Episode sebelumnya : Infal #2
* * *
Sasya melemparkan tubuhnya di atas spring bed ukuran tunggal itu. Setengah
hari di rumah ini sudah cukup membuatnya ngos-ngosan. Masih tersisa sebelas
hari lagi.
Sejenak kemudian ia merogoh ke saku kulotnya.
Secarik kertas ditariknya keluar dari sana. Dibacanya dengan teliti. Itu adalah
jadwalnya sehari-hari di sini. Menyiapkan sarapan, membersihkan mobil Bapak,
bersih-bersih rumah, cek bahan makanan di kulkas, ke pasar kalau perlu, masak
buat siang (kalau Ibu di rumah), mencuci, menyeterika cucian kemarin, ...
Coreeet yang ini...
Sasya meringis.
... masak buat makan malam, bersih-bersih
dapur, menyapu, mengurus taman, dan lain-lain.
Fiuuuh...
Masih bolehkah menyesali kenekadannya
menawarkan diri menjadi tenaga ART infal? Rasanya sudah tidak ada jalan mundur
bila mundur hanya akan mempermalukan tantenya.
Sasya menghela napas panjang. Masih
diingatnya betul betapa bulatnya mata Retno ketika ia menawarkan dirinya.
“Gimana
kalau aku saja, Tante?”
Mata
Retno bulat menatapnya. Sejenak kemudian ia mengibaskan tangannya.
“Bercanda
kamu, Sas...”
“Lho,
serius ini aku, Tante,” Sasya mencondongkan tubuhnya. “Kan Tante tahu sendiri
Papa-Mama mau jalan ke Belgia tanpa aku. Nggak lucu kan kalau bulan madu ke
sekian bawa-bawa buntut segede aku?”
“Lha
kamu bukannya lagi ngerjain thesis?”
“Ya pembimbingnya juga pada libur kan, Tan. Lagi libur semester juga.”
“Hm...,”
Retno menatap Sasya yang kelihatan begitu serius. “Tapi semua kerjaan itu...”
“Tan,
kalau pas Yu Marsih libur, sebelum ada Mbak Ginten dulu, ART di rumah kan Mama
sama aku juga. Nggak masalah buatku ngerjain semua tugas RT. Masak juga aku
bisa. Kan aku anak kesayangannya Papa, hehehe... Lagian duitnya lumayan banget
tuh!”
Retno
masih menatap Sasya. Tak tahu harus menanggapi bagaimana.
“Kalau
beliaunya nggak puas ya sudah, aku pulang. Gampang kan?”
“Tapi
nama baikku, Sas...,” gumam Retno.
“Aku
akan berusaha untuk nggak merusak nama baik Tante.”
“Tapi
standarnya Bu Wondo ini tinggi banget lho, Sas.”
“Halaaah...
Kayak Tante nggak tahu Mama saja. Kira-kira miriplah,” Sasya mengedipkan
sebelah matanya.
Makin
dipikir, Retno makin tertarik dengan penawaran Sasya. Apalagi ia tahu betul
seperti apa Sasya. Seorang keponakan yang sungguh-sungguh ‘ajaib’.
“Tapi
satu hal, Tan...”
“Apa?”
Retno menegakkan punggungnya. Bersiap menerima ‘keajaiban’ Sasya berikutnya.
“Aku
nggak mau menyetrika. Daripada bubar jalan semuanya.”
“Lha,
terus mosok Bu Wondo sendiri yang menyetrika?”
“Kan
ada Yu Marsih. Tenang saja!” Sasya kembali mengedipkan sebelah matanya.
Sasya mengembangkan senyumnya. And here I am... Bekerja sebagai ART
infal selama sebelas setengah hari. Kembali dirogohnya saku kulotnya,
mengeluarkan sebuah ponsel. Dibukanya aplikasi Whatsapp.
Besok
ke sini jam 10 ambil baju kering ya, Yu. Pakai saja motorku. Jangan lupa bawa
SIM, pakai helm. Alamatnya minta sama Tante Retno. Jangan lupa, di sini namaku
Wati.
Disentuhnya send. Beberapa saat kemudian balasannya masuk.
Beres,
Mbak. Kalau butuh apa-apa cepat hubungi saya ya?
Sasya tersenyum sambil menyetel alarm-nya. Besok harus bangun jam empat
pagi.
* * *
Mata Wati mengerjap ketika ponselnya berbunyi
dan bergetar. Tangannya meraba ke bawah bantal dan menemukan benda itu. Ketika
hendak mematikan alarm, barulah ia sadar sedang berada di mana. Seketika
matanya terbuka lebar. Dilihatnya jam digital ponselnya. 03:47.
Seperti kebiasaannya, ia tak langsung bangun.
Diaturnya napas sambil berbaring selama lima menit. Ketika dirasanya kesegaran
sudah penuh memasuki tubuh, barulah ia bangun dan merapikan kamarnya. Setelah
mematikan AC, ia keluar dari kamar itu, tepat jam empat pagi. Tak lupa ia membawa
sebuah bungkusan yang diambilnya dari dalam tas.
Kegelapan menyergap begitu ia keluar dari
dalam kamar. Tapi dapur tak jauh, terletak hanya di sebelah kamarnya. Setelah
menyalakan lampu, ia segera menata isi bungkusan itu ke dalam lemari bumbu.
Sebagian lagi ia masukkan ke dalam kulkas.
Segera saja ia asyik memasak untuk sarapan.
Dengan cekatan mengolah sepotong dada ayam dan beberapa udang dan cumi, yang
diambilnya dari dalam freezer. Aroma
harum bawang putih dan bawang bombay segera memenuhi udara ketika ia mulai
menumisnya.
Ketika beberapa bahan sudah masuk ke dalam
penggorengan, ia segera mengaduk dan menutup penggorengan itu. Setelah
mengecilkan api, ia kemudian keluar dari dapur untuk menyapu seisi rumah.
Selesai menyapu, ia kembali ke dapur untuk memeriksa penggorengan Setelah
menambahkan sedikit air, mengaduk, dan menutup penggorengan, ia pun meneruskan
acaranya pagi itu dengan mengepel lantai.
* * *
Rini Suwondo terbangun ketika sebuah bau
asing menggelitik hidungnya. Bau yang membangkitkan syaraf rasa dan selera. Ia
buru-buru turun dari tempat tidur untuk memeriksa dari mana bau itu berasal.
Satu-satunya tempat yang mungkin adalah dapur. Ke sanalah ia melangkahkan kaki.
Dapur terang benderang di tengah pagi yang
masih cukup gelap. Ada sebuah penggorengan besar bertengger sendirian di atas
kompor yang menyala dengan api kecil. Asap tipis mengepul di atasnya. Siapa pun
yang sudah membuat penggorengan itu bertengger di atas kompor, ia sedang tidak
ada di dapur. Maka Rini Suwondo pun mengintip isi penggorengan itu dari balik
tutup kaca beningnya.
Apa
lagi ini?
Tapi apa pun itu, kelihatannya cukup
mengundang selera. Seperti semua yang dimakannya semalam. Sup kacang merah,
perkedel jagung, dan rolade tahu. Semuanya bernilai sembilan, menurutnya.
Bahkan mendapat pujian dari Suwondo yang biasanya cukup cerewet soal rasa.
“Pagi, Bu...”
Rini Suwondo terjingkat kaget. Wati muncul
dengan samar aroma apel mengikuti di belakangnya. Aroma cairan pel lantai.
“Dari mana? Kok dapurnya ditinggal begini?”
“Maaf, Bu... Sambil menunggu matang, saya
tinggal untuk menyapu sama mengepel lantai. Nggak bakal gosong karena apinya
saya kecilkan. Sesekali juga saya cek, saya aduk.”
“Bikin apa sih?”
“Paella.”
Rini Suwondo terbengong sejenak. Seumur-umur
punya ART, baru kali ini ada seorang ART memasak paella untuk keluarganya. Ditatapnya Wati yang sekarang sedang
mengaduk paella di penggorengan.
“Mau sarapan jam berapa, Bu?” Wati menoleh
sekilas. “Soalnya ini kan lebih enak kalau dimakan panas-panas. Kalau masih nanti,
udang sama cumi-cuminya saya masukkan nanti saja. Saya matikan dulu apinya.”
Rini Suwondo menatap jam yang tergantung di
dinding dapur. Belum genap setengah enam pagi.
“Nantilah jam tujuhan. Hari Sabtu ini. Bapak
kan libur.”
“Oh...,” Wati kelihatan berpikir sejenak. “Nanti
siang mau makan apa, Bu?”
“Aku sama Bapak mau pergi. Nggak makan siang di
rumah. Kamu masak saja buat sore. Tambahin satu porsi lagi ya? Anakku biasanya kalau
malam Minggu menginap di sini.”
“Baik, Bu. Oh iya, mau saya cucikan dulu mobilnya?”
Rini Suwondo berpikir sejenak sebelum mengangguk.
“Sebentar, aku ambilkan dulu kuncinya. Tapi benar kan, kamu bisa nyetir?”
Wati mengangguk mantap.
* * *
nice post khas mbak lizz
BalasHapusmenarik ceritanya
BalasHapusSuka......nunggu besok nggak sabar
BalasHapusWah wah selalu penuh kejutan. Lanjuut!
BalasHapusSudah minggu :( menanti mbk lis
BalasHapuskalo anaknya laki-laki, bisa naik jabatan dari infal jadi menantu :)
BalasHapusSemoga anak Ibu Suwondo itu cowok tapi rada sombong. Biar seru xixixi
BalasHapusPaella apaan ya mbak?
BalasHapus