Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #22
* * *
Rafael
bangun dengan kepala pening. Sinar terang sudah menerobos masuk ke dalam kamar
melalui sela-sela tirai jendela. Entah kenapa rasanya malas sekali dia membuka
mata. Tapi setelah mandi dia merasa badannya sedikit segar. Diliriknya jam
dinding di ruang makan ketika dia keluar kamar. Hampir jam delapan. Dilihatnya
Lea masih duduk di depan meja makan sambil membaca koran.
“Pagi,
Ma...”
Lea
menoleh, tersenyum. “Pagi... Sampai rumah jam berapa semalam?”
“Sudah
lewat tengah malam,” Rafael duduk di seberang Lea.
“Mau
minum apa, Mas?” tanya Watini yang mendadak muncul.
“Hm...
Coklat hangat saja, Yu. Makasih.”
“Adita
sehat?” tanya Lea sambil melipat korannya.
Rafael
menatap Lea sejenak dengan aneh. Dia kemudian meraih piring berisi roti.
Ditatapnya roti itu tanpa nafsu.
“Bukannya
Mama kemarin sore ketemu Dita?” gumam Rafael sambil menyorongkan kembali piring
roti itu, menjauh.
Lea
terlihat terkejut mendengar gumaman Rafael. Dia berdehem singkat, terlihat
salah tingkah. Sebelum dia menjawab, Watini sudah muncul kembali membawa
pesanan Rafael. Rafael menatap Watini.
“Tolong
bikinin roti panggang isi telur ceplok ya, Yu?”
“Berapa,
Mas?”
“Satu
saja. Satu lagi tolong diisi sarikaya.”
“Siap,
Mas!”
Rafael
menghirup isi mug-nya. Lea
menatapnya. Menimbang-nimbang jawaban apa yang bisa diberikannya pada Rafael.
“Steve
ke mana?” tanya Rafael sambil meletakkan kembali mug-nya ke atas meja.
“Diajak
keluar sama Freddy. Cari spare part
motor.”
“Oh...”
“Mm...,”
ucap Lea kemudian, lirih. “Soal kemarin sore, iya, Mama ke ruko Adita. Adita
cerita?”
Rafael
mengangguk. “Termasuk isi pembicaraan dengan Mama.”
Lea
menghela napas panjang. “Mama nggak bermaksud ikut campur, Raf. Cuma perasaan
Mama nggak enak.”
“Iya,
aku tahu,” Rafael mengangguk. “Adita juga bisa paham kok. Nggak apa-apa. Toh
nyatanya nggak ada sesuatu hal yang salah di antara aku sama Adita. Cuma sama-sama
sibuk saja.”
“Begitu
sibuknya sampai komunikasi bisa terputus begitu?”
Rafael
menatap mamanya tanpa menjawab. Karena sejujurnya dia memang tak tahu harus
menanggapi bagaimana. Untungnya Watini datang menyelamatkan keadaan. Aroma roti
panggang buatannya cukup menggugah selera Rafael. Segera saja pemuda itu
menikmati sarapannya dengan nikmat.
Lea
menatap anaknya sambil tersenyum. ”Kamu mau kencan sama Adita hari ini?”
Rafael
menghentikan kunyahannya, menggeleng. “Nggak kencan, tapi mau bantu-bantu di
warung. Minimal menemani dia. Mumpung aku pulang.”
“Hm...
Jadi nggak bisa anterin Mama vaksinasi Larry dong?”
“Sekalian
saja bareng aku, Ma. Nanti kutraktir di warung Adita.”
“Hehehe...
Beneran?”
“Serius!
Nanti Mama aku drop di kliniknya Bang
Jemmy, aku tinggal jemput Adita dulu. Sambil tunggu aku, Mama kan bisa ngobrol
dulu sama Anna.”
“Hm...
Oke deh!” Lea mengangguk dengan wajah cerah.
“Tapi
agak siangan ya, Ma? Aku mau tidur lagi. Masih ngantuk. Agak pening juga.”
“Ya
sudah, setelah ini kamu istirahat dulu.”
Rafael
mengangguk sambil meneguk coklatnya.
* * *
Rumah
itu sepi ketika Steve masuk melalui garasi. Di depan dapur dia berpapasan
dengan Tunik.
“Sepi
amat, Yu? Pada ke mana?”
“Ibu
lagi sibuk sama kucing. Mas Rafa tidur.”
“Hah?
Belum bangun?” Steve melebarkan matanya.
“Tadi
sudah. Tidur lagi.”
“Ooo...,”
Steve membundarkan kedua bibirnya tanpa suara.
