Kamis, 02 Juli 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #22





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #21



* * *


Motor 600 cc itu melaju pelan-pelan membelah malam. Anna duduk diam di boncengan. Steve pun tak hendak mencoba membuka percakapan. Diam-diam dinikmatinya hening itu.

Dia merasakan kedamaian itu lagi. Sesuatu yang selalu dia rasakan bila berdekatan dengan Anna. Sesuatu yang tak pernah dia peroleh dari belasan gadis yang pernah dihamburinya kata cinta, tapi kemudian dicampakkannya begitu saja.

 
Tampaknya memang Anna akan menjadi pelabuhan terakhirnya. Tapi kenapa seolah ada yang menahan Anna untuk lebih lepas lagi menerimanya? Dia tak buta terhadap berbagai sikap ‘penolakan’ dari Anna. Walau pada setiap akhir episode pertemuan mereka selalu ditemukannya senyum dan semburat keceriaan di wajah Anna.

Dia memang lain, seperti yang dikatakan Mama...

Tempat tujuan mereka masih buka ketika mereka sampai. Masih ramai dengan pengunjung. Anna melompat turun dari boncengan ketika Steve menghentikan motornya.

“Dari tadi jajan melulu, nggak makan nasi?” celetuk Anna sambil melepas helm yang dipakainya.

“Diet,” Steve meleletkan lidahnya.

“Diet?” Anna membulatkan matanya. “Dengan begitu banyak makanan masuk ke perut?”

Derai tawa Steve pecah. Diraihnya bahu Anna, kemudian direngkuhnya bahu itu.

Schotel dan ketan kan karbo juga. Bakal bikin kenyang,” ucapnya sambil melangkah masuk ke ruko Adita. Anna hanya mengangkat bahu.

* * *

Ada tempat buat berdua yang masih kosong. Setelah memesan ini-itu dan pramusaji yang melayani mereka itu pergi, Steve menatap Anna. Gadis itu masih asyik melihat-lihat kartu menu. Ketika dirasanya ada sesuatu yang mengusik, tatapan mereka bertemu. Steve mengulas senyum, sementara Anna kembali menunduk, berlagak sibuk dengan kartu menu di tangannya.

“An...,” Steve setengah berbisik.

“Hm...”

“Boleh tanya?”

“Apa?” Anna kembali mengangkat wajahnya.

“Kok bisa sih, kamu begini cantik?”

Anna menatap Steve tanpa ekspresi. Steve sudah sering menggombalinya. Entah kenapa dia selalu risih bila Steve melakukan itu.

“Aku nggak suka digombali,” Anna menyahut, sedikit ketus.

“Aku nggak sedang menggombalimu,” Steve bertopang dagu, masih menatap Anna. “Karena kamu pantasnya dicintai, bukan digombali.”

“Dan itu kamu ucapkan pada semua gadis yang pernah kamu pacari?” Anna mengangkat alisnya tinggi-tinggi.

Steve terkekeh sambil menggumam, “Kalau mereka sih, memang asli aku gombali, hehehe...”

“Nah!” Anna mengirimkan tatapan tajam. “Akhirnya kamu mengaku!”

“Mengaku apa?”

“Bahwa kamu sedang menggombaliku juga.”

Steve menatap Anna. Dalam. Lama. Membuat Anna jengah karenanya.

“Barangkali memang benar aku player,” ucap Steve kemudian dengan wajah sangat serius. “Tapi aku memutuskan untuk pensiun setelah bertemu denganmu. Karena aku tahu perasaan dan keyakinanku nggak bohong, bahwa kamulah pelabuhan terakhirku.”

Anna balik menatap Steve. Masih terlihat tanpa ekspresi. Diam-diam membuat Steve mengeluh dalam hati. Kenapa sulit sekali?

“Walau misalnya aku lebih menyukai orang lain?”

Steve mendadak tersentak mendengar ucapan dingin Anna. Orang lain? Tenggorokannya terasa sakit tiba-tiba.

