Selasa, 14 Juli 2015

[Cerpen Stripping] Infal #4





Episode sebelumnya : Infal #3


* * *

Baru saja Wati membuka pintu pagar lebar-lebar, sebuah motor berhenti di dekatnya. Ia tersenyum lebar ketika melihat siapa yang datang itu.

“Tunggu sebentar ya?”

Marsih mengangguk sambil membuka helmnya. Sementara itu Suwondo melajukan mobilnya pelan-pelan. Rini Suwondo membuka kaca jendela sebelah kiri depan.

“Siapa, Ti?”

“Dari laundry, Bu.”

“Kamu ambil bajunya dulu, aku tungguin.”

“Baik, Bu.”

Wati berlari kecil masuk ke dalam rumah, mengambil tumpukan baju bersih yang harus diseterika, yang sudah siap dalam dua kantung plastik besar. Sebentar kemudian ia kembali lagi ke depan.

“Besok ke sini lagi jam segini ya?” pesan Wati pada Marsih.

Marsih mengangguk.

“Nanti aku Whatsapp-in lagi,” bisik Wati kemudian.

Marsih kembali mengangguk. Setelah berpamitan, Marsih pun meluncur pergi.

“Aku pergi dulu,” ucap Rini Suwondo. “Jaga rumah baik-baik.”

“Baik, Bu.”

Dan Wati menarik napas lega begitu mobil yang dikendarai Rini Suwondo benar-benar meluncur meninggalkan rumah itu.

* * *

Tak ada majikan di rumah bukan berarti Wati bisa berleha-leha begitu saja. Saatnya mencuci baju yang sudah direndamnya sejam yang lalu. Sambil mengoperasikan mesin cuci, ia membersihkan berbagai pajangan di rak hias besar di ruang tamu.

Sejenak ia merasa seperti mengalami deja vu. Membersihkan semua pajangan di rak hias. Tapi kali ini dia sendirian. Tidak bersama mamanya. Setelah selesai dengan rak di ruang tamu, ia berpindah ke ruang keluarga. Baru kali ini ia bisa mengamati foto setiap wajah yang menjadi penghuni rumah ini. Suwondo, Rini Suwondo, seorang gadis cantik yang mewarisi garis ketampanan Suwondo, dan seorang pemuda ganteng yang mewarisi garis kecantikan Rini Suwondo.

Semalam Rini Suwondo sekilas sudah menceritakan dua orang anaknya itu. Diana, si sulung, tinggal di kota yang sama, hanya saja sudah bekerja dan memilih untuk tinggal di apartemen di dekat kantornya. Reginald, si bungsu, kuliah di Singapura. Dan hari ini, rencananya Diana akan pulang ke rumah ini.

Ketika Wati tengah mengangkat cucian setengah kering dari dalam mesin cuci, terdengar dua kali klakson dari luar. Ia segera melesat ke depan untuk melihat siapa yang datang.

Sebuah city car tampak berhenti di depan pintu pagar, menunggu untuk dibukakan pintu. Begitu Wati membuka lebar-lebar pintu pagar, mobil itu meluncur masuk hingga ke depan garasi.

Ketika Wati berbalik setelah menggembok kembali pintu pagar, seorang gadis tinggi langsing berpenampilan modis keluar dari dalam mobil. Wajahnya sama dengan yang sudah dilihat Wati di dalam foto. Ditatapnya Wati dari ujung rambut sampai ke ujung kaki. Persis seperti ketika untuk pertama kalinya Rini Suwondo bertemu dengan Wati.

“Siang, Non,” sapa Wati sopan. “Saya Wati, infalnya Mbak Suni.”

“Hm...,” hanya itu tanggapan Diana sambil berbalik, masuk ke dalam rumah melalui garasi.

Wati nyengir dalam hati. Typical anak orang kaya...

* * *

Kalau ibunya bisa bersikap baik kepada seorang ART, sayangnya anaknya tidak. Ketika Diana menyuruh Wati untuk membersihkan kamarnya, ada saja yang kurang. Sambil bersidekap dan sesekali bertolak pinggang, Diana berceloteh tentang kurang ini atau kurang itu. Kurang bersih, kurang pas meletakkan sesuatu, kurang wangi, dan lain sebaginya. Wati berusaha melayaninya dengan sabar walaupun dalam hati sudah ingin menggetok kepala Diana dengan gagang vacuum cleaner yang dipegangnya.

“Sudah, Mbak?” Wati mengusap sebutir keringat yang meluncur dari pelipisnya.

“Hm...,” lagi-lagi hanya itu yang keluar dari mulut Diana.

Wati kembali nyengir dalam hati sambil mengurusi lagi baju-baju yang hendak dijemurnya.

* * *

“Itu baju-baju kenapa dimasukin ke kantong plastik?! Kamu mau nyolong ya?!”

Wati terjingkat kaget mendengar bentakan itu. Ia menoleh dan mendapati Diana tengah berkacak pinggang sambil menatapnya dengan wajah marah. Segera ia menyadari apa yang telah terjadi.

“Bukan, Mbak...,” jawabnya dengan sabar. “Baju-baju ini mau masuk laundry besok, buat diseterika. Perjanjiannya, saya nggak menyeterika di sini. Kompensasinya, baju kering yang sudah dicuci masuk ke laundry buat diseterika. Ongkosnya tanggungan saya.”

“Lho! Kok enak bener?!”

Suara itu masih juga bernada tinggi. Terasa menyakitkan di telinga Wati.

“Perjanjiannya memang begitu, Mbak.”

Ketika Diana hendak buka mulut lagi untuk menghamburkan omelannya, terdengar dua kali bunyi klakson di luar. Wati segera beranjak untuk membuka pintu pagar. Ia berlari kecil dari garasi ke pintu pagar ketika dilihatnya mobil Suwondo sudah menunggu di depan.

“Mama ini gimana sih? Terima babu infal kok mau enaknya sendiri?”

Suara itu sampai ke telinga Wati yang tengah menggembok kembali pintu pagar.

“Mana ada babu berlagak banget nggak mau menyeterika? Jangan-jangan dia anggota komplotan perampok?”

“Hus! Kamu ini ngomong kenapa sembarangan banget sih, Di? Mama ambil dia dari Bu Retno. Lagian hari gini susah banget cari infalan. Masih untung Mama bisa dapat dia. Bu Retno sendiri yang menjamin dia.”

“Ih! Mama tuh, mau aja diinjek sama infalan.”

Diam-diam Wati mengelus dada mendengarnya. Tanpa kata, ia kembali melanjutkan pekerjaannya yang tertunda. Memasukkan baju bersih yang sudah kering ke dalam kantong plastik.

“Buat makan malam nanti kamu mau siapkan apa, Ti?”

Wati tersentak mendengar suara Rini Suwondo di belakangnya. Ia menoleh.

Chicken Cordon Bleu, puree kentang, setup sayur. Saya buat puding coklat tadi, Bu. Nanti disiram cocktail buah, buat penutup.”

Rini Suwondo melongo mendengar menu pilihan ART infal yang satu itu.

* * *

Ketika menu itu terhidang, Diana hanya menatapnya dengan malas. Chicken Cordon Bleu ala kampung, Diana berucap sinis dalam hati. Mana ada ceritanya babu sok-sokan bikin makanan elit kayak gini? Huh!

“Kamu belajar di mana sih, bikin makanan luar kayak gini?” Rini Suwondo menatap Wati.

“Diajarin Pa... eh, Bapak, Bu. Bapak pinter masak,” Wati tersenyum manis.

“Oh...,” Rini Suwondo manggut-manggut. “Majikanmu orang luar sih ya?”

“Iya, Bu. Selamat makan, saya tinggal dulu.”

Wati undur diri, kembali ke dapur. Menyiapkan puding cocktail buah untuk makanan penutup.

* * *

Mulut Suwondo mengerucut ketika melihat keseluruhan penampilan Chicken Cordon Bleu lengkap yang sungguh mengundang selera itu. Ayamnya tampak sempurna berwarna coklat muda keemasan. Juga puree kentang panggang yang penampilannya sangat manis karena dibentuk menggunakan spuit. Juga setup sayur dengan warna cerah wortel, buncis, dan jagung manis pipilan yang mengkilat sempurna.

“Hebat anak itu...,” gumam Suwondo ketika mulai mengiris ayam. Ia berdecak ketika menemukan lembaran keju dan daging asap yang tertata sempurna di dalamnya.

“Enak banget, Pa...,” Rini Suwondo mengunyah suapan pertama sambil merem-melek.

Dan Suwondo segera menyetujui pendapat istrinya begitu potongan pertama ayam masuk ke mulutnya. Diana menatap kelakuan kedua orangtuanya dengan jengah, sekaligus penasaran. Ketika hal yang sama terjadi, sebuah potongan ayam masuk ke dalam mulutnya, ia sama sekali tak menemukan celah untuk mencela.

“Bikin saja restoran, Pa,” celetuk Rini Suwondo. “Persiapan pensiun. Rekrut Wati jadi kokinya.”

“Memangnya gampang apa, bikin restoran?” gerutu Suwondo.

Rini Suwondo terkekeh sambil menghabiskan makanannya.

* * *

Sambungannya ada di : Infal #5


Mohon maaf kepada para Pembaca, karena satu dan lain hal, bagian ini yang harusnya nongol hari Minggu kemarin tertunda penayangannya. Semoga besok dan seterusnya lancar lagi. Terima kasih...



6 komentar:

  1. Wuih, cuit cuit. Chicken cordon bleu.... Enak buanget mbak. Bagi opo'o? );:ngeces nih:/-(

    BalasHapus
  2. Makanan yang saya tahu cuma kupat tahu di. Magelang mbak, good post mbak

    BalasHapus
  3. saya memang orang kampung, Mbak. Nggak tau rasanya Chicken Cordon Bleu hehehe...

    BalasHapus
  4. seandainya punya ART kayak gini, makin subur deh saya he he he

    BalasHapus