ponselnya, Rafael pun menjawab pendek, “Halo...”
“Mas...”
“Dita?”
Rafael mengerjapkan matanya.
“Mas
sakit? Kenapa?”
Rafael
kini terjaga sepenuhnya. “Siapa yang kasih tahu kamu?”
“Ini
aku dijemput Pak Mun. Mas Rafa kenapa?”
Sungguh,
Rafael sepenuhnya menangkap ada nada khawatir dari suara yang berasal dari
seberang sana. Ada sesuatu yang bergetar hebat di sudut hatinya.
“Aku
nggak apa-apa,” jawab Rafael, berusaha tenang dan mengalahkan getar itu. “Cuma
kalau sampai besok demamku nggak turun, aku harus cek darah. Takutnya kena DB.
Kan lagi musimnya.”
“Oh... Ya udah, bentar lagi aku sampai. Eh, mau
dibeliin apa? Pengen makan apa?”
“Nggak
usah repot, Dit,” mau tak mau Rafael mengulum senyum.
“Aku
beliin jus jambu mau ya?”
Dan
Rafael pun menyerah mendengar nada mendesak dalam suara Adita. Maka dia pun
menyetujuinya.
Muntadi
membelokkan mobil, masuk ke halaman rumah, tepat ketika Steve mematikan mesin
mobilnya. Sebelum dia membukakan pintu untuk Anna, dia menoleh sekilas. Dan
matanya langsung menangkap sosok Adita yang baru keluar dari dalam mobil.
Sedetik dia mengerutkan kening. Mau apa
dia ke sini? Sekarang? Dalam kondisi genting begini? Lalu dia menyadari
bahwa Adita turun dari mobil mamanya, bukan dari mobil yang boleh dipakainya.
“Sore...,”
sapa Adita.
“Halo,
Dita,” Steve balik menyapa, bersamaan dengan Anna yang keluar dari dalam mobil.
“Mbak
Anna...,” senyum Adita mengembang dan mereka berpelukan sejenak.
Ketika
Lea mengetahui kedatangan Adita, dia segera menggandeng tangan gadis itu,
kemudian membawanya ke kamar Rafael.
“Tolong
temani Rafa dulu ya, Dit,” ucap Lea halus, sambil membuka pintu kamar Rafael.
Adita
mengangguk. Lea membiarkan Adita masuk sendirian. Dan dia segera berlalu.
Kamar
itu kosong. Hanya terdengar gemericik air dari dalam kamar mandi di sudut.
Pelan Adita mengedarkan pandangannya ke seluruh kamar itu. Terlihat sangat
maskulin. Dengan samar-samar tercium wangi parfum yang biasa dipakai Rafael.
Ragu-ragu
dia menjatuhkan tubuhnya di atas sofa yang menghadap ke tempat tidur Rafael.
Tak lama kemudian bunyi aliran air terhenti. Hanya tersisa dengung halus suara
pendingin udara. Lalu pintu kamar mandi terbuka, dan Rafael terkejut ketika
mendapati Adita sudah datang dan tengah duduk diam di sofa.
“Dit?
Cepat banget sampainya?”
Adita
buru-buru berdiri ketika dilihatnya langkah Rafael agak goyah. Dihampirinya
Rafael.
“Kenapa
nggak bilang kalau sakit begini sih, Mas?” gerutu Adita sambil menggandeng
lengan Rafael.
“Ya
mana aku tahu kalau kondisiku bisa drop secepat ini.”
“Panas
begini,” ucap Adita setelah meraba kening Rafael. “Ngerasain apa?”
“Pusing
banget,” gumam Rafael. “Mual.”
“Ya
sudah, buruan rebahan.”
Lea
datang ketika Adita tengah menyelimuti Rafael. Segera ditariknya dengan lembut
tangan Adita, hingga Adita terduduk di atas kasur.
“Mama
mau bicara,” ucap Lea pelan, “sama kalian.”
Rafael
dan Adita diam memperhatikan, menunggu Lea melanjutkan bicaranya.
“Tapi
Mama nggak tahu harus mulai dari mana,” Lea setengah mendesah, kemudian menatap
Rafael.
“Dit,”
ucap Rafael, “Steve menghamili Anna.”
Adita
tidak kelihatan terlalu terkejut. Ditatapnya Rafael dan Lea bergantian,
kemudian dia mengangguk, “Ya, saya sudah tahu.”
Lea
mengangkat alisnya. Adita mengerti arti tatapan Lea.
“Mbak
Anna datang pada saya sekitar dua hari yang lalu,” Adita menjelaskan. “Ya pada
intinya saya bilang, sudah terlanjur salah, mending segera diperbaiki dengan
ngomong terus terang pada Tante dan Mas Jemmy.”
Lea
mengangguk-angguk, setengah bergumam, “Ya, kamu benar, Dit. Tadi menjelang
siang Steve mengaku pada Mama. Makanya Mama suruh dia jemput Anna sepulang
kerja. Sekalian Mama panggil Rafael pulang. Ya sudah, sekalian saja kamu Mama
panggil. Biar kita bisa ngobrol berlima.”
“Saya
jadi nggak enak, Tante. Saya kan nggak ada kaitannya,” Adita meringis sedikit.
Lea
menepuk punggung tangan Adita. “Mama percaya kamu dan Rafael nggak akan
mengulangi kesalahan Steve dan Anna. Mama cuma ingin saja kita bicara berlima,”
Lea mengalihkan tatapannya pada Rafael, “Raf, Mama panggil Steve dan Anna ke
sini, kamu nggak apa-apa? Kita ngobrol saja di sini. Daripada kamu harus
keluar.”
“Iya,
Ma, nggak apa-apa.”
“Ya
sudah,” Lea berdiri dan melangkah ke pintu. “Tunggu sebentar ya?”
Begitu
sosok Lea menghilang di balik pintu, Adita memutar lehernya, menatap Rafael.
“Aku
bener-bener merasa nggak enak, Mas,” ucapnya.
“Sudahlah,
nggak apa-apa,” Rafael berusaha menenangkan Adita.
* * *
Entah
kenapa Steve bisa bangun kesiangan. Dan dia terpaksa secepatnya meluncur ke
Bogor untuk menemui auditor. Tanpa sempat sarapan. Rafael benar-benar tumbang.
Harus dirawat di rumah sakit karena positif kena DB. Sebenarnya dia yakin
Hartono dapat menyelesaikan tugas Rafael dengan baik. Tapi apa salahnya
sesekali muncul di kantor Bogor?
Lima
menit sebelum pukul delapan, Steve sudah duduk di kursi Rafael. Hartono sudah
siap dengan beberapa berkas yang harus diperiksanya sebelum auditor datang pada
pukul sepuluh.
Tengah
asyik mempelajari beberapa berkas, ada rasa perih yang muncul di ulu hati. Steve langsung ingat, dia belum sarapan. Tanpa menunggu lama dia langsung
menggeratak laci meja Rafael, mencari obat maag yang dia tahu biasa disimpan
Rafael. Obat itu ditemukannya di laci ketiga. Setelah minum obat dan hendak
menutup kembali laci itu, matanya tertuju pada sesuatu di balik sampul sebuah
map bening, tegeletak diam dalam laci.
Surat Perjanjian?
Pelan
Steve menariknya. Hati-hati dibukanya sampul map itu. Sebuah surat perjanjian.
Antara Rafael dan Adita. Tentang sesuatu. Senilai tiga puluh juta rupiah tunai.
Sesuatu yang membuatnya mendadak seperti disengat kalajengking berbisa setelah
selesai membacanya.
Wajahnya
memias. Kekasih sewaan? Steve
terhenyak di kursinya. Untuk apa? Dan
ketika benaknya berhasil merangkai sesuatu, aliran darah dalam tubuhnya serasa
berhenti.
Tentang Annakah?
Steve
menggigil. Makin menggigil ketika dia teringat kemarahan Rafael beberapa hari
yang lalu. Suara Rafael yang menggelegar. Gebrakan meja yang mungkin suaranya
bisa terdengar sampai ke Kutub Utara. Hal-hal yang belum pernah dilakukan
Rafael karena sifat penyabarnya.
Selama
ini Rafael tak pernah peduli Steve melakukan apa dengan siapa. Mereka seolah
hidup dalam dunia masing-masing yang tak terhubung. Bahkan nyaris tanpa
sambungan emosi. Tapi tentang hubungan dengan Anna? Steve tak pernah
membayangkan. Lebih tepatnya, tak pernah mau membayangkan.
Dan
ternyata selama ini kecurigaannya benar. Betapa pun jauhnya lingkaran hidupnya
dengan Rafael hingga nyaris tak bersinggungan, seutuhnya dia masih mengenal
Rafael dengan baik. Mimpinya, seleranya, segala pilihan hidupnya. Dan sosok Adita
bukanlah sesuatu yang termasuk ke dalam pilihan itu. Semesra apapun sandiwara
yang mereka tunjukkan. Sandiwara yang nyaris tak tercium bau skenarionya.
Pelan
dia membereskan dokumen pribadi Rafael itu. Lalu dimasukkannya ke dalam tas.
Bukan ke dalam laci Rafael. Ditatapnya berkas-berkas di atas meja. Segera
diselesaikannya perkerjaannya. Begitu semuanya beres, dia menyuruh Tia, sekretaris
Rafael, untuk memanggil kembali Hartono.
“Pak
Har,” ucapnya begitu Hartono muncul. “Semua berkas ini udah beres. Aku mau
kembali ke Jakarta.”
“Nggak
jadi ketemu auditor, Mas?” Hartono mengangkat alisnya.
Steve
menggeleng. “Aku yakin Pak Har bisa menangani semuanya.”
“Oh...
Baiklah kalau begitu, Mas. Titip salam buat Mas Rafael ya, Mas. Kami semua
menunggu di sini,” senyum Hartono.
“Ya,
Pak, nanti kusampaikan,” Steve mengangguk dan segera berlalu.
Hanya
satu keinginannya saat ini. Bertemu dengan salah seorang yang namanya tercantum
dalam surat perjanjian di dalam tasnya. Secepatnya.
* * *
Bersambung ke episode
berikutnya : Rinai Renjana Ungu #28
Nice post mbak
BalasHapusYah ketahuaannnn...
BalasHapusUhuuuiiiiii... :D
BalasHapusBetapa malangnya Anna....
BalasHapusdan Adita yg beruntung.........