Kamis, 30 Juli 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #26





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #25



* * *


Lea hanya bisa duduk mematung ketika Steve duduk bersimpuh di kakinya siang itu. Uraian panjang Steve sudah menjelaskan semuanya. Sebuah keadaan yang sebetulnya bisa dirangkum dalam satu kalimat singkat, Steve menghamili kekasihnya, Anna.

“Ampuni aku, Ma...,” ucap Steve hampir tanpa suara.

Mata Lea menerawang jauh. Kesalahan apa yang sudah diperbuatnya? Hingga Rafael dan Steve tumbuh dewasa bagaikan langit dan bumi? Sungguh, pengakuan Steve seketika membuatnya terbanting dan merasa jadi ibu yang gagal.

Sebuah perasaan hampa menyelimuti hatinya. Membuatnya kelu. Hanya bisa diam. Membuat Steve makin tertunduk.

“Kamu harus menikahinya,” ucap Lea kemudian, dengan nada yang terdengar begitu jauh. “Dan jangan pernah berpikir tentang perceraian.”

Steve mengangguk pasrah. “Ya, Ma, aku akan selalu mencintai Anna.”

“Jemmy sudah tahu?”

Steve menggeleng. “Anna belum berani bilang padanya, Ma.”

“Kamu kembali kerja. Jemput Anna kalau kamu pulang nanti. Mama ingin bicara sama kalian.”

Steve segera beringsut dan beranjak pergi. Meninggalkan mamanya yang masih duduk terpekur dalam diam.

* * *

Raf, tolong kamu pulang. Sekarang.

Rafael membaca sekali lagi SMS itu. SMS yang dikirim mamanya menyusul enam panggilan tak terjawab saat dia meeting tadi. Dan dia tahu sebab mamanya menyuruhnya pulang.

Pastilah Steve. Dan kehamilan Anna. Steve yang terlalu pintar merayu? Ataukah Anna yang terlalu polos? Cenderung bodoh, pikir Rafael kemudian, sarkastis. Dihelanya napas panjang.

Pekerjaannya sedang menumpuk. Dilanjutkan dengan bulan depan dia harus berangkat ke Korea. Dan sekarang waktunya harus terpotong untuk ikut mengurusi ‘hal tak penting’ itu? Di tengah pusing dan demam yang menyerangnya sejak kemarin sore? Lengkap sudah! Rafael menggelengkan kepala sambil meraih gagang telepon di atas mejanya.

“Mbak Tia, tolong Pak Hartono diminta datang ke sini ya? Sekarang,” ucapnya nyaris tanpa jeda setelah ada sapaan dari ujung sana.

Hartono muncul beberapa menit kemudian.

“Pak,” ucap Rafael begitu Hartono duduk di seberangnya. “Pak Har bisa menangani urusan di Korea sendirian?”

“Lho, memangnya kenapa, Mas?” tatapan Hartono tampak begitu serius.

“Saya nggak yakin bisa berangkat,” gumam Rafael sambil menyandarkan punggungnya dengan letih. “Saya nggak tahu harus cerita dari mana, Pak. Yang jelas sepertinya saya nggak bisa ke mana-mana dalam waktu dekat ini.”



“Mas...,” ucap Hartono hati-hati. “Kalau memang Mas menghendaki saya berangkat ke Korea sendirian, saya akan lakukan. Saya akan berbuat semampu saya demi perusahaan ini. Demi Mas Rafael.”

“Saya percaya, Pak,” senyum Rafael. Dia melirik kalender di sudut mejanya. “Besok ada meeting dengan PT. Cinda. Lusa ada shipping ke Malaysia. Jumat ada audit. Pak Har bisa menanganinya kan, tanpa saya?”

“Semua bisa saya tangani,” Hartono mengangguk yakin. “Mas Rafa istirahat saja di rumah.”

“Saya harus pulang ke Jakarta, Pak, sekarang juga. Ada yang penting di sana.”

Melihat wajah Rafael yang sarat beban, Hartono memutuskan untuk memberanikan diri bertanya, “Mas, Mas Steve ya?”

Rafael mengangguk. Ditatapnya Hartono.

“Pak Har tahu dari mana?”

“Mm...,” wajah Hartono terlihat ragu-ragu, tapi diteruskannya juga ucapannya, “Tadi pagi saya kaget. Suara Mas Rafa kencang sekali. Nggak pernah seperti itu sebelumnya.”

“Oh...,” Rafael tercenung sesaat. “Dan Mama menyuruh saya pulang.”

Hartono mengangguk mengerti. Dia tak ada keberanian untuk mendesak lagi. Ditatapnya wajah kuyu Rafael dengan prihatin.

“Mas, pulang ke Jakarta biar diantar Truno ya?” Hartono menyebutkan nama sopirnya. “Saya nggak tega melepas Mas Rafa dengan kondisi seperti ini. Saya khawatir Mas Rafa ambruk lagi seperti beberapa minggu lalu. Mau ya, Mas?”

Rafael mengulas senyum. Tak ada gunanya juga membantah kata-kata Hartono. Laki-laki itu selalu mengkhawatirkannya di saat yang tepat. Dan Rafael pun mengangguk penuh rasa terima kasih.

* * *

Tangis Lea langsung pecah begitu Rafael muncul di rumah. Rafael memeluknya erat. Lea merasa bahwa tanpa dia bercerita pun Rafael sudah paham sebabnya.

“Mama malu, Raf, Mama malu...,” ucap Lea di sela isak tangisnya. “Bisa-bisanya Steve melakukan itu.”

“Ma,” bisik Rafael lembut. “Mungkin memang harus begini cara agar Steve insyaf. Agar Steve menjadi dewasa dan nggak lagi jadi anak bengal. Dia akan jadi ayah. Itu bisa membuatnya jadi lebih bertanggung jawab.”

“Mama gagal jadi ibu yang baik,” sesal Lea.

“Enggak, Ma...,” hibur Rafael. “Mama udah melakukan semuanya yang bisa Mama lakukan. Bahkan lebih dari kemampuan yang bisa Mama bayangkan.”

“Kamu yang memberi Mama kekuatan, Raf,” Lea mengelus pipi. “Karena kebaikanmu. Memberi Mama daya lebih untuk tetap berdiri tegak.”

Ketika pipi itu terasa makin panas di tangan Lea, perempuan itu langsung meraba seluruh wajah Rafael.

“Raf, kamu sakit?” ucapnya penuh kekhawatiran.

“Nggak apa-apa kok, Ma, cuma meriang. Kayaknya mau flu. Mama kapan mau ke tempat Anna? Sore ini?”

Lea menggeleng. “Rencananya memang sore ini. Tapi besok ajalah. Mama butuh kita bicara dulu berempat. Steve pulang kerja mau langsung menjemput Anna. Kamu nggak mau ke tempat Dita dulu?”

“Nantilah, Ma,” Rafael menggeleng. “Dia juga nggak tahu aku di sini.”

“Ya udah, kamu istirahat dulu di kamar, Mama bikinin lemon tea.

Rafael menggangguk, kemudian masuk ke kamarnya.

* * *

Jendela itu dibukanya lebar-lebar. Hembusan angin membawa terbang angannya pada seraut wajah cantik. Anna. Yang seketika membuatnya tergugu dengan hati bergetar. Tapi bukankah memang hal itu yang dia inginkan? Steve dan Anna. Tanpa harus menoleh lagi ke arahnya. Tapi kenapa juga masih ada lembaran sakit hati yang dia temukan?

Rafael kemudian merebahkan tubuhnya di atas kasur dengan letih. Berusaha abai terhadap denyut di kepalanya yang makin menjadi. Pelan dia mengatupkan matanya, hingga beberapa saat kemudian didengarnya pintu kamar terbuka.

“Raf, Mama udah panggilin Om San. Udah jalan ke sini. Mama khawatir kamu sakit beneran,” kata Lea sambil meletakkan segelas lemon tea hangat di atas meja dekat kepala Rafael. “Udah berapa hari kamu nggak enak badan?”

“Sejak kemarin sore,” jawab Rafael tanpa membuka mata.

“Dan pasti kamu nggak ke dokter,” gerutu Lea.

Rafael tersenyum lebar. Dia membuka mata dan menemukan sorot khawatir dalam tatapan mamanya. Ditepuknya ringan punggung tangan mamanya.

“Ma, aku nggak apa-apa.”

Lea menghela napas panjang. Tak puas.

* * *

Adita baru saja hendak mengunci pintu rumahnya ketika sebuah mobil berhenti di depan pagar. Seorang laki-laki setengah baya turun dari mobil itu. Mengangguk santun pada Adita.

“Mbak Dita...”

“Ya?” Adita menatap laki-laki itu, kemudian mengukir seulas senyum di bibirnya. “Oh... Pak Mun... Tumben, Pak?’

“Ibu menyuruh saya menjemput Mbak Dita. Mas Rafa sakit di rumah.”

Bibir Adita membulat tanpa suara, lalu tanyanya kemudian, “Sakit apa? Kapan dia pulang?”

“Kurang tahu sakitnya, Mbak. Siang ini tadi Mas Rafa pulang, diantar sopir dari kantor Bogor. Mari, Mbak...”

Adita pun tak punya pilihan lain. Diikutinya Muntadi ke mobil yang diparkir di depan pintu pagar. Ketika Adita sudah duduk dengan nyaman di dalam, Muntadi pun meluncurkan kendaraannya.

Segera saja Adita sibuk dengan ponselnya. Dikirimnya pesan pada penanggung jawab warungnya, bahwa dia akan terlambat datang sore ini. Terakhir dia memilih sebuah nama untuk dihubunginya secara langsung.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #27


3 komentar: