Rabu, 15 Juli 2015

[Cerpen Stripping] Infal #5





Episode sebelumnya : Infal #4


* * *


Dan Minggu malam itu akhirnya tiba juga. Sasya terkapar di atas tempat tidur dengan wajah lelah sekaligus lega. Menjelang jam delapan malam tadi Diana sudah kembali ke apartemennya. Besok masih harus bekerja dua hari lagi sebelum libur lebaran. Setelah itu? Sasya kembali menghela napas lega. Diana akan langsung terbang ke Raja Ampat untuk berlibur. Tak lagi kembali ke rumah ini untuk sementara waktu.

Semoga sampai aku cabut nggak lagi ketemu dia!

Mata Sasya menatap langit-langit kamarnya dalam temaram cahaya lampu taman belakang yang masuk melalui ventilasi. Sejenak matanya mengerjap. Seolah masih tak percaya ia bisa terdampar di rumah ini sebagai ART. Sebuah pengalaman yang jauh dari kehidupannya walaupun ia tak asing dengan semua tugas yang dikerjakannya.

Diam-diam ia bersyukur bahwa selama ini dididik untuk tidak menyebalkan ART seperti Yu Marsih maupun infalan seperti Mbak Ginten. Dari pertemuan singkatnya dengan Suni, ia mendapat informasi bahwa dulu ketika anak-anak keluarga Suwondo masih ada di rumah itu, tak ada ART baru yang kuat bertahan lama di rumah ini. Suni bertahan karena ia hadir setelah Diana dan Reginald keluar dari rumah itu. Jadi ia tak terlalu lama berinteraksi dengan’anak-anak penindas’ itu.

Sasya menguap. Ia kemudian berbaring miring memeluk guling. Mulai memejamkan matanya. Masih ada beberapa hari lagi di rumah itu. Masih membutuhkan tenaga untuk menjalaninya.

* * *

Rini Suwondo menatap Wati dari balik vitrase ruang tamu. Wati tampak membelakanginya, berjongkok di depan deretan pot bunga yang berjejer di tepi teras, asyik mencabuti rumput yang baru tumbuh di dalam pot.

Menjelang maghrib begini tugasnya sudah selesai. Terkadang Rini Suwondo heran dengan kecepatan Wati bekerja. Anak itu memang tidak terlalu banyak bicara. Menjawab seperlunya. Melakukan pekerjaan dengan baik. Memasak dengan sempurna.

Siapa dia sebenarnya?

Hasil investigasinya di kamar Suni yang selama beberapa hari ini ditempati Wati tak membuahkan apa-apa. Ketika ia menggeratak kamar Wati, gadis itu sedang sibuk mencuci mobil Suwondo.

Ia hanya mendapati tumpukan baju-baju biasa di dalam lemari. Ada dompet di tengah tumpukan baju itu. Hanya ada kartu diskon sebuah minimarket, fotokopi KTP serupa berkas yang ditunjukkan Retno, dan uang dalam pecahan nominal kecil yang nilainya tak sampai dua ratus ribu rupiah. Tak ada lagi yang lain. Tas yang tergolek di dekat lemari pun kosong.

Rini Suwondo masih menatap Wati. Rambut kecoklatan sebahunya dikuncir tinggi, menampakkan tengkuknya yang begitu bersih.

Kalau didandani sedikit bisa jadi model dia... Sayang nasibnya nggak begitu bagus. Indo kok mbabu...

Ia tersentak ketika telinganya mendengar bunyi klakson. Wati sudah tak ada lagi di tempatnya berjongkok. Gadis itu sudah berlari untuk membuka pintu pagar. Ia beranjak dari depan jendela ketika mobil Suwondo meluncur masuk.

* * *

“Bu...”

Rini Suwondo mengangkat wajah dari layar ponselnya. Wati tengah menatapnya ragu-ragu.

“Bahan makanan di kulkas menipis. Sudah dekat lebaran. Takutnya nggak ada pasar yang buka. Ibu nggak belanja?”

“Hm...,” Rini Suwondo menurunkan kakinya dari atas sofa. “Ya sudah, buat saja daftarnya, apa yang harus dibeli.”

“Sudah, Bu,” Wati mengeluarkan secarik kertas dari saku kulotnya. “Ini.”

Rini Suwondo membaca sekilas kertas yang disodorkan Wati. Ia kemudian menoleh ke arah jam dinding. Masih jam dua siang. Ia kembali menatap Wati.

“Ganti baju, Ti. Ikut aku ke hipermarket.”

Wati terbengong sejenak.

“Ikut Ibu ke hipermarket?” ucapnya setelah tersadar.

“Iyaaa... Kenapa?”

“Lha... Baju saya rombeng semua, Bu...”

“Kamu bukannya pakai celana panjang waktu datang ke sini?” Rini Suwondo mengerutkan keningnya.

Wati mengangguk.

“Ya sudah, pakai saja itu. Sama atasan apa kek. Sudah, buruan!”

Wati terbirit-birit berlari ke kamarnya. Tak lama kemudian ia sudah siap. Dan ia bengong seri kedua ketika Rini Suwondo mengulurkan kunci mobilnya.

“Saya yang nyetir, Bu?”

“Ya iyalah... Katanya kamu punya SIM A to?”

“Hehehe... Iya...”

Dan Rini Suwondo terpaksa mengakui bahwa ART infalnya yang satu ini memang cukup komplit spesifikasinya. Walaupun ia tak berhasil menemukan SIM A itu dalam dompet Wati, tapi entah mengapa ia mempercayainya.