Ketika
hendak mengintip ke kamar Rafael, Steve menemukan tiga buah undangan tergeletak
di atas meja makan. Segera dihampirinya lembaran-lembaran yang sama persis itu.
Hm...
Steve
membacanya. Satu untuk mamanya, satu untuk Rafael, satu untuknya. Dari Ascadia,
salah satu gadis ‘koleksi’-nya dulu. Steve tersenyum. Setelah meletakkan
kembali undangan-undangan itu, dia meneruskan niatnya untuk mengintip ke kamar
Rafael.
Ketika
dia melongokkan kepalanya, kamar itu kosong. Tapi ada tanda kehidupan dari arah
kamar mandi. Bersamaan dengan dia duduk di atas sofa dan menyalakan televisi,
pintu kamar mandi terbuka. Rafael muncul dengan wajah terlihat segar.
“Woi!
Baru pulang?” senyum Rafael.
“He
em,” Steve mengangguk. “Eh, ada undangan dari Asca tuh!”
“Asca
siapa?” Rafael mengerutkan kening.
“Adik
tingkatmu. Dulu cewekku.”
“Oh...
Undangan apa?”
“Ya
kawinanlah!”
“Oh...
Oh ya, semalam mau ngobrol apa?”
“Mm...,”
Steve mengusap-usap rambut di kepalanya. Terlihat agak ragu-ragu. Tapi ketika
dilihatnya Rafael menjatuhkan badannya dengan santai di atas sofa, Steve pun
meneruskan maksudnya. “Soal cewek...”
“Tumben
mau ngomong sama aku?” Rafael nyengir. “Bukannya kamu pakarnya?”
“Halaaah...,”
Steve mengibaskan tangannya, tertawa kecil. “Aku pakarnya ngaco. Kalau kamu kan
pakarnya serius.”
“Hm...”
“Raf,
aku kok sering merasa serba-salah sama Anna ya?” ucap Steve, setengah
menggumam. “Aku terlalu manis, katanya aku gombal. Aku mau sok cuek, aku
khawatir nanti dia malah menendangku. Aku harus bagaimana?”
Rafael
menatap layar televisi. Ucapan Steve masuk ke telinganya, kemudian
berputar-putar di dalam kepalanya.
Seandainya kamu tahu apa
yang sebenarnya terjadi...
“Jadilah
dirimu sendiri,” jawab Rafael, pendek.
“Nah,
itu... Itu...,” Steve menekuk sebelah kakinya, mengubah arah duduk jadi tepat
menghadap ke arah Rafael. “Aku ya begitu itu. Bawaannya selalu manis kalau
sudah berhadapan dengan Anna. Itu...”
“Bukannya
kamu selalu seperti itu pada semua gadis yang pernah kamu kencani?”
Ucapan
Rafael telak menohok perasaan Steve. Tapi dia tetap bisa menemukan jawabannya.
“Kali
ini manisku tulus, Raf, bukan artifisial. Aku sudah jujur juga padanya kalau
aku kemarin-kemarin sebandel itu. Dia nggak ada komentar sih... Cuma aku merasa
dia belum menerimaku sepenuhnya.”
Tentu saja, karena dia ada
rasa padaku...
“Kali
ini kita nggak perlu berkompetisi kan, Raf?”
Rafael
sedikit tersentak. “Maksudmu?”
“Soal
Anna,” Steve menatap Rafael dengan begitu polosnya.
“Kamu
kan tahu, aku sudah punya Adita.”
“Hm...
Itu juga bikin aku heran,” Steve kembali mengubah posisi duduknya, kali ini
meluruskan tungkainya ke bawah dan menyandar santai. “Tumben kali ini selera
kita lain.”
“Aku
kan pernah bilang,” ucap Rafael sabar. “Orang kan boleh berubah. Kamu saja bisa
berubah jadi serius mau memacari cuma seorang gadis saja, kenapa aku nggak
mencoba untuk berubah dengan menjalin hubungan dengan gadis ber-type lain? Supaya nggak bentrok lagi
sama kamu. Nyatanya aku menikmati hubungan itu. Satu hal lagi, aku kenal Adita
lebih dulu daripada kenal Anna. Dan tanpa sengaja kenal Anna pun nggak berefek
apa-apa padaku. Jadi, nggak perlu memikirkan sebuah kompetisi. Dan memang nggak
ada yang perlu dikompetisikan.”
Semoga dia nggak menangkap
nada ironi dalam suaraku..., Rafael mengerjapkan
matanya.
Sementara
itu Steve menyambut ucapan Rafael dengan senyum lebar. Dia kemudian bangkit
dari duduknya.
“Ya
sudah, kalau kamu mau tidur lagi, tidur saja,” Steve melangkah ke arah pintu.
“Aku
mau antar Mama ke klinik Bang Jemmy.”
“Lho,
kok bukan aku yang disuruh menemani?” Steve menghentikan gerakannya menjangkau
pegangan pintu.
“Kamu
kan susah dipegang buntutnya,” Rafael tertawa. “Aku sudah bilang Mama, nanti
kutinggal di klinik, sementara aku jemput Adita. Aku mau bantu-bantu di warung.
Nanti kujemput lagi,”
“Wah,
aku harus ikut nih!”
“Ya
ikut saja. Atau kamu saja yang antar Mama? Aku langsung ke Adita.”
“Hm...
Ide brilyan!”
Rafael
tertawa. “Ya sudah, sana bilang dulu sama Mama. Nanti mampir saja ke warung.
Aku traktir.”
“Wah,
sip markusip!” Steve mengacungkan kedua jempol tangannya.
“Oh
ya...”
Langkah
Steve kembali tertahan. Ditolehnya Rafael.
“Pak
Hartono menyarankan agar aku sedikit lebih menikmati hidup,” senyum Rafael,
“seperti kamu.”
Steve
meringis. “Lama-lama kita nggak ada bedanya, Raf. Tapi nggak ada salahnya kita
saling belajar untuk menjalani mana yang lebih baik.”
“Sebentar!”
“Hah?”
“Is it really you?” Rafael melebarkan
matanya.
Steve
tergelak. Dia tak menjawab, hanya meneruskan langkahnya keluar dari kamar
Rafael.
* * *
Setiap
berada di warung Adita ini, Rafael seolah terlempar kembali ke masa-masa awal
ketika dia membantu Adita menyiapkan pembukaannya. Terasa begitu manis ketika
terbayang dalam benaknya betapa semangat dan harapan Adita seolah memenuhi tiap
jengkal dinding yang berdiri tegak di sekelilingnya. Semangat dan harapan untuk
memperoleh sebuah kehidupan yang lebih baik.
Hingga
saat ini pun semangat itu masih tergambar dalam wajah Adita. Dilambangkan
dengan binar mata dan senyum yang kelihatan begitu manis. Membuat Rafael senang
sekali menatapnya.
“Aku
sedang memikirkan menu baru,” ucap Adita, ketika mereka menikmati gelinciran
mentari sore di teras belakang ruko sambil menikmati segarnya puding.
“Aku
percaya kamu bisa melakukannya dengan sempurna,” Rafael menepuk lembut jemari
Adita.
Adita
tertunduk, tersipu. Rafael menatapnya.
“Trend penjualan bagaimana, Dit?”
“Semuanya
seimbang,” jawab Adita mantap. “Kemunculan puding nggak membuat penjualan menu
lainnya turun. Bahkan ada kecenderungan terjadi peningkatan penjualan. Banyak
pelanggan baru. Pelanggan yang sudah dari pertama sering datang ke sini pun
nggak pernah mengeluh.”
“Anak-anak
sudah mengerti kan, bagaimana seharusnya melayani pelanggan?”
Adita
mengangguk. “Tiap briefing selalu aku
tekankan itu. Mereka juga paham bahwa hidup mereka tergantung pelanggan.”
“Aku
bangga sama kamu, Dit,” gumam Rafael. “Kamu bukan perempuan biasa. Kamu
pejuang. Kamu pemenang.”
“Ah...,”
Adita tertunduk. “Mas Rafa berlebihan.”
“Sama
sekali enggak,” senyum Rafa.
Diulurkan
tangannya. Menyibakkan helaian anak-anak rambut yang jatuh di kening Adita.
Adita menatap Rafael dengan dada berdebar kencang.
Debar
yang sama kencangnya dengan debar dalam hati Anna yang baru saja keluar dari
toilet. Yang baru saja menyaksikan kemesraan itu. Tanpa Rafael dan Adita
menyadari kehadirannya.
* * *
Terbius... Kayaknya Kamis kok lama ya?
BalasHapusLanjuut bu
BalasHapusI'm here.... hehehehe... :)))
BalasHapusMbak.....mau tanya. Itu di posting an tulisane tayang jam 13.23 tapi tadi Jam tiga wita alias jam dua jawa tak liat kok Belon ada......? Sampek bolak balik..
BalasHapusYo wis lah.....Lanjutkan ajah
good post mbak
BalasHapusTante pizzaaaaaaaa *loh? salah komen* wkwkwkwk :D
BalasHapusSdh kamis mbk
BalasHapusNunggu