“Jadi kamu lebih menyukai orang lain?” ucap Steve dengan suara seperti tercekik.

“Aku bilang misalnya,” jawab Anna datar. “Aku lebih suka orang yang memperlakukan aku apa adanya. Tidak berlebihan. Biasa saja. Tidak seperti ABG yang baru kasmaran.”

Steve tercenung lama. Mama benar lagi, mungkin aku memang berlebihan.

Setelah pramusaji menghidangkan pesanan, Steve menikmatinya dalam diam. Sesekali ditatapnya Anna yang sekarang asyik membaca sebuah tabloid wanita yang diraih dari meja sebelah yang kosong. Gadis itu benar-benar tak mau memesan makanan dengan alasan kenyang. Hanya ada segelas jeruk hangat di depannya.

Tampaknya kali ini aku memang harus belajar lagi, pikir Steve.

* * *

Rafael dan Adita saling melepaskan jabat tangan itu.

“Senang juga bekerja sama dengan Mas Rafa,” ucap Adita dengan suara tercekat. “Kunci mobil ada di ruanganku. Nanti bisa sekalian Mas ambil kalau mau pulang.”

Jadi begini rasanya terdepak? Adita meringis dalam hati. Jadi begini kalau pekerjaan yang seharusnya profesional malah melibatkan rasa?

Seporsi ifu mie capcay yang biasanya lezat itu kini terasa hambar di lidahnya. Tapi Adita berusaha untuk bersikap biasa-biasa saja walaupun berbagai pikiran terus bermain di dalam benak.

Setidaknya aku masih bisa bersyukur diperbolehkan mengenal orang baik seperti dia. Mengenal sisi lain kehidupan. Keluar dari kesulitan keuangan. Walau harus ‘menjual diri’.

“Boleh menanyakan sesuatu?”

Adita tersentak mendengar suara lirih itu. Dia mengangkat wajahnya. Menemukan Rafael tengah menatapnya dalam.

“Kenapa selama beberapa minggu ini kamu nggak menghubungiku?”

“Aku takut mengganggumu,” jawab Adita cepat. “Nyatanya Mas memang sibuk kan? Sampai nggak sempat menghubungiku juga.”

Rafael terpekur menatap meja. Mempermainkan sumpit di tangannya.

“Aku hanya mencoba untuk menengok ke dalam hatiku,” gumam Rafael. Diangkatnya wajah. “Dan aku menemukan hal-hal di luar nalar yang menyangkut perasaan. Membuatku harus berpikir dan berpikir lagi. Sampai kemudian aku tiba pada satu titik di mana aku merasa harus mengakhiri kontrak ini.”

Adita berusaha mengumpulkan konsentrasinya agar bisa mencerna keseluruhan ucapan Rafael dengan baik. Tapi dia gagal. Dia hanya bisa terdiam sambil menunggu Rafael melanjutkan ucapannya.

Rafael menghela napas panjang sebelum meneruskan. “Yang kurasakan ketika tak ada kontak di antara kita adalah rasa kosong yang luar biasa. Aku mencoba menikmati kekosongan itu dengan menyibukkan diri. Tapi lama-lama aku lelah juga. Aku justru tersiksa, bukan menikmatinya. Aku ingin kembali ke awal. Tanpa embel-embel kontrak. Jadi...,” Rafael mengulurkan tangannya.

Kening Adita berkerut seketika. Sejujurnya hatinya dipenuhi harapan yang dia takut untuk memeliharanya. Dengan ragu ditatapnya uluran tangan Rafael. Tapi diterimanya juga uluran tangan itu. Pelan dirasakannya genggaman Rafael menghangat di telapak tangannya.

“Aku Rafael. Boleh berkenalan denganmu?”

Adita hanya bisa menatap Rafael dengan mata bulat beningnya.

* * *

‘Berkenalan’ kembali dengan Rafael?

