Jumat, 10 Juli 2015

[Cerpen Stripping] Infal #2





Episode sebelumnya : Infal #1


* * *

Rini Suwondo menatap perempuan muda yang dibawa Retno itu dengan teliti dari atas ke bawah. Dari ujung rambut ke ujung kaki. Seolah ingin menemukan setitik panu di tubuhnya. Perempuan muda itu berusaha tak acuh dengan reaksi yang diterimanya, walau terlihat agak salah tingkah. Retno sendiri berusaha untuk menahan geli di hatinya.

“Bagaimana, Mbakyu?” senyum Retno. “Wati ini speknya agak di bawah yang Mbakyu minta, tapi sejauh ini dia yang terbaik. Saya yang menjamin. Saya kenal baik sama dia karena selama ini dia kerja di rumah seberang rumah saya. Saat ini majikannya sedang liburan ke Eropa. Wati juga dikasih waktu libur. Tapi dia bilang percuma pulang kampung, wong nggak lebaran. Makanya ketika saya tawari untuk infal di sini, dia mau.”

Rini Suwondo masih menatap perempuan muda itu dengan sorot mata tak percaya dari tempatnya duduk. Ia kemudian membuka map yang tadi disodorkan oleh Retno. Dikerutkannya kening dalam-dalam.

“Nggak mau menyetrika?” Rini Suwondo mengangkat wajahnya kembali.

“Ng...,” perempuan muda itu menatap Retno sekilas sebelum kembali menatap Rini Suwondo. “Kata majikan saya, saya nggak pernah beres menyetrika, Bu. Makanya semua baju di rumah majikan saya segera masuk ke laundry untuk numpang menyetrika. Gaji saya dipotong buat itu.”

Rini Suwondo melongo sejenak. Sekejap kemudian ia meneruskan interogasinya.

“Ini kok KTP-mu bisa KTP sini? Daerah elit lagi!”

“Oh... Itu majikan saya yang buatin. Dulu waktu mau urus SIM A.”

“SIM A???” mata Rini Suwondo membulat. “Kamu punya SIM A?”

“Iya,” perempuan muda itu mengangguk sambil tersenyum manis. “Kadang-kadang saya merangkap jadi sopir juga.”

Rini Suwondo melongo lagi.

“Wati ini ART istimewa, Mbakyu,” Retno masih mengembangkan senyumnya. “Saya benar-benar tahu kualitasnya.”

Rini Suwondo masih setengah termangu. Bergantian menatap Retno, berkas di tangannya, dan Wati, si perempuan muda itu. Tapi tampaknya ia tak punya pilihan lain. Suni akan berangkat mudik menjelang sore nanti. Satu-satunya yang bisa menyelamatkannya sepanjang masa lebaran ini adalah menerima Wati di rumahnya, walau dengan seribu rasa ragu-ragu.

“Hm...,” Bu Wondo menutup map berkas di tangannya. Ditatapnya Retno. “Baiklah, Jeng. Saya ambil yang ini. Tapi kalau saya nggak puas bisa saya pulangin ya?”

“Silakan, Bu, monggo...,” Retno mengangguk. “Tapi soal setrikaan tadi bagaimana? Mbakyu terima?”

“Yaaa...,” Bu Wondo menatap Wati. “Kamu ada solusi nggak untuk memecahkan masalah ini?”

“Kalau cuma masalah setrikaan, Ibu nggak usah khawatir,” Wati berucap mantap. “Di dekat rumah majikan saya ada laundry yang nggak tutup biar lebaran juga. Bisa antar-jemput. Bu Retno tahu kok,” Wati tersenyum manis.

“Yang mana sih?” Retno malah mengerutkan keningnya.

“Itu... laundry Marsih...”

“Oh...,” Retno setengah mati menahan tawanya yang hampir meledak. “Iya... Itu...”

“Silakan dipotong dari upah saya untuk biaya menyetrika di laundry, Bu,” Wati kembali tersenyum manis, menatap Rini Suwondo.

Rini Suwondo menyerah. Kalaupun rumahnya jadi kacau gara-gara ART infalan yang kelihatan belum berpengalaman ini, ia tinggal menelepon Retno untuk mengambil lagi Wati.

