Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #25
* * *
Lea
hanya bisa duduk mematung ketika Steve duduk bersimpuh di kakinya siang itu.
Uraian panjang Steve sudah menjelaskan semuanya. Sebuah keadaan yang sebetulnya
bisa dirangkum dalam satu kalimat singkat, Steve menghamili kekasihnya, Anna.
“Ampuni
aku, Ma...,” ucap Steve hampir tanpa suara.
Mata
Lea menerawang jauh. Kesalahan apa yang sudah diperbuatnya? Hingga Rafael dan
Steve tumbuh dewasa bagaikan langit dan bumi? Sungguh, pengakuan Steve seketika
membuatnya terbanting dan merasa jadi ibu yang gagal.
Sebuah
perasaan hampa menyelimuti hatinya. Membuatnya kelu. Hanya bisa diam. Membuat
Steve makin tertunduk.
“Kamu
harus menikahinya,” ucap Lea kemudian, dengan nada yang terdengar begitu jauh.
“Dan jangan pernah berpikir tentang perceraian.”
Steve
mengangguk pasrah. “Ya, Ma, aku akan selalu mencintai Anna.”
“Jemmy
sudah tahu?”
Steve
menggeleng. “Anna belum berani bilang padanya, Ma.”
“Kamu
kembali kerja. Jemput Anna kalau kamu pulang nanti. Mama ingin bicara sama
kalian.”
Steve
segera beringsut dan beranjak pergi. Meninggalkan mamanya yang masih duduk
terpekur dalam diam.
* * *
Raf, tolong kamu pulang.
Sekarang.
Rafael
membaca sekali lagi SMS itu. SMS yang dikirim mamanya menyusul enam panggilan
tak terjawab saat dia meeting tadi.
Dan dia tahu sebab mamanya menyuruhnya pulang.
Pastilah
Steve. Dan kehamilan Anna. Steve yang terlalu pintar merayu? Ataukah Anna yang
terlalu polos? Cenderung bodoh, pikir
Rafael kemudian, sarkastis. Dihelanya napas panjang.
Pekerjaannya
sedang menumpuk. Dilanjutkan dengan bulan depan dia harus berangkat ke Korea.
Dan sekarang waktunya harus terpotong untuk ikut mengurusi ‘hal tak penting’
itu? Di tengah pusing dan demam yang menyerangnya sejak kemarin sore? Lengkap sudah! Rafael menggelengkan
kepala sambil meraih gagang telepon di atas mejanya.
“Mbak
Tia, tolong Pak Hartono diminta datang ke sini ya? Sekarang,” ucapnya nyaris
tanpa jeda setelah ada sapaan dari ujung sana.
Hartono
muncul beberapa menit kemudian.
“Pak,”
ucap Rafael begitu Hartono duduk di seberangnya. “Pak Har bisa menangani urusan
di Korea sendirian?”
“Lho,
memangnya kenapa, Mas?” tatapan Hartono tampak begitu serius.
“Saya
nggak yakin bisa berangkat,” gumam Rafael sambil menyandarkan punggungnya
dengan letih. “Saya nggak tahu harus cerita dari mana, Pak. Yang jelas
sepertinya saya nggak bisa ke mana-mana dalam waktu dekat ini.”
“Mas...,” ucap Hartono hati-hati. “Kalau memang Mas menghendaki saya berangkat
ke Korea sendirian, saya akan lakukan. Saya akan berbuat semampu saya demi
perusahaan ini. Demi Mas Rafael.”
“Saya
percaya, Pak,” senyum Rafael. Dia melirik kalender di sudut mejanya. “Besok ada
meeting dengan PT. Cinda. Lusa ada shipping ke Malaysia. Jumat ada audit.
Pak Har bisa menanganinya kan, tanpa saya?”
“Semua
bisa saya tangani,” Hartono mengangguk yakin. “Mas Rafa istirahat saja di
rumah.”
“Saya
harus pulang ke Jakarta, Pak, sekarang juga. Ada yang penting di sana.”
Melihat
wajah Rafael yang sarat beban, Hartono memutuskan untuk memberanikan diri
bertanya, “Mas, Mas Steve ya?”
Rafael
mengangguk. Ditatapnya Hartono.
“Pak
Har tahu dari mana?”
“Mm...,”
wajah Hartono terlihat ragu-ragu, tapi diteruskannya juga ucapannya, “Tadi pagi
saya kaget. Suara Mas Rafa kencang sekali. Nggak pernah seperti itu sebelumnya.”
“Oh...,”
Rafael tercenung sesaat. “Dan Mama menyuruh saya pulang.”
Hartono
mengangguk mengerti. Dia tak ada keberanian untuk mendesak lagi. Ditatapnya
wajah kuyu Rafael dengan prihatin.
“Mas,
pulang ke Jakarta biar diantar Truno ya?” Hartono menyebutkan nama sopirnya.
“Saya nggak tega melepas Mas Rafa dengan kondisi seperti ini. Saya khawatir Mas
Rafa ambruk lagi seperti beberapa minggu lalu. Mau ya, Mas?”
Rafael
mengulas senyum. Tak ada gunanya juga membantah kata-kata Hartono. Laki-laki
itu selalu mengkhawatirkannya di saat yang tepat. Dan Rafael pun mengangguk
penuh rasa terima kasih.
* * *
Tangis
Lea langsung pecah begitu Rafael muncul di rumah. Rafael memeluknya erat. Lea
merasa bahwa tanpa dia bercerita pun Rafael sudah paham sebabnya.
“Mama
malu, Raf, Mama malu...,” ucap Lea di sela isak tangisnya. “Bisa-bisanya Steve
melakukan itu.”
“Ma,”
bisik Rafael lembut. “Mungkin memang harus begini cara agar Steve insyaf. Agar
Steve menjadi dewasa dan nggak lagi jadi anak bengal. Dia akan jadi ayah. Itu
bisa membuatnya jadi lebih bertanggung jawab.”
“Mama
gagal jadi ibu yang baik,” sesal Lea.
“Enggak,
Ma...,” hibur Rafael. “Mama udah melakukan semuanya yang bisa Mama lakukan.
Bahkan lebih dari kemampuan yang bisa Mama bayangkan.”
“Kamu
yang memberi Mama kekuatan, Raf,” Lea mengelus pipi. “Karena kebaikanmu.
Memberi Mama daya lebih untuk tetap berdiri tegak.”
Ketika
pipi itu terasa makin panas di tangan Lea, perempuan itu langsung meraba
seluruh wajah Rafael.
“Raf,
kamu sakit?” ucapnya penuh kekhawatiran.
“Nggak
apa-apa kok, Ma, cuma meriang. Kayaknya mau flu. Mama kapan mau ke tempat Anna?
Sore ini?”
Lea
menggeleng. “Rencananya memang sore ini. Tapi besok ajalah. Mama butuh kita
bicara dulu berempat. Steve pulang kerja mau langsung menjemput Anna. Kamu
nggak mau ke tempat Dita dulu?”
“Nantilah,
Ma,” Rafael menggeleng. “Dia juga nggak tahu aku di sini.”
“Ya
udah, kamu istirahat dulu di kamar, Mama bikinin lemon tea.”
Rafael
menggangguk, kemudian masuk ke kamarnya.
* * *
Jendela
itu dibukanya lebar-lebar. Hembusan angin membawa terbang angannya pada seraut
wajah cantik. Anna. Yang seketika membuatnya tergugu dengan hati bergetar. Tapi
bukankah memang hal itu yang dia inginkan? Steve dan Anna. Tanpa harus menoleh lagi
ke arahnya. Tapi kenapa juga masih ada lembaran sakit hati yang dia temukan?
Rafael
kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan letih. Berusaha abai terhadap
denyut di kepalanya yang makin menjadi. Pelan dia mengatupkan matanya, hingga
beberapa saat kemudian didengarnya pintu kamar terbuka.
“Raf,
Mama udah panggilin Om San. Udah jalan ke sini. Mama khawatir kamu sakit
beneran,” kata Lea sambil meletakkan segelas lemon tea hangat di atas meja dekat kepala Rafael. “Udah berapa
hari kamu nggak enak badan?”
“Sejak
kemarin sore,” jawab Rafael tanpa membuka mata.
“Dan
pasti kamu nggak ke dokter,” gerutu Lea.
Rafael
tersenyum lebar. Dia membuka mata dan menemukan sorot khawatir dalam tatapan
mamanya. Ditepuknya ringan punggung tangan mamanya.
“Ma,
aku nggak apa-apa.”
Lea
menghela napas panjang. Tak puas.
* * *
Adita
baru saja hendak mengunci pintu rumahnya ketika sebuah mobil berhenti di depan
pagar. Seorang laki-laki setengah baya turun dari mobil itu. Mengangguk santun
pada Adita.
“Mbak
Dita...”
“Ya?”
Adita menatap laki-laki itu, kemudian mengukir seulas senyum di bibirnya.
“Oh... Pak Mun... Tumben, Pak?’
“Ibu
menyuruh saya menjemput Mbak Dita. Mas Rafa sakit di rumah.”
Bibir
Adita membulat tanpa suara, lalu tanyanya kemudian, “Sakit apa? Kapan dia
pulang?”
“Kurang
tahu sakitnya, Mbak. Siang ini tadi Mas Rafa pulang, diantar sopir dari kantor
Bogor. Mari, Mbak...”
Adita
pun tak punya pilihan lain. Diikutinya Muntadi ke mobil yang diparkir di depan
pintu pagar. Ketika Adita sudah duduk dengan nyaman di dalam, Muntadi pun
meluncurkan kendaraannya.
Segera
saja Adita sibuk dengan ponselnya. Dikirimnya pesan pada penanggung jawab
warungnya, bahwa dia akan terlambat datang sore ini. Terakhir dia memilih
sebuah nama untuk dihubunginya secara langsung.
* * *
Good post mbak
BalasHapusSeperti biasa apik.....
BalasHapushmmmmm... #nunggu #ambilcemilan #gelartiker
BalasHapus