Senin, 06 Juli 2015

[Cerbung] Rinai Renjana Ungu #23





Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #22



* * *



Rafael bangun dengan kepala pening. Sinar terang sudah menerobos masuk ke dalam kamar melalui sela-sela tirai jendela. Entah kenapa rasanya malas sekali dia membuka mata. Tapi setelah mandi dia merasa badannya sedikit segar. Diliriknya jam dinding di ruang makan ketika dia keluar kamar. Hampir jam delapan. Dilihatnya Lea masih duduk di depan meja makan sambil membaca koran.

“Pagi, Ma...”

Lea menoleh, tersenyum. “Pagi... Sampai rumah jam berapa semalam?”

“Sudah lewat tengah malam,” Rafael duduk di seberang Lea.

“Mau minum apa, Mas?” tanya Watini yang mendadak muncul.

“Hm... Coklat hangat saja, Yu. Makasih.”

“Adita sehat?” tanya Lea sambil melipat korannya.

Rafael menatap Lea sejenak dengan aneh. Dia kemudian meraih piring berisi roti. Ditatapnya roti itu tanpa nafsu.

“Bukannya Mama kemarin sore ketemu Dita?” gumam Rafael sambil menyorongkan kembali piring roti itu, menjauh.

Lea terlihat terkejut mendengar gumaman Rafael. Dia berdehem singkat, terlihat salah tingkah. Sebelum dia menjawab, Watini sudah muncul kembali membawa pesanan Rafael. Rafael menatap Watini.

“Tolong bikinin roti panggang isi telur ceplok ya, Yu?”

“Berapa, Mas?”

“Satu saja. Satu lagi tolong diisi sarikaya.”

“Siap, Mas!”

Rafael menghirup isi mug-nya. Lea menatapnya. Menimbang-nimbang jawaban apa yang bisa diberikannya pada Rafael.

“Steve ke mana?” tanya Rafael sambil meletakkan kembali mug-nya ke atas meja.

“Diajak keluar sama Freddy. Cari spare part motor.”

“Oh...”

“Mm...,” ucap Lea kemudian, lirih. “Soal kemarin sore, iya, Mama ke ruko Adita. Adita cerita?”

Rafael mengangguk. “Termasuk isi pembicaraan dengan Mama.”

Lea menghela napas panjang. “Mama nggak bermaksud ikut campur, Raf. Cuma perasaan Mama nggak enak.”

“Iya, aku tahu,” Rafael mengangguk. “Adita juga bisa paham kok. Nggak apa-apa. Toh nyatanya nggak ada sesuatu hal yang salah di antara aku sama Adita. Cuma sama-sama sibuk saja.”

“Begitu sibuknya sampai komunikasi bisa terputus begitu?”

Rafael menatap mamanya tanpa menjawab. Karena sejujurnya dia memang tak tahu harus menanggapi bagaimana. Untungnya Watini datang menyelamatkan keadaan. Aroma roti panggang buatannya cukup menggugah selera Rafael. Segera saja pemuda itu menikmati sarapannya dengan nikmat.

Lea menatap anaknya sambil tersenyum. ”Kamu mau kencan sama Adita hari ini?”

Rafael menghentikan kunyahannya, menggeleng. “Nggak kencan, tapi mau bantu-bantu di warung. Minimal menemani dia. Mumpung aku pulang.”

“Hm... Jadi nggak bisa anterin Mama vaksinasi Larry dong?”

“Sekalian saja bareng aku, Ma. Nanti kutraktir di warung Adita.”

“Hehehe... Beneran?”

“Serius! Nanti Mama aku drop di kliniknya Bang Jemmy, aku tinggal jemput Adita dulu. Sambil tunggu aku, Mama kan bisa ngobrol dulu sama Anna.”

“Hm... Oke deh!” Lea mengangguk dengan wajah cerah.

“Tapi agak siangan ya, Ma? Aku mau tidur lagi. Masih ngantuk. Agak pening juga.”

“Ya sudah, setelah ini kamu istirahat dulu.”

Rafael mengangguk sambil meneguk coklatnya.

* * *

Rumah itu sepi ketika Steve masuk melalui garasi. Di depan dapur dia berpapasan dengan Tunik.

“Sepi amat, Yu? Pada ke mana?”

“Ibu lagi sibuk sama kucing. Mas Rafa tidur.”

“Hah? Belum bangun?” Steve melebarkan matanya.

“Tadi sudah. Tidur lagi.”

“Ooo...,” Steve membundarkan kedua bibirnya tanpa suara.

Ketika hendak mengintip ke kamar Rafael, Steve menemukan tiga buah undangan tergeletak di atas meja makan. Segera dihampirinya lembaran-lembaran yang sama persis itu.

Hm...

Steve membacanya. Satu untuk mamanya, satu untuk Rafael, satu untuknya. Dari Ascadia, salah satu gadis ‘koleksi’-nya dulu. Steve tersenyum. Setelah meletakkan kembali undangan-undangan itu, dia meneruskan niatnya untuk mengintip ke kamar Rafael.

Ketika dia melongokkan kepalanya, kamar itu kosong. Tapi ada tanda kehidupan dari arah kamar mandi. Bersamaan dengan dia duduk di atas sofa dan menyalakan televisi, pintu kamar mandi terbuka. Rafael muncul dengan wajah terlihat segar.

“Woi! Baru pulang?” senyum Rafael.

“He em,” Steve mengangguk. “Eh, ada undangan dari Asca tuh!”

“Asca siapa?” Rafael mengerutkan kening.

“Adik tingkatmu. Dulu cewekku.”

“Oh... Undangan apa?”

“Ya kawinanlah!”

“Oh... Oh ya, semalam mau ngobrol apa?”

“Mm...,” Steve mengusap-usap rambut di kepalanya. Terlihat agak ragu-ragu. Tapi ketika dilihatnya Rafael menjatuhkan badannya dengan santai di atas sofa, Steve pun meneruskan maksudnya. “Soal cewek...”

“Tumben mau ngomong sama aku?” Rafael nyengir. “Bukannya kamu pakarnya?”

“Halaaah...,” Steve mengibaskan tangannya, tertawa kecil. “Aku pakarnya ngaco. Kalau kamu kan pakarnya serius.”


“Hm...”


“Raf, aku kok sering merasa serba-salah sama Anna ya?” ucap Steve, setengah menggumam. “Aku terlalu manis, katanya aku gombal. Aku mau sok cuek, aku khawatir nanti dia malah menendangku. Aku harus bagaimana?”

Rafael menatap layar televisi. Ucapan Steve masuk ke telinganya, kemudian berputar-putar di dalam kepalanya.

Seandainya kamu tahu apa yang sebenarnya terjadi...

“Jadilah dirimu sendiri,” jawab Rafael, pendek.

“Nah, itu... Itu...,” Steve menekuk sebelah kakinya, mengubah arah duduk jadi tepat menghadap ke arah Rafael. “Aku ya begitu itu. Bawaannya selalu manis kalau sudah berhadapan dengan Anna. Itu...”

“Bukannya kamu selalu seperti itu pada semua gadis yang pernah kamu kencani?”

Ucapan Rafael telak menohok perasaan Steve. Tapi dia tetap bisa menemukan jawabannya.

“Kali ini manisku tulus, Raf, bukan artifisial. Aku sudah jujur juga padanya kalau aku kemarin-kemarin sebandel itu. Dia nggak ada komentar sih... Cuma aku merasa dia belum menerimaku sepenuhnya.”

Tentu saja, karena dia ada rasa padaku...

“Kali ini kita nggak perlu berkompetisi kan, Raf?”

Rafael sedikit tersentak. “Maksudmu?”

“Soal Anna,” Steve menatap Rafael dengan begitu polosnya.

“Kamu kan tahu, aku sudah punya Adita.”

“Hm... Itu juga bikin aku heran,” Steve kembali mengubah posisi duduknya, kali ini meluruskan tungkainya ke bawah dan menyandar santai. “Tumben kali ini selera kita lain.”

“Aku kan pernah bilang,” ucap Rafael sabar. “Orang kan boleh berubah. Kamu saja bisa berubah jadi serius mau memacari cuma seorang gadis saja, kenapa aku nggak mencoba untuk berubah dengan menjalin hubungan dengan gadis ber-type lain? Supaya nggak bentrok lagi sama kamu. Nyatanya aku menikmati hubungan itu. Satu hal lagi, aku kenal Adita lebih dulu daripada kenal Anna. Dan tanpa sengaja kenal Anna pun nggak berefek apa-apa padaku. Jadi, nggak perlu memikirkan sebuah kompetisi. Dan memang nggak ada yang perlu dikompetisikan.”

Semoga dia nggak menangkap nada ironi dalam suaraku..., Rafael mengerjapkan matanya.

Sementara itu Steve menyambut ucapan Rafael dengan senyum lebar. Dia kemudian bangkit dari duduknya.