* * *

Langsung ada kejutan pertama dari ART infalan yang satu ini. Begitu menerima penataran singkat dari Suni sebelum berangkat mudik jam dua siang, Wati segera sibuk berkutat di dapur. Jam empat ia meninggalkan dapur sejenak untuk menyapu seisi rumah yang sebetulnya tidak terlalu besar itu. Apalagi ia belum diberi akses untuk masuk ke semua ruangan pribadi.

Setelah selesai ia kembali ke dapur, menuntaskan masakannya yang belum selesai.  Ketika semuanya beres, ia ke taman depan untuk menyiram tanaman. Pindah ke taman belakang setelahnya. Semua itu dilakukannya dengan cekatan.

Diam-diam Rini Suwondo mengamati semua yang dilakukan Wati. Ketika Wati sedang sibuk menyiram taman belakang, Rini Suwondo berjingkat ke dapur. Di atas kompor masih bertengger sepanci sayuran berkuah. Ketika dibukanya tutup panci itu, aroma yang sungguh menggelitik hidung dan syaraf rasa segera menyambutnya.

Hm... Sup kacang merah...

Diambilnya sedikit kuah dengan sendok. Ketika indera perasanya mencecap apa yang terjejak dalam sup itu, seketika Rini Suwondo menelan ludah. Tak sabar rasanya menunggu waktu makan malam untuk menikmati sup itu.

Ketika didengarnya suara senandung mendekat, Rini Suwondo segera menutup panci dan meraih sebuah gelas. Ia beringsut ke sudut tempat kulkas berdiri tepat ketika Wati muncul di dapur.

“Eh, Ibu...,” senyum Wati, menyembunyikan kekagetannya.

“Masak apa?” Rini Suwondo meneguk air dinginnya.

“Sup kacang merah, Bu, sama perkedel jagung, belum saya goreng. Ada rolade tahu, belum saya goreng juga.”

“Hm... Enak nggak?” senyum terbit di wajah Rini Suwondo.

“Semoga enak, Bu,” Wati mengangguk sopan. “Kata majikan saya sih, masakan saya lumayan bisa diterima lidah. Tapi kan selera orang lain-lain. Semoga Ibu nggak kecewa.”

“Aku sih bisa makan apa saja,” Rini Suwondo duduk di kursi dekat meja dapur. “Bapak yang agak rewel.”

“Oh...,” Wati kelihatan tercenung sejenak.

“Dia bisa makan apa saja, hanya saja rasanya harus pas.”

“Bu, saya sambil goreng bakwan ya?”

Rini Suwondo mengangguk.

“Kamu lulusan apa, Ti? SMA?”

“Iya, Bu,” jawab Wati sambil membuka kulkas, mengambil semangkuk adonan bakwan yang siap untuk digoreng.

“Sudah berapa tahun kerja di majikanmu?”

“Sejak lulus SMA, Bu,” Wati menghitung sejenak. “Hampir empat tahun.”

“Majikanmu baik ya?”

“Banget,” senyum Wati.

“Orang mana?”

“Bapak dari Belgia, Ibu dari Jogja. Ibu saya dulu kerja di ibunya Ibu.”

“Kok kamu kelihatannya kayak keturunan luar ya?”

Wati menuangkan sesendok terakhir adonan bakwan yang masih muat di penggorengan. Sejenak kemudian ia berbalik dan bersandar di dekat kompor. Ditatapnya Rini Suwondo.

“Ibu saya dulu kerja sama orang bule, Bu. Terus... ya gitu deh!”

Rini Suwondo tertegun sejenak. Ditatapnya Wati yang sudah berbalik menghadap kompor. Kelihatannya tak mau meneruskan ucapannya. Tapi sedikit banyak, Rini Suwondo bisa menangkap apa yang sudah terjadi.

Beberapa saat kemudian terdengar suara klakson di luar. Rini Suwondo bangkit dari duduknya.

“Bapak pulang. Aku saja yang buka pintu. Kamu teruskan saja gorengnya.”

Wati mengangguk.

* * *

Sambungannya ada di : Infal #3

4 komentar: