Kisah sebelumnya : Rinai Renjana Ungu #24
* * *
Dan
semuanya terjadi begitu saja bagi Anna. Menenggelamkannya makin dalam. Menjadi
kekasih Steve. Menerima segala bentuk hujan perhatian dan cinta dari laki-laki
itu. Segala sesuatu yang membuai dan melambungkan angan indahnya begitu tinggi.
Makin menjauhkannya dari semua angan tentang Rafael. Dan...
Menjadi
terlalu jauh. Tanpa Anna pernah sadar sepenuhnya. Tanpa Anna bisa menyalahkan
Steve. Karena dia sendiri yang terseret dan terbuai. Walau semuanya karena
rayuan Steve.
Dan
Steve tak akan pernah melupakan hal itu. Ketika suatu pagi Anna meneleponnya.
Dengan suara bergetar. Membuat semua perbendaharaan kehidupan dalam otaknya
mendadak terasa menguap. Meninggalkan ruang kosong dan gelap yang begitu luas.
“Mas Steve,
aku hamil...”
Steve
terduduk lunglai. Bukan karena ingin menghindari tanggung jawab. Dia mencintai
Anna. Kariernya sudah mapan. Bisa memberi Anna segala yang dibutuhkan. Dan anak
dalam perut Anna adalah benar-benar anaknya.
Dia
hanya tak tahu harus bagaimana memberitahukan kehamilan Anna pada mamanya. Hingga
dia memutuskan untuk pergi ke Bogor, menemui Rafael. Tanpa pernah siap menerima
kemarahan saudara kembarnya itu.
“Kamu
sudah gila!” bentak Rafael sambil menggebrak meja kantornya.
Steve
tertegun. Tapi pikirannya terlalu kalut untuk dapat mencerna arti kemarahan
Rafael.
“Nggak
bisakah sedikit saja kamu menjaga kelakuanmu?! Sembarang gadis kamu tiduri! Dan
sekarang Anna! Besok siapa lagi?!” suara Rafael yang biasanya sangat sabar
terdengar menggelegar.
Steve
mengangkat wajah sedetik, untuk kemudian tertunduk lagi. Tak sanggup menerima
semburan kemarahan yang menyala dalam mata Rafael.
“Anna
itu gadis baik-baik, Steve!” Rafael belum menurunkan nada suaranya. “Nggak
seperti semua gadis yang pernah kamu pacari! Kenapa hal seperti ini saja kamu
nggak paham?!”
Lalu
hening. Rafael menjatuhkan badan ke atas kursi. Ditatapnya Steve dengan letih.
“Kamu
tidak memperkosanya kan?” tanya Rafael, getas.
“Aku
merayunya,” jawab Steve lirih, jujur. “Dan dia masih polos. Aku...”
“Bicaralah
sama Mama,” potong Rafael dengan nada lebih rendah. “Makin cepat makin bagus.
Dan kurasa kamu harus menikahi Anna, Steve. Dia tanggung jawabmu.”
“Bisa
menemaniku bicara pada Mama?” ucap Steve nyaris tak terdengar.
Rafael
menggeleng. “Itu masalah kalian, Anna dan kamu. Kalian hadapilah sendiri.
Beranilah menghadapi Mama. Kalian udah dewasa.”
Steve
tahu. Sikap Rafael tak lagi bisa ditawar.
* * *
Anna terdiam lama. Ponselnya masih menempel
di telinga.
“An...” suara Steve terdengar halus dari
ujung sana. “Are you still there?”
“Ya,” gumam Anna.
“Aku akan menghadap Mama, An. Setelah itu
kita akan menghadap Bang Jemmy,” ucap Steve. “Secepatnya.”
Anna menggigil. Sesungguhnya dia tak sanggup
mengatakan apa-apa pada Jemmy. Kalau Jemmy tahu dia hamil sebelum berstatus
istri seseorang, bisa-bisa Jemmy menggantungnya di Monas.
Beruntung, kalau kata itu masih bisa dipakai,
dia tidak mengalami morning sickness.
Hingga Jemmy tidak curiga. Hanya saja haidnya terlambat. Sesuatu yang belum
pernah terjadi. Memaksanya menyadari ada sesuatu yang salah tengah terjadi
dengan tubuhnya.
Hanya satu kali. Dan tak dinyana hasilnya
akan berbuntut sedemikian panjang. Pada akhirnya hanya ada penyesalan. Yang
datangnya selalu terlambat.
Begitu Steve mengakhiri pembicaraan itu, tak
ada yang bisa dilakukannya kecuali melangkah ke seberang pet shop begitu melihat mobil Adita sudah terparkir di depan
warung. Entah apa yang mendorong hatinya untuk menemui perempuan itu. Kekasih
Rafael.
Mengingat nama Rafael, Anna hampir saja tak
sanggup menahan jatuhnya airmata. Dan demi melihat wajah Anna yang kusut masai
dengan mata berkaca-kaca, Adita segera menarik Anna masuk ke dalam kantornya.
“Mbak Anna, ada apa?” tanya Adita lembut.
Segala pertahanan Anna pun runtuhlah sudah.
Entah berapa lama dia menangis dalam pelukan Adita. Dan gadis itu diam tak
mengatakan apa-apa kecuali menampung semua airmata yang dicurahkan Anna. Dia
menunggu dengan sabar.
“Aku... hamil...”
Hanya itu kata-kata yang bisa diucapkan Anna
dengan terbata. Adita mengelus punggung Anna.
“Dengan Mas Steve?” halus suara Adita.
Anna hanya mampu mengangguk.
“Mas Steve mau bertanggung jawab?”
Anna kembali mengangguk.
“Lalu apa masalahnya?”
“Aku... takut bicara... pada Bang Jemmy...,”
ucap Anna di tengah sesenggukannya, “... pada mama Mas Steve...”
“Gimana itu bisa terjadi?”
Dan Anna pun menceritakannya. Melepaskan
segala beban yang segera dipikulnya begitu kesalahan itu terjadi. Begitu
kesalahan itu dia dan Steve lakukan. Tentang dia yang terlalu terbuai dalam
pesona Steve. Tentang betapa rayuan Steve sudah membuatnya kehilangan kesadaran
dan kontrol diri.
Adita menghela napas panjang. Ditatapnya Anna
yang masih sibuk menyusut airmatanya. Batinnya dipenuhi dengan segunung rasa
bersalah. Tak akan terjadi hal seperti ini bila Anna menjadi kekasih Rafael.
Tapi nasi sudah menjadi bubur. Rafael sudah menjauh dari kehidupan Anna.
Bersamanya. Adita tersenyum getir.
“Aku nggak bisa membayangkan kemarahan Bu Lea
dan Bang Jemmy,” keluh Anna.
“Mbak, kita tahu Mbak sudah berbuat
kesalahan,” ucap Adita halus. “Tapi kalau Mas Steve dan Mbak mau bertanggung
jawab dengan mengakui dan memperbaiki kesalahan itu, kukira Tante Lea dan Mas
Jemmy akan mengerti. Marah itu pasti. Hamil sebelum nikah itu bagaimanapun
bukan kesalahan sepele. Tapi Mas Steve dan Mbak saling mencintai. Gunakan cinta
itu untuk memperbaiki kesalahan yang udah terlanjur terjadi. Dan konsekuensinya
tetap harus dihadapi.”
Anna menatap Adita. Lama.
Saling
mencintai? Benarkah?
Diam-diam dia merasa makin kecil berada di
hadapan Adita. Gadis ini luar biasa,
batin Anna, dia lebih pantas mendapatkan
cinta Mas Rafael. Menyadari hal itu, entah kenapa Anna ingin menangis lagi.
* * *
Bersambung
ke episode berikutnya : Rinai Renjana Ungu #26
Good post mbak
BalasHapusApik.......nggak rugi nunggu suwi
BalasHapusjreng jreng kayak gini nih yg aku tunggu dari kemaren-kemaren...
BalasHapusJUEMPOOOOLLL... as always.
jreng jreng kayak gini ni yg kutunggu dari kemaren-kemaren...
BalasHapusJUEMPOLLL... as always.