Dengan wajah terlihat gelisah, Bu Wondo
menunggu seseorang di seberang sana mengangkat panggilan telepon darinya.
Dengan dandanannya yang masih rapi, ia mondar-mandir di teras belakang
rumahnya. Suara ketukan sepatunya terdengar teratur, tak-tuk-tak-tuk... Dan
wajahnya mendadak cerah ketika ada jawaban dari seberang sana.
“Halo,
selamat sore. Dengan Yayasan Asah Abdi, ada yang bisa dibantu?”
“Iya, halo. Sore juga,” sahut Bu Wondo. “Saya
Bu Suwondo, sudah telepon kemarin, ART infal yang saya pesan sudah ada?”
“Eh,
Mbakyu Rini to? Kok suaranya lain?”
“Iya, lagi pilek. Ini Jeng Retno to? Suaranya
kok lain juga?”
“Hehehe...
Iya, Mbakyu, saya lagi batuk. Begini, Mbakyu, infalannya saya belum dapat.
Soalnya kan spek yang Mbakyu minta agak tinggi. Susah carinya.”
“Aduuuh...,” semangat di wajah Bu Wondo
langsung surut. “Apa sebaiknya speknya diturunkan saja ya, Jeng? Tapi...”
“Nggak
apa-apa saya carikan dulu, Mbakyu. Kalau sampai deadline nggak dapat, mungkin
bisa kita turunkan sedikit speknya. Atau... Mbakyu bisa coba cari dulu di
yayasan lain.”
“Saya nggak mau ambil dari yayasan lain,
Jeng. Takutnya nggak bisa dipercaya.”
“Oh...
hehehe... Terima kasih atas kepercayaannya, Mbakyu. Saya akan usahakan yang
terbaik buat Mbakyu.”
“Oke kalau begitu, Jeng. Saya tunggu kabar
berikutnya ya? Terima kasih...”
“Sama-sama,
Mbakyu...”
Bu Wondo menyentuh kotak end pada layar ponselnya sambil menghembuskan napas panjang. Ia
kemudian duduk di sofa. Sejenak melepaskan lelahnya.
Menjelang hari raya seperti ini, sama sekali
tak mudah mencari ART infal. Suni sudah mendapat tiket mudik dengan menggunakan
kereta. Dan Bu Wondo tak pernah tega membujuk Suni untuk tidak berlebaran
walaupun dengan iming-iming upah lemburan yang jauh di atas lumayan. Begitu
juga dengan Memet, sopirnya. Baik Memet maupun Suni selalu libur saat lebaran.
Sudah beberapa lebaran, Bu Wondo menggunakan
jasa ART infal yang didapatnya dari yayasan milik teman arisannya. Dan selama
tiga lebaran terakhir kemarin, Jeng Retno, pemilik yayasan itu, mengirimkan ART
infal yang sangat handal untuknya. Sayangnya, Wiwik si ART infal handal itu
saat ini sedang hamil 5 bulan. Tak mungkin menggunakan jasa Wiwik. Tak tega
rasanya.
Sekali lagi Bu Wondo menghela napas panjang
sambil melepaskan high heels-nya.
Masih ada waktu delapan hari lagi sebelum Suni mudik.
Semoga
Jeng Retno bisa mendapatkan ART infal sesuai kebutuhanku...
* * *
Retno merasakan kepalanya bertambah pening
setelah mendapatkan telepon dari Rini Suwondo. Rini Suwondo adalah pengguna
jasanya yang paling setia. Selama Rini Suwondo menjadi kliennya, Rini Suwondo
secara tak langsung sudah menjadi biro iklan yayasannya. Banyak teman-teman
Rini Suwondo akhirnya menjadi klien setianya juga.
Semuanya itu menjadikan yayasannya bagai
menghadapi dua sisi mata uang. Pada satu sisi, yayasannya sudah terbukti
terpercaya menyediakan tenaga ART infal. Pada sisi yang lain, Retno juga cukup
pusing ketika menyadari bahwa kadang-kadang jumlah kliennya berbanding terbalik
dengan jumlah tenaga infal yang berhasil diperolehnya. Kliennya banyak, tenaga
infalnya sedikit. Untuk itu ia terpaksa memilah klien dengan mengutamakan
klien-klien lama dan setia seperti Rini Suwondo.
Dan permintaan Rini Suwondo termasuk premium.
Dikompensasi dengan harga tinggi yang berani dibayarnya. Harus tenaga infal
yang benar-benar perfect yang bisa
dikirimkannya pada Rini Suwondo, seperti Wiwik.
Tapi...
Retno menggelengkan kepalanya. Tahun
depan mungkin masih bisa, tapi tidak tahun ini.
“Tan...”
Retno menoleh. Sebuah cengiran ceria langsung
tertangkap oleh matanya. Ia tersenyum lebar.
“Suntuk gitu? Kenapa, Tan?”
“Duduk, Sas.”
Sasya, keponakan Retno, segera duduk manis di
depan tantenya, di seberang meja.
“Ini lho, Tante masih belum dapat ART infal
buat klien paling setia,” Retno menyandarkan punggungnya.
“Hm...,” sesungguhnya Sasya tak terlalu
mengerti juga soal penyaluran ART infal itu.
“Kalau nggak dapat juga, kasihan dia...”
“Bukannya kemarin yang daftar banyak?” Sasya
mengerutkan keningnya.
“Ya kan harus diseleksi juga, Sas. Kalau
nggak ada rekomendasinya, ya Tante nggak bisa terima begitu saja.”
“Oh...”
Retno menatap Sasya yang manggut-manggut. Tiba-tiba
sebersit pikiran muncul di benaknya.
“Eh, Sas,” mendadak semangat Retno muncul
lagi. “Kira-kira Marsih punya teman yang mau jadi infalan nggak ya?”
“Coba nanti aku tanya Yu Marsih. Kalau Mbak
Ginten yang biasanya dipakai Mama kalau Yu Marsih mudik natalan kayaknya nggak
bisa deh! Mbak Ginten kan lebaran juga.”
“Aduuuh! Pusing aku!” Retno memijit-mijit
pelipisnya.
“Atau...,” mendadak Sasya menatap Retno
sambil memicingkan sebelah mata.
“Apa?”
Dan Retno langsung terbelalak mendengar
ucapan Sasya kemudian.
* * *
Sambungannya ada di : Infal #2
Mbak, pertama ki. Hadiahnya apa ya? ¥&)nyengir nyengir ngarep@;:/
BalasHapusAdaaaaaaaaa aja idenya...aku sukaaaaaa.
BalasHapusAtau aku aja Tan...? Kata Sasya*hihi asal
BalasHapusYo wis ngenteni. Lek guduk Sasya aku wae infale...dijamin qualified...... Hahaha...
Apa? Apa? Motongnya tega...
BalasHapusMenyimak...
BalasHapuswaah.......selalu menarik...mumpung masih seri 1....ikutiiin...yuuk..
BalasHapusMenyimak, Mbak Lis.
BalasHapusTx.
Good post mbak
BalasHapus