“Ya sudah, kalau kamu mau tidur lagi, tidur saja,” Steve melangkah ke arah pintu.

“Aku mau antar Mama ke klinik Bang Jemmy.”

“Lho, kok bukan aku yang disuruh menemani?” Steve menghentikan gerakannya menjangkau pegangan pintu.

“Kamu kan susah dipegang buntutnya,” Rafael tertawa. “Aku sudah bilang Mama, nanti kutinggal di klinik, sementara aku jemput Adita. Aku mau bantu-bantu di warung. Nanti kujemput lagi,”

“Wah, aku harus ikut nih!”

“Ya ikut saja. Atau kamu saja yang antar Mama? Aku langsung ke Adita.”

“Hm... Ide brilyan!”

Rafael tertawa. “Ya sudah, sana bilang dulu sama Mama. Nanti mampir saja ke warung. Aku traktir.”

“Wah, sip markusip!” Steve mengacungkan kedua jempol tangannya.

“Oh ya...”

Langkah Steve kembali tertahan. Ditolehnya Rafael.

“Pak Hartono menyarankan agar aku sedikit lebih menikmati hidup,” senyum Rafael, “seperti kamu.”

Steve meringis. “Lama-lama kita nggak ada bedanya, Raf. Tapi nggak ada salahnya kita saling belajar untuk menjalani mana yang lebih baik.”

“Sebentar!”

“Hah?”

Is it really you?” Rafael melebarkan matanya.

Steve tergelak. Dia tak menjawab, hanya meneruskan langkahnya keluar dari kamar Rafael.

* * *

Setiap berada di warung Adita ini, Rafael seolah terlempar kembali ke masa-masa awal ketika dia membantu Adita menyiapkan pembukaannya. Terasa begitu manis ketika terbayang dalam benaknya betapa semangat dan harapan Adita seolah memenuhi tiap jengkal dinding yang berdiri tegak di sekelilingnya. Semangat dan harapan untuk memperoleh sebuah kehidupan yang lebih baik.

Hingga saat ini pun semangat itu masih tergambar dalam wajah Adita. Dilambangkan dengan binar mata dan senyum yang kelihatan begitu manis. Membuat Rafael senang sekali menatapnya.

“Aku sedang memikirkan menu baru,” ucap Adita, ketika mereka menikmati gelinciran mentari sore di teras belakang ruko sambil menikmati segarnya puding.

“Aku percaya kamu bisa melakukannya dengan sempurna,” Rafael menepuk lembut jemari Adita.

Adita tertunduk, tersipu. Rafael menatapnya.

Trend penjualan bagaimana, Dit?”

“Semuanya seimbang,” jawab Adita mantap. “Kemunculan puding nggak membuat penjualan menu lainnya turun. Bahkan ada kecenderungan terjadi peningkatan penjualan. Banyak pelanggan baru. Pelanggan yang sudah dari pertama sering datang ke sini pun nggak pernah mengeluh.”

“Anak-anak sudah mengerti kan, bagaimana seharusnya melayani pelanggan?”

Adita mengangguk. “Tiap briefing selalu aku tekankan itu. Mereka juga paham bahwa hidup mereka tergantung pelanggan.”

“Aku bangga sama kamu, Dit,” gumam Rafael. “Kamu bukan perempuan biasa. Kamu pejuang. Kamu pemenang.”

“Ah...,” Adita tertunduk. “Mas Rafa berlebihan.”

“Sama sekali enggak,” senyum Rafa.

Diulurkan tangannya. Menyibakkan helaian anak-anak rambut yang jatuh di kening Adita. Adita menatap Rafael dengan dada berdebar kencang.

Debar yang sama kencangnya dengan debar dalam hati Anna yang baru saja keluar dari toilet. Yang baru saja menyaksikan kemesraan itu. Tanpa Rafael dan Adita menyadari kehadirannya.

* * *

Bersambung ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #24


7 komentar:

  1. Terbius... Kayaknya Kamis kok lama ya?

    BalasHapus
  2. I'm here.... hehehehe... :)))

    BalasHapus
  3. Mbak.....mau tanya. Itu di posting an tulisane tayang jam 13.23 tapi tadi Jam tiga wita alias jam dua jawa tak liat kok Belon ada......? Sampek bolak balik..


    Yo wis lah.....Lanjutkan ajah

    BalasHapus
  4. Tante pizzaaaaaaaa *loh? salah komen* wkwkwkwk :D

    BalasHapus