Episode sebelumnya : Infal #4
* * *
Dan Minggu malam itu akhirnya tiba juga.
Sasya terkapar di atas tempat tidur dengan wajah lelah sekaligus lega. Menjelang
jam delapan malam tadi Diana sudah kembali ke apartemennya. Besok masih harus
bekerja dua hari lagi sebelum libur lebaran. Setelah itu? Sasya kembali
menghela napas lega. Diana akan langsung terbang ke Raja Ampat untuk berlibur.
Tak lagi kembali ke rumah ini untuk sementara waktu.
Semoga
sampai aku cabut nggak lagi ketemu dia!
Mata Sasya menatap langit-langit kamarnya
dalam temaram cahaya lampu taman belakang yang masuk melalui ventilasi. Sejenak
matanya mengerjap. Seolah masih tak percaya ia bisa terdampar di rumah ini
sebagai ART. Sebuah pengalaman yang jauh dari kehidupannya walaupun ia tak
asing dengan semua tugas yang dikerjakannya.
Diam-diam ia bersyukur bahwa selama ini
dididik untuk tidak menyebalkan ART seperti Yu Marsih maupun infalan seperti
Mbak Ginten. Dari pertemuan singkatnya dengan Suni, ia mendapat informasi bahwa
dulu ketika anak-anak keluarga Suwondo masih ada di rumah itu, tak ada ART baru
yang kuat bertahan lama di rumah ini. Suni bertahan karena ia hadir setelah
Diana dan Reginald keluar dari rumah itu. Jadi ia tak terlalu lama berinteraksi
dengan’anak-anak penindas’ itu.
Sasya menguap. Ia kemudian berbaring miring
memeluk guling. Mulai memejamkan matanya. Masih ada beberapa hari lagi di rumah
itu. Masih membutuhkan tenaga untuk menjalaninya.
* * *
Rini Suwondo menatap Wati dari balik vitrase
ruang tamu. Wati tampak membelakanginya, berjongkok di depan deretan pot bunga
yang berjejer di tepi teras, asyik mencabuti rumput yang baru tumbuh di dalam
pot.
Menjelang maghrib begini tugasnya sudah
selesai. Terkadang Rini Suwondo heran dengan kecepatan Wati bekerja. Anak itu
memang tidak terlalu banyak bicara. Menjawab seperlunya. Melakukan pekerjaan
dengan baik. Memasak dengan sempurna.
Siapa
dia sebenarnya?
Hasil investigasinya di kamar Suni yang
selama beberapa hari ini ditempati Wati tak membuahkan apa-apa. Ketika ia
menggeratak kamar Wati, gadis itu sedang sibuk mencuci mobil Suwondo.
Ia hanya mendapati tumpukan baju-baju biasa
di dalam lemari. Ada dompet di tengah tumpukan baju itu. Hanya ada kartu diskon
sebuah minimarket, fotokopi KTP serupa berkas yang ditunjukkan Retno, dan uang
dalam pecahan nominal kecil yang nilainya tak sampai dua ratus ribu rupiah. Tak
ada lagi yang lain. Tas yang tergolek di dekat lemari pun kosong.
Rini Suwondo masih menatap Wati. Rambut
kecoklatan sebahunya dikuncir tinggi, menampakkan tengkuknya yang begitu
bersih.
Kalau
didandani sedikit bisa jadi model dia... Sayang nasibnya nggak begitu bagus.
Indo kok mbabu...
Ia tersentak ketika telinganya mendengar
bunyi klakson. Wati sudah tak ada lagi di tempatnya berjongkok. Gadis itu sudah
berlari untuk membuka pintu pagar. Ia beranjak dari depan jendela ketika mobil
Suwondo meluncur masuk.
* * *
“Bu...”
Rini Suwondo mengangkat wajah dari layar
ponselnya. Wati tengah menatapnya ragu-ragu.
“Bahan makanan di kulkas menipis. Sudah dekat
lebaran. Takutnya nggak ada pasar yang buka. Ibu nggak belanja?”
“Hm...,” Rini Suwondo menurunkan kakinya dari
atas sofa. “Ya sudah, buat saja daftarnya, apa yang harus dibeli.”
“Sudah, Bu,” Wati mengeluarkan secarik kertas
dari saku kulotnya. “Ini.”
Rini Suwondo membaca sekilas kertas yang disodorkan
Wati. Ia kemudian menoleh ke arah jam dinding. Masih jam dua siang. Ia kembali
menatap Wati.
“Ganti baju, Ti. Ikut aku ke hipermarket.”
Wati terbengong sejenak.
“Ikut Ibu ke hipermarket?” ucapnya setelah
tersadar.
“Iyaaa... Kenapa?”
“Lha... Baju saya rombeng semua, Bu...”
“Kamu bukannya pakai celana panjang waktu
datang ke sini?” Rini Suwondo mengerutkan keningnya.
Wati mengangguk.
“Ya sudah, pakai saja itu. Sama atasan apa
kek. Sudah, buruan!”
Wati terbirit-birit berlari ke kamarnya. Tak
lama kemudian ia sudah siap. Dan ia bengong seri kedua ketika Rini Suwondo
mengulurkan kunci mobilnya.
“Saya yang nyetir, Bu?”
“Ya iyalah... Katanya kamu punya SIM A to?”
“Hehehe... Iya...”
Dan Rini Suwondo terpaksa mengakui bahwa ART
infalnya yang satu ini memang cukup komplit spesifikasinya. Walaupun ia tak berhasil
menemukan SIM A itu dalam dompet Wati, tapi entah mengapa ia mempercayainya.
* * *
Hati Wati ketar-ketir ketika Rini Suwondo
menyuruhnya mengarahkan mobil ke sebuah hipermarket dekat kompleks rumahnya.
Sekilas ia melihat penampilannya melalui kaca spion. Rambut dikuncir
asal-asalan, poni menutupi dahi, wajah polos bahkan tanpa polesan bedak.
Semoga
nggak ada yang mengenaliku...
Ia kemudian mengikuti langkah Rini Suwondo
sambil mendorong troli. Di tangan Rini Suwondo ada catatan yang ia buat. Tapi
cara belanja Rini Suwondo sangat berantakan. Meloncat sana, meloncat sini.
Padahal sudah dibuatnya urutan catatan itu sesuai kelompoknya.
I
miss you, Mam..., ucapnya dalam hati. Lebay, karena ia hanya
merindukan cara belanja mamanya yang terstruktur. Ia mulai pusing melihat
kelincahan Rini Suwondo. Dan kepusingannya bertambah ketika ada yang
memanggilnya.
“Kak Sasya!”
Mata Wati melotot ketika melihat siapa yang
memanggilnya. Sekilas ia melihat Rini Suwondo tengah bicara dengan seseorang.
Cukup jauh dari posisi ia berdiri. Secepatnya ia bergeser ke arah pemanggilnya.
“Aduh, By... Emangnya abangmu nggak cerita
Kakak lagi ngapain? Kamu ngapain di sini?”
ABG yang memanggilnya nyengir. “Cerita sih...
Aku ikut Mama.”
“Panggil Wati, jangan Sasya. Mama mana?”
“Siaaap!” Gaby terkekeh. Sejenak ia melihat
ke arah Rini Suwondo yang masih asyik mengobrol. “Tuh, Mama lagi ngobrol sama
tante itu...”
Wati sekilas mengamati siapa yang sedang
mengobrol dengan Rini Suwondo.
Astagaaa...
Kenapa aku bisa nggak kenal sih?
Wati kembali menatap Gaby. “Mama kapan
berubah potongan rambut?”
“Baru tadi. Habis dari salon lanjut ke sini.”
Wati segera berdoa semoga ‘aji-aji
ngilang’-nya bekerja sehingga ia tak kelihatan dari pandangan orang yang
disebutnya ‘Mama’ itu. Tapi doanya sungguh tak terkabul, seiring dengan rapalan
‘aji-aji’ yang ‘kurang sakti’ itu. Rini Suwondo sudah menyebut namanya.
Memanggilnya. Mau tak mau ia bergeser mendekati Rini Suwondo.
“ART infal,” didengarnya suara Rini Suwondo.
Dan Wati terpaksa pasrah menerima tatapan tak
percaya dari orang yang diajak bicara Rini Suwondo. Tapi sebelum perempuan itu
mengucapkan apa-apa, Gaby datang menyelamatkan suasana.
“Ma, ketemu Mbak Wati nih, ya...,” ucap Gaby
ceria sambil berkali-kali mengedipkan sebelah mata pada Wanda Respati, mamanya,
tanpa terlihat oleh Rini Suwondo. Sejenak kemudian ia mengulurkan tangannya
pada Rini Suwondo sambil tersenyum manis. “Siang, Tante...”
“Siang, Cantik...,” Rini Suwondo tersenyum
lebar sambil menyambut uluran tangan Gaby. “Cantik banget putrinya, Jeng,” Rini
Suwondo menoleh ke arah Wanda Respati, yang masih terbengong, bergantian menatap
Gaby dan Wati.
“Ini Mbak Wati, ART-nya Tante Fritz,” ucap
Gaby lagi. “Mosok Mama lupa sih?”
“Wati...,” gumam perempuan itu, Wanda
Respati. Sejenak kemudian ia tersadar ketika Gaby menyenggol lengannya. “Oh...
pembantunya Bu Fritz kan, ini?”
Wati meringis tak jelas.
“Oh, Jeng Wanda kenal sama majikannya Wati?”
Rini Suwondo terlihat antusias.
“Kenallah, Jeng... Tetangga sebelah ini...
Tapi...”
“Ayo, Ma, keburu pesawatnya Papa landing nanti...,” Gaby menarik lengan Wanda
Respati.
“Oh iya, iya!” Wanda Respati mengangguk sopan
pada Rini Suwondo. “Maaf lho, Jeng. Saya harus jemput papanya anak-anak di
bandara. Lain kali kita ngobrol lagi ya?”
“Iya, Jeng, monggo...”
Dan Wati menarik napas lega begitu Gaby
berhasil menarik Wanda Respati menjauh.
“Majikanmu namanya Bu Fritz?” bisik Rini
Suwondo.
Wati mengangguk.
“Kamu tinggal di sebelah rumah Jeng Wanda
itu?”
Wati kembali mengangguk.
“Berarti tahu Ronan?”
Wati mengangguk untuk ketiga kalinya.
“Nah, Ronan itu calon mantuku, bossnya Diana.
Diana lagi mengejarnya.”
Wati menatap senyum di wajah Rini Suwondo
dengan sorot mata aneh.
* * *
Sambungannya ada di : Infal #6
Good post mbak,
BalasHapusyah,... kok cepet habisnya? Kirainnnnnnnn masih dowo.... Selamat istirahat mbak Cantik,... miss u so much.
BalasHapustesting komen dari hape. Lanjuuut!
BalasHapus