* * *

Hati Wati ketar-ketir ketika Rini Suwondo menyuruhnya mengarahkan mobil ke sebuah hipermarket dekat kompleks rumahnya. Sekilas ia melihat penampilannya melalui kaca spion. Rambut dikuncir asal-asalan, poni menutupi dahi, wajah polos bahkan tanpa polesan bedak.

Semoga nggak ada yang mengenaliku...

Ia kemudian mengikuti langkah Rini Suwondo sambil mendorong troli. Di tangan Rini Suwondo ada catatan yang ia buat. Tapi cara belanja Rini Suwondo sangat berantakan. Meloncat sana, meloncat sini. Padahal sudah dibuatnya urutan catatan itu sesuai kelompoknya.

I miss you, Mam..., ucapnya dalam hati. Lebay, karena ia hanya merindukan cara belanja mamanya yang terstruktur. Ia mulai pusing melihat kelincahan Rini Suwondo. Dan kepusingannya bertambah ketika ada yang memanggilnya.

“Kak Sasya!”

Mata Wati melotot ketika melihat siapa yang memanggilnya. Sekilas ia melihat Rini Suwondo tengah bicara dengan seseorang. Cukup jauh dari posisi ia berdiri. Secepatnya ia bergeser ke arah pemanggilnya.

“Aduh, By... Emangnya abangmu nggak cerita Kakak lagi ngapain? Kamu ngapain di sini?”

ABG yang memanggilnya nyengir. “Cerita sih... Aku ikut Mama.”

“Panggil Wati, jangan Sasya. Mama mana?”

“Siaaap!” Gaby terkekeh. Sejenak ia melihat ke arah Rini Suwondo yang masih asyik mengobrol. “Tuh, Mama lagi ngobrol sama tante itu...”

Wati sekilas mengamati siapa yang sedang mengobrol dengan Rini Suwondo.

Astagaaa... Kenapa aku bisa nggak kenal sih?

Wati kembali menatap Gaby. “Mama kapan berubah potongan rambut?”

“Baru tadi. Habis dari salon lanjut ke sini.”

Wati segera berdoa semoga ‘aji-aji ngilang’-nya bekerja sehingga ia tak kelihatan dari pandangan orang yang disebutnya ‘Mama’ itu. Tapi doanya sungguh tak terkabul, seiring dengan rapalan ‘aji-aji’ yang ‘kurang sakti’ itu. Rini Suwondo sudah menyebut namanya. Memanggilnya. Mau tak mau ia bergeser mendekati Rini Suwondo.

“ART infal,” didengarnya suara Rini Suwondo.

Dan Wati terpaksa pasrah menerima tatapan tak percaya dari orang yang diajak bicara Rini Suwondo. Tapi sebelum perempuan itu mengucapkan apa-apa, Gaby datang menyelamatkan suasana.

“Ma, ketemu Mbak Wati nih, ya...,” ucap Gaby ceria sambil berkali-kali mengedipkan sebelah mata pada Wanda Respati, mamanya, tanpa terlihat oleh Rini Suwondo. Sejenak kemudian ia mengulurkan tangannya pada Rini Suwondo sambil tersenyum manis. “Siang, Tante...”

“Siang, Cantik...,” Rini Suwondo tersenyum lebar sambil menyambut uluran tangan Gaby. “Cantik banget putrinya, Jeng,” Rini Suwondo menoleh ke arah Wanda Respati, yang masih terbengong, bergantian menatap Gaby dan Wati.

“Ini Mbak Wati, ART-nya Tante Fritz,” ucap Gaby lagi. “Mosok Mama lupa sih?”

“Wati...,” gumam perempuan itu, Wanda Respati. Sejenak kemudian ia tersadar ketika Gaby menyenggol lengannya. “Oh... pembantunya Bu Fritz kan, ini?”

Wati meringis tak jelas.

“Oh, Jeng Wanda kenal sama majikannya Wati?” Rini Suwondo terlihat antusias.

“Kenallah, Jeng... Tetangga sebelah ini... Tapi...”

“Ayo, Ma, keburu pesawatnya Papa landing nanti...,” Gaby menarik lengan Wanda Respati.

“Oh iya, iya!” Wanda Respati mengangguk sopan pada Rini Suwondo. “Maaf lho, Jeng. Saya harus jemput papanya anak-anak di bandara. Lain kali kita ngobrol lagi ya?”

“Iya, Jeng, monggo...”

Dan Wati menarik napas lega begitu Gaby berhasil menarik Wanda Respati menjauh.

“Majikanmu namanya Bu Fritz?” bisik Rini Suwondo.

Wati mengangguk.

“Kamu tinggal di sebelah rumah Jeng Wanda itu?”

Wati kembali mengangguk.

“Berarti tahu Ronan?”

Wati mengangguk untuk ketiga kalinya.

“Nah, Ronan itu calon mantuku, bossnya Diana. Diana lagi mengejarnya.”

Wati menatap senyum di wajah Rini Suwondo dengan sorot mata aneh.

* * *

Sambungannya ada di : Infal #6



3 komentar:

  1. yah,... kok cepet habisnya? Kirainnnnnnnn masih dowo.... Selamat istirahat mbak Cantik,... miss u so much.

    BalasHapus
  2. testing komen dari hape. Lanjuuut!

    BalasHapus