Adita tersenyum sambil merebahkan diri di atas kasur. Matanya menatap tiap jengkal langit-langit kamar. Sepertinya peristiwa yang baru saja beberapa puluh menit yang lalu dia alami tak akan pernah terlupakan seumur hidup. Siapa yang menyangka hubungannya dengan Rafael akan dimulai lagi dari awal?

Tanpa kebohongan lagi. Tapi... Adita mengerjapkan mata. Benarkah ini yang kuinginkan? Dihelanya napas panjang. Senyumnya surut seketika.

Entah kenapa, masih ada yang terasa mengganjal di hatinya. Dia mencoba menelisik tiap sudut, tapi tetap saja tak berhasil menemukan seperti apa bentuk ganjalan itu. Hanya saja setiap kali dia merasa terantuk pada satu nama.

Anna.

Apakah karena aku tahu bahwa rasa antara Anna dan Rafael sebetulnya tidak pernah bertepuk sebelah tangan? Dan aku lagi-lagi terjepit di tengahnya. Tanpa bisa berkelit karena aku juga menuruti rasaku. Seperti apa sebenarnya aku bagi Rafael?

Hingga dini hari makin jauh menggelincir meninggalkan tengah malam, Adita tak juga mampu memejamkan mata dan mengistirahatkan otaknya. Berkali-kali dia menghela napas berusaha mengurangi rasa sesak, berkali-kali pula dia gagal. Rasa sesak itu tetap ada. Menggayuti hatinya tanpa bisa diusir. Membuatnya terkapar dalam rasa putus asa.

* * *

“Kamu jam berapa berangkat dari Bogor? Jam segini baru sampai?”

Rafael menoleh. Steve dilihatnya tengah duduk menghadap laptop di ruang makan yang masih terang benderang. Sebelum menjawab, Rafael memutuskan untuk duduk sejenak di dekat Steve. Dijangkaunya gelas air putih di depan Steve yang masih terisi setengah.

“Aku dari pulang kerja sudah cabut dari Bogor. Langsung ke tempat Adita,” jawab Rafael kemudian sambil meneguk air putih itu.

“Bohong,” gumam Steve. “Aku tadi ke sana, kamu nggak ada.”

“Aku dari sebelum jam delapan sudah ada di sana. Terus makan di depot chinese food di ujung ruko sama Adita. Setelah itu ke taman belakang kompleks ruko. Ramai di sana. Asyik. Pas aku balik lagi ke ruko, kamu sudah mau pergi. Kamu pakai motor kan?”

“Hm...,” Steve meringis. “Kirain bohong. Tapi mobilmu parkir di mana?”

“Di depan kios martabak. Ramai banget tadi warung Adita, sampai nggak ada tempat buat parkir.”

“Iya sih... Tadi jam sepuluh saja masih ramai.”

“Ya sudah,” Rafael berdiri. “Aku tidur dulu. Capek banget.”

“Eh, Raf!”

Rafael membatalkan langkahnya. Ditatapnya Steve dengan sorot bertanya.

“Aku ingin ngobrol sama kamu,” lanjut Steve. “Kapan ada waktu?”

“Soal apa? Kerjaan?”

Steve menggeleng. “Soal cewek.”

“Oh...,” Rafael tersenyum. “Besok saja ya?”

“Oke!” Steve mengacungkan jempolnya.

Rafael melanjutkan langkahnya menuju ke kamar. Sambil berganti baju dia berpikir. Diam-diam ada debar yang muncul dalam dadanya.

Soal cewek? Anna? Oh, no! Ada-ada saja!

Anna... Entah kenapa nama itu masih juga menimbulkan sesuatu yang aneh dalam hatinya.

Padahal sudah ada Adita. Ataukah sebenarnya hanyalah pelarian?

Rafael menggelengkan kepala dengan gusar. Tak ada lagi yang bisa dilakukannya sekarang kecuali merebahkan diri di atas ranjang dan mencoba untuk tidur.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #23



3 